John L’Heureux
Novelis Elizabeth Bowen* merangkumnya dengan baik: “Dialog dalam karya fiksi adalah bentuk perlakuan satu karakter terhadap karakter lainnya.” Mungkin ini kedengarannya sedikit rancu di awal, namun bagiku pengertian ini sangat masuk akal saat aku berusaha menjelaskan cara kerja dialog dalam sebuah karya fiksi.
Penulis muda sering mengaburkan esensi dialog dengan percakapan, karena mereka selalu mengasumsi bahwa jika dialog ditulis semirip mungkin dengan realita, maka ia akan semakin terdengar meyakinkan. Masalahnya, dialog dan percakapan bukanlah hal yang sama. Dialog adalah sesuatu yang dibangun; sifatnya artifisial; dan hasilnya jauh lebih efisien dan lebih mudah dipercaya ketimbang percakapan biasa. Sebagaimana fiksi membelokkan kenyataan untuk menggapai kebenaran dalam jangkauan yang lebih luas [universal]; maka dialog pun berupaya mengeliminasi semua awal-awal percakapan yang tak penting, serta gangguan irelevan yang sering kita alami di kehidupan nyata. Apa tujuannya? Tentu untuk mengupas psikis karakter dan menggerakkan cerita ke arah kesimpulan yang dramatis.
Ernest Hemingway telah mendemonstrasikan, lagi dan lagi, bahwa dialog punya kemampuan untuk menopang sebuah cerita. Salah satu cerita pendek terbaiknya, Hills Like White Elephants [Obrolan Siang Bolong] hampir sepenuhnya ditopang oleh dialog.
“Si pemuda” dan “si gadis” sedang menunggu kedatangan kereta di tengah panasnya sengatan matahari di Lembah Ebro di Spanyol, seraya menatap deretan pegunungan luas.
“Bukit-bukit itu bentuknya seperti segerombolan gajah putih,” kata si gadis.
“Aku belum pernah melihat bentuk gajah putih.” Si pemuda meneguk bir dalam gelas.
“Tentu saja kau belum pernah melihatnya.”
“Tapi aku mungkin pernah melihatnya,” dalih si pemuda. “Tuduhanmu tidak membuktikan apa-apa.”
Si gadis marah dan agresif. Si pemuda mau menang sendiri. Mereka memesan minuman. Mereka bertengkar soal rasa bir Anis del Toro. Si pemuda berusaha baikan, dan untuk sesaat dia berhasil. Mereka mengulangi rangkaian ini—baikan, bertengkar—seiring dengan pembawaan dialog yang semakin mengupas keinginan si pemuda agar si gadis melakukan aborsi seperti yang telah ia rencanakan, sementara yang diinginkan si gadis adalah untuk diyakini bahwa, setelah semua berakhir, hubungan mereka akan kembali seperti dulu.
“Aku tahu kau takkan keberatan melakukannya, Jig. Benar-benar bukan hal besar, kok. Mereka hanya akan akan meniupkan udara ke dalamnya.” Gadis itu tidak merespon. “Aku akan pergi bersamamu dan selalu mendampingimu. Mereka hanya akan meniupkan udara ke dalamnya dan semua akan tampak alami.”
Mereka kembali berbaikan, setuju bahwa deretan bukit-bukit itu tidak terlalu mirip dengan segerombolan gajah putih. Tapi lantas si pemuda kembali pada argumen bahwa “semuanya alami”. Ia membujuk. Ia bersikukuh. Si gadis setuju untuk melakukannya. Ia menyerah, cemberut, dan itu tidak cukup bagi si pemuda. Si pemuda ingin agar kekasihnya menginginkan hal yang sama.
“Aku tidak mau kau melakukannya dengan terpaksa.”
Dialog yang terjadi di antara keduanya adalah proses tek-tok yang tak ada habisnya. Si gadis beranjak untuk menatap deretan bukit. Si pemuda mengikuti, berkata, “Prosedurnya sangat sederhana.” Namun bagi si gadis semua itu terlalu berat untuk ditanggung.
“Bisa tidak kita berhenti bicara sekarang?” tanya si gadis.
Histeria gadis itu kini telah lewat. Kereta akan segera datang, dan keduanya kembali memasang topeng ekspresi yang biasa mereka tunjukkan di depan umum. Namun, meski kita mengerti bahwa si pemuda memenangkan argumen tersebut, kita juga digantung-gantung tentang apa sebenarnya realita yang akan dihadapi sepasang sejoli itu. Gadis itu akan melakukan aborsi. Dan, bila kita membaca dialognya secara teliti, keduanya akan berakhir membenci satu sama lain karena aborsi tersebut.
Hills Like White Elephants adalah sebuah mukjizat kecil. Dialog yang disusun Hemingway berhasil membangun adegan, menggambarkan psikis tokoh, menjelaskan latar belakang secara subtil, mendorong aksinya agar terus menggerakkan cerita, menciptakan krisis dan menyelesaikan cerita.
Dialog yang efektif bekerja lewat lapisan implikasi. Nada sebuah komentar atau pilihan kata atau keraguan si tokoh dalam mengutarakan dialog tersebut dapat menjadi indikasi bahwa di balik kata-kata yang terucap masih ada perasaan yang jauh berbeda dan justru tidak sinkron dengan apa yang keluar dari mulut si tokoh. Dialog berusaha menunjukkan maksud seseorang saat mereka mengatakan sesuatu, meskipun jika orang tersebut tidak sepenuhnya sadar akan maksudnya sendiri.
Terkadang, tentunya, dialog yang paling efektif berujung pada kesunyian. Itu lebih dari sekadar ironi. Itu adalah bentuk perlakuan satu tokoh terhadap tokoh lain. FL
Januari 2016 © Hak cipta Fiksi Lotus dan John L’Heureux. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.
#KETERANGAN:
(*) Elizabeth Bowen adalah penulis novel dan cerpenis asal Irlandia. Di antara karya-karyanya yang populer termasuk The Last September, The House in Paris, The Heat of the Day dan Eva Trout.
#CATATAN:
> Analisis ini ditulis oleh JOHN L’HEUREUX dengan judul Talk that Walks dan pertama kali terbit di Wall Street Journal pada tahun 2011.
>> JOHN L’HEUREUX adalah seorang novelis dan penyair yang lebih dari satu dekade menjabat sebagai Direktur Program Menulis di Universitas Stanford.
Saya termasuk yang kabur tentang beda esensi dialog dan percakapan. Ternyata dialog lebih dari sekedar kalimat ‘bincang-bincang’ ya kak.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hai Haya. Nampaknya begitu. Dialog lebih rapi dan berlapis dibandingkan percakapan biasa yang sangat literal. Makasih ya udah mampir ke sini.
SukaSuka
Reblogged this on hampirblog and commented:
Salah satu blog sastra paling powerfull, makasih Mbak Maggie ^^
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih ya sudah mampir kemari 🙂 Ditunggu komentar-komentar lainnya 🙂
SukaSuka
Reblogged this on .::. halaman depan .::. and commented:
Keren!
SukaDisukai oleh 1 orang
Makasih ya sudah mampir kemari 🙂
SukaSuka
setiap kali belajar menulis cerita, selalu merasa lemahnya di sini 😦
SukaDisukai oleh 1 orang
Nggak cuma kamu kok, May. Banyak penulis mengalami kendala sama. Tapi nggak ada kendala dalam menulis yang nggak bisa dilewati dengan membaca 🙂 Makasih ya sudah mampir. Yuk semangat nulis!
SukaSuka
terimaksih ulasanya hiihi
salam kenla
SukaDisukai oleh 1 orang
Termikasih sudah banyak posting, keren dan membantu saya dalam belajar menulis.
SukaSuka
Halo Mba Maggie. Saya belajar banyak dari fiksilotus, termasuk pada analisis ini.
Saya belakangan mulai belajar membuat cerpen.
Berkenankah kiranya Mba Maggie menilai tulisan saya?
Jika Mba tidak berkenan, saya sangat maklum. Tentunya karena faktor kesibukan.
Jika Mba berkenan, lewat media apakah saya bisa mengirim tulisan saya? Atau cukup saya copas link-nya saja? Karena saya menaruh tulisan saya itu di sebuah forum internet.
Terima kasih.
(percayakah Mba Maggie bahwa sebenarnya saya malu sekali menulis kata-kata diatas?)
SukaSuka
Hi mbak Magie. Kapan ada postingan cerpen yang baru lagi?
SukaSuka
Bukan main, Mbak Maggie. Luar biasa! Saya berasa mendapatkan sebuah energi di situs ini. Salam litersi. 😊
SukaSuka
Kenapa yaa karya-larya Ernest Hemingway datar sekali dialognya ?
SukaSuka