Ernest Hemingway
Bukit-bukit di seberang lembah Sungai Ebro tampak putih memanjang. Di sisi ini tidak ada pepohonan rindang ataupun tempat berteduh alami. Sebuah stasiun kereta duduk terhimpit di antara dua pasang rel besi yang berkilauan di tengah gempuran cahaya matahari siang. Sementara itu, di sebelah stasiun kereta terlihat sebuah bar kecil dengan pintu terbuka lebar; serta selembar tirai manik bambu yang menggantung di ambang pintu guna mengusir lalat yang beterbangan.
Seorang pemuda asal Amerika dan seorang gadis duduk di salah satu meja yang berada di luar stasiun. Hari itu sangat panas dan kereta ekspres dari Barcelona baru akan tiba dalam waktu empat puluh menit ke depan. Kereta tersebut hanya akan berhenti di stasiun ini selama dua menit sebelum melanjutkan perjalanannya ke Madrid.
“Mau minum apa?” tanya si gadis. Dia telah melepas topinya dan meletakkannya di atas meja.
“Apa saja yang enak diminum dalam cuaca panas seperti ini,” kata si pemuda.
“Kalau gitu kita pesan bir.”
“Dos cervezas,” ujar si pemuda sambil menoleh ke arah tirai yang terbuat dari manik bambu.
“Dalam gelas besar?” tanya seorang pelayan wanita dari ambang pintu bar.
“Ya. Dua gelas besar.”
Pelayan itu membawakan dua gelas besar bir serta sepasang tatakan gelas. Ia meletakkan kedua gelas di atas tatakan sambil menatap ke arah sepasang kekasih tersebut. Si gadis tengah mengamati kontur perbukitan yang memanjang. Undakkan itu tampak putih di bawah sinar matahari dan daerah di sekitarnya terlihat gersang kecokelatan.
“Bukit-bukit itu bentuknya seperti segerombol gajah putih,” kata si gadis.
“Aku belum pernah melihat bentuk gajah putih.” Si pemuda meneguk bir dari dalam gelas.
“Tentu saja kau belum pernah melihatnya.”
“Tapi aku mungkin pernah melihatnya,” dalih si pemuda. “Tuduhanmu tidak membuktikan apa-apa.”
Gadis itu kini mengalihkan perhatiannya ke arah tirai manik bambu. “Mereka menuliskan sesuatu di permukaan manik-manik itu,” kata si gadis. “Apa yang mereka tulis?”
“Anis del Toro. Jenis minuman.”
“Boleh dicoba?”
Pemuda itu memanggil pelayan tadi lewat tirai yang sama. Pelayan tersebut melangkah keluar dari bar dan menghampiri pelanggannya.
“Empat real.”
“Dia mau memesan dua Anis del Toro.”
“Dengan air putih?”
“Kau mau menambahkan air putih?”
“Entahlah,” kata si gadis. “Apa masih enak kalau ditambah air?”
“Biasa saja.”
“Jadi tambah air atau tidak?” tanya si pelayan.
“Ya, ditambah air.”
“Rasanya seperti licorice,” ujar si gadis, meletakkan gelas minumannya di atas meja.
“Semua minuman rasanya seperti itu.”
“Ya,” kata si gadis. “Semua minuman rasanya seperti licorice. Terutama semua minuman yang sulit dicari, seperti absinthe.”
“Sudahlah. Jangan dibicarakan.”
“Kau yang memulai,” gerutu si gadis. “Aku cuma bercanda. Aku menikmati minumanku.”
“Baiklah, kalau begitu jangan memicu pertengkaran.”
“Oke. Aku hanya ingin mencoba mencairkan suasana. Tadi aku bilang bukit-bukit itu tampak seperti segerombol gajah putih. Bukankah itu observasi yang cerdas?”
“Observasimu cerdas.”
“Lantas aku ingin mencoba minuman baru. Hanya itu yang kita lakukan selama ini, kan—menikmati berbagai hal sambil mencoba minuman baru?”
“Kurasa begitu.”
Gadis itu kembali memandangi deretan bukit-bukit putih.
“Bukit-bukit itu tampak indah,” kata si gadis. “Mereka tidak benar-benar tampak seperti segerombol gajah putih. Aku hanya bermaksud membandingkan warna bukit dengan warna kulit gajah putih.”
“Mau pesan minuman lagi?”
“Boleh.”
Angin hangat berembus lembut dan membuat tirai manik bambu itu bergoyang hingga menyentuh pinggiran meja.
“Bir ini terasa enak dan dingin,” kata si pemuda.
“Teman yang pas siang ini,” sambut si gadis.
“Operasi itu sangat sederhana, Jig,” ujar si pemuda. “Hanya prosedur kecil, bahkan tidak masuk ke dalam kategori operasi.”
Si gadis menunduk dan mengamati lantai di bawah kaki meja.
“Aku tahu kau takkan keberatan melakukannya, Jig. Benar-benar bukan hal besar, kok. Mereka hanya akan meniupkan udara ke dalamnya.”
Gadis itu tidak merespon perkataan pemuda di hadapannya.
“Aku akan pergi bersamamu dan selalu mendampingimu. Mereka hanya akan meniupkan udara ke dalamnya dan semuanya akan tampak alami.”
“Lantas apa yang akan kita lakukan setelah itu?”
“Setelah itu hubungan kita akan kembali seperti sebelumnya.”
“Apa yang membuatmu begitu yakin?”
“Karena hal itu satu-satunya yang mengganggu hubungan kita, yang membuat kita tidak bahagia.”
Gadis itu menoleh ke arah manik bambu yang tersemat pada tirai di ambang pintu, mengulurkan tangannya dan menggenggam dua sulur tirai.
“Kalau begitu menurutmu kita akan bahagia setelah itu.”
“Aku yakin sekali. Kau tidak perlu takut. Aku kenal banyak orang yang pernah melakukannya.”
“Aku juga kenal banyak orang yang pernah melakukannya,” ujar si gadis. “Dan setelah itu mereka tampak sangat bahagia.”
“Well,” kata si pemuda. “Kalau kau enggan melakukannya, maka jangan dilakukan. Aku tidak akan memaksamu. Tapi menurutku prosedurnya sangat sederhana.”
“Dan kau sangat menginginkan aku untuk melakukannya?”
“Kurasa itu yang terbaik. Tapi jangan lakukan kalau kau tidak ingin melakukannya.”
“Jika aku melakukannya, maka semua akan kembali seperti dulu dan kau akan kembali mencintaiku?”
“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”
“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, maka hubungan kita akan kembali harmonis; dan jika aku mengatakan ada beberapa hal di dunia ini yang mirip dengan segerombol gajah putih, kau takkan marah?”
“Aku justru akan mendukungmu. Sekarang pun aku mendukungmu, tapi aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Kau tahu sendiri bagaimana sikapku jika sedang resah.”
“Kalau aku melakukannya kau takkan pernah merasa resah lagi?”
“Aku bukan resah karena apa yang akan kau lakukan. Karena prosedurnya memang sangat sederhana.”
“Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi aku melakukan hal itu karena aku tidak sayang terhadap diriku sendiri.”
“Maksudmu?”
“Aku tidak sayang terhadap diriku sendiri.”
“Aku sayang terhadapmu.”
“Oh, memang. Tapi aku tidak sayang terhadap diriku sendiri. Namun aku akan tetap melakukan apa yang kau minta karena semuanya akan kembali seperti semula.”
“Aku tidak mau kau melakukannya dengan terpaksa.”
Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan ke ujung stasiun kereta. Di seberang sana, di sisi yang lain, padang pasir dan pepohonan tampak menghiasi tepian lembah Sungai Ebro. Jauh dari tempatnya berdiri, gadis itu melihat aliran air sungai dan gugusan pegunungan. Segumpal awan bergerak halus di langit luas, menyeret bayang-bayang yang meneduhkan sebagian padang pasir yang menghampar; dan ia bisa melihat badan sungai lewat celah-celah pepohonan.
“Dan kita bisa memiliki semua ini,” kata si gadis. “Kita bisa memiliki segalanya; dan setiap hari hidup kita akan semakin bahagia.”
“Apa katamu?”
“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”
“Kita memang bisa memiliki segalanya.”
“Tidak, kita tidak bisa memiliki segalanya,” kata si gadis.
“Kita bisa menguasai dunia,” kata si pemuda.
“Kita tidak bisa menguasai dunia.”
“Kita bisa pergi kemana saja.”
“Kita tidak bisa pergi ke mana saja, karena dunia ini bukan milik kita lagi.”
“Tentu saja dunia ini milik kita,” desak si pemuda.
“Bukan. Begitu mereka mengambilnya, kita tidak akan bisa merebutnya kembali.”
“Tapi mereka belum mengambilnya.”
“Lihat saja nanti.”
“Kemarilah, jangan panas-panasan disana,” bujuk si pemuda. “Kau tidak boleh bersikap seperti itu.”
“Aku tidak menunjukkan sikap aneh,” balas si gadis. “Aku hanya tahu beberapa hal yang tidak kau ketahui.”
“Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu karena terpaksa—”
“Ataupun sesuatu yang sifatnya tidak baik untukku,” kata si gadis. “Aku tahu. Boleh pesan satu gelas bir lagi?”
“Baiklah. Tapi kau harus mengerti bahwa—”
“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa tidak kita berhenti bicara sekarang?”
Mereka duduk di meja yang sama dan si gadis memandangi deretan bukit yang dikelilingi oleh tanah gersang di sekitar area lembah; sementara si pemuda memandangi kekasihnya dari seberang meja.
“Kau harus mengerti,” ujar si pemuda. “Bahwa aku tidak mau kau melakukan sesuatu karena terpaksa. Aku tidak keberatan melakukan sesuatu untukmu kalau hal itu sangat berarti bagimu.”
“Apakah hal itu tidak ada artinya bagimu? Kita mungkin punya pemecah masalahnya.”
“Tentu saja hal itu berarti untukku. Tapi aku tidak menginginkan orang lain selain dirimu. Aku tidak mau siapa-siapa, kecuali dirimu. Dan aku juga tahu bahwa prosedurnya sangat sederhana.”
“Aku tahu. Kau sudah mengatakan itu berkali-kali.”
“Kau pikir aku bercanda, tapi memang begitu kenyataannya.”
“Apa kau mau melakukan sesuatu untukku sekarang?”
“Aku akan melakukan apa saja untukmu.”
“Aku minta agar kau please please please please please please please berhenti bicara.”
Si pemuda pun segera bungkam dan menatap tumpukkan koper yang disandarkan pada dinding stasiun kereta. Tersangkut di koper-koper itu adalah label dari berbagai hotel yang telah mereka tempati.
“Tapi aku tidak mau kau berhenti bicara,” kata si pemuda. “Aku tidak perduli apa yang kau bicarakan.”
“Aku akan berteriak kalau gitu,” kata si gadis.
Si pelayan wanita melangkah keluar dari bar melalui tirai manik bambu yang menggantung di ambang pintu seraya membawa dua gelas bir. Ia meletakkan gelas-gelas itu di atas meja. “Kereta kalian akan tiba lima menit lagi,” ujarnya.
“Apa katanya?” tanya si gadis pada si pemuda.
“Kereta kita akan tiba lima menit lagi.”
Gadis itu tersenyum lebar pada si pelayan wanita sebagai tanda terima kasih atas pemberitahuannya.
“Sebaiknya aku membawa koper-koper kita ke sisi lain stasiun sebelum kereta tiba,” kata si pemuda. Gadis itu melempar senyum manisnya ke arah pemuda tersebut.
“Baiklah. Setelah itu kau kembali ke sini dan habiskan bir-mu.”
Pemuda itu mengangkat dua koper besar nan berat dan memindahkannya ke sisi lain stasiun kereta. Ia menatap ke arah rel kereta yang memanjang, namun tak melihat ada kereta lewat. Sekembalinya dari sana, ia melintasi ruang bar, di mana para penumpang yang sedang menunggu kereta tengah membunuh waktu sambil minum-minum. Si pemuda memesan segelas Anis di meja bar dan menatap kerumunan orang di sekelilingnya. Mereka semua tengah menunggu kedatangan kereta. Kemudian, ia melangkah keluar lewat tirai manik bambu. Gadis tadi masih duduk di meja yang sama dan melemparkan senyum ke arahnya.
“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya si pemuda.
“Dari tadi juga aku baik-baik saja,” ujar si gadis. “Tak ada yang salah denganku. Aku baik-baik saja.”
Hak Cipta © 2012. Fiksi Lotus dan Ernest Hemingway. Tidak untuk dijual, ditukar, ataupun digandakan.
# CATATAN:
> Kisah ini bertajuk “Hills Like White Elephants” karya novelis dan cerpenis Amerika Serikat, ERNEST HEMINGWAY. Pertama kali diterbitkan di koleksi kumpulan cerpen bertajuk “Men Without Women” pada tahun 1927.
>> ERNEST HEMINGWAY adalah seorang novelis dan cerpenis asal Amerika Serikat yang pernah memenangkan Hadiah Nobel di bidang Sastra pada tahun 1954. Termasuk di antara karya-karya populernya adalah: “The Sun Also Rises”, “A Farewell To Arms”, “For Whom The Bell Tolls”, “The Snow Of Kilimanjaro” dan “Old Man And The Sea.”
# POIN DISKUSI:
Wah, asyik nih ada tambahan diskusinya, stelah lama gak update. Hehe..
Mau coba jawab, tp baru baca sekali. Jujur saja, saya gak nangkep maksud si gadis ngomongin bukit2 seperti gajah putih. Apa mgkn dia lagi hamil ya.. Bayangin yg gendut2, jd bayangin gajah?
Mereka itu sepasang kekasih yg tidak direstui orangtua, lalu kabur dari rumah, hidup bersama, nomaden, eh hamil..trus mau aborsi.
Dari cerita ini, Hemingway sepertinya memang benar-benar sedang bercerita ya, gak menyimpulkan apa2, diserahkan pd pembaca mau mengartikan apa perihal ceritanya itu.
Hmm, msh kurang mudeng.. Ntar baca lagi. Hehe..
SukaSuka
Hi Vira 🙂 Iya nih, kayaknya seru kalo bisa sambil diskusi, nanti semua cerita yang ada di FL akan dikasih Poin Diskusi (termasuk yang sudah diterbitkan sebelumnya). Jadi kita bisa baca ulang rame2 hehehe
Benar sekali. Banyak yang menyimpulkan bukit-bukit putih itu menggambarkan kondisi payudara yang membengkak saat hamil, juga rahim yang sedang “isi”. Sedangkan gajah putih menggambarkan kesakralan mahluk hidup yang dilindungi agama (Budha). Dan memang sepasang kekasih ini diperkirakan tengah membicarakan masalah aborsi.
Iya, ini salah satu cerita Hemingway yang mengutamakan teknik “tip of the iceberg” — di mana Hemingway mengatakan: “Untuk menggambarkan karang es, kita tidak perlu menjelaskan dari dasar sampai puncak karang, tapi cukup puncaknya saja yang menyemul di atas permukaan air laut.” Nah cerita ini berusaha mengikuti prinsip tersebut.
Kita baca bareng-bareng lagi yaaa … 🙂 Nggak ada jawaban salah-benar kok … dalam diskusi cerita, semua interpretasi itu punya bobot valid 🙂
Thanks ya sudah mampir! 🙂
SukaSuka
Seperti kebanyakan cerita Papa yang lain: Saya tidak mengerti.
Saya baru bisa meng-oo-kan setelah membaca komentar di atas. Lol
menurut saya, cerita berkesan bila pembaca (saya) menemukan makna dibalik cerita dengan tehnik show seperti ini. Kesannya berbekas.
SukaSuka
Hai Rain. Thanks ya sudah mampir kemari. Sebuah cerita nilainya luas kok, tidak ada salah-benarnya … dan pengertian setiap pembaca memang selalu berbeda. Selain itu, Hemingway memang paling senang membuat pembacanya menebak-nebak. Buat aku pribadi, di situ serunya … hehehe … supaya bisa jadi bahan diskusi sama temen 🙂
SukaSuka
ikutannn….
yup stuju gajah putih itu dianalogikan sebagai perempuan yang hamil. kalo sy liatnya dari putih yg menyimbolkan kesucian, pas untuk bayi dalam kandungan.
simbol lain menurut sy saat s prempuan melihat aliran air sungai dan gugusan pegunungan. itu bisa diartikan sebagai kenikmatan yg panjang atau kebahagiaan. simbol ini biasa dipake di beberapa desain produk rokok, bedanya aliran sungai jadi jalan meliuk atau rel kereta api.
dari dialognya keliatannya s perempuan sangat mendambakan kebahagiaan tp kesulitan untuk tahu cara mendapatkannya. kl sy melihatnya dari kesulitan s perempuan untuk memberi kejelasan yang akhirnya malah omongannya terkesan ngelantur.
gaya tulis Hemingway katanya padat membuat kalimat dan paragraf ya? tidak suka membuat kalimat atau paragraf yang terlalu panjang karena khawatir pembacanya justru sulit menangkap/mengerti. di cerpen ini pas banget.
hehehe sok tau gpp y. :Dj
SukaSuka
Wah interpretasi yang menarik tentang aliran air sungai/jalan meliuk! Benar, Hemingway memang terkenal dengan gaya tulisan yang stakato — pendek, lugas, jelas. Banyak yang suka, banyak juga yang tidak suka dengan gaya ini. Tapi menurut saya justru membuat cerita semakin hidup karena memberi ruang interpretasi yang sangat luas bagi pembaca 🙂 Kami di Fiksi Lotus sangat menganjurkan pembaca untuk berpendapat — jadi tidak pernah ada istilah “sok tahu”. Jangan sungkan berkomentar lagi ya 🙂 Terima kasih atas kunjungannya ke Fiksi Lotus.
SukaSuka
boleh tanya?
alur cerita biasnya dibagi seperti bagian awal, masalah, klimaks, penyelesian, dan akhir. Apakah dalam cerita Hemingway ini ada pembagian semacam itu? Apakah wajar dalam cerpen hanya menunjukkan konflik dan terutama tanpa penyelesaian?
Saya sangat tertarik dengan tehnik yang Hemingway lakukan. Ingin belajar menerapkannya juga, tapi kelihatannya memang perlu kecerdasan lebih ya. Ada tips tidak dari FS?
tx
SukaSuka
Hai. Boleh dong tanya 🙂 Sebagian besar cerita pendek modern ditulis tanpa plot dan tanpa pesan moral — karena fungsinya adalah untuk merekam momen dalam kehidupan. Selain Hemingway, penulis2 lain sekaliber beliau pun menggunakan teknik yang sama. Terutama mereka yang menulis di awal abad ke-20 sampai sekarang. Alur cerita yang terbagi menjadi awal-tengah-ending (pembagian paling dasar) berlaku untuk karya yang lebih panjang: Novella atau Novel. Terutama juga untuk drama panggung dan film. Begitupun dongeng dan cerita rakyat (karena harus menyampaikan moral cerita). Cerita pendek modern tidak menganjurkan adanya plot ataupun moral cerita; melainkan suatu rekaman perjalanan hidup — momen, dilema, konflik (dengan atau tanpa resolusi). Karena cerita pendek berfungsi sebagai pengingat, atau penyentil, untuk diserap pembaca dan menghadirkan pertanyaan (bukan pernyataan). Teknik Hemingway yang paling tersohor adalah “iceberg theory” di mana untuk menjabarkan suatu adegan atau detail lokasi hanya diperlukan 1/8-nya saja, sisanya dilengkapi oleh imajinasi pembaca. Oleh sebab itu sebagian besar cerita Hemingway terkesan “mentah” atau “setengah jalan” — karena memang harus ditelaah lagi 🙂 Semoga membantu ya 🙂
SukaSuka
Duh Hemingway. Dari dulu aku tak pernah bisa paham, always beyond me -____-
SukaSuka
Kok semua postingannya kosong ya?
😦
Tinggal judulnya aja.
Apa device saya yang bermasalah?
SukaSuka
Masih ada kok, Ran. Mungkin device kamu tidak membaca postingannya atau gimana? Soalnya memang kami ganti layout, tapi setelah kami cek via mobile, PC dan tablet bisa membuka semua tampilan posting. Kamu pakai device apa ya? PC atau tablet atau mobile?
SukaSuka
Saya baru saja membaca terjemahan lalu naskah aslinya, memang ada yang berbeda sedikit tapi saya tidak ingin membahas itu. Kalau boleh saya ingin mendiskusikan “Hills like white elephant” disini, karena jarang sekali menemukan situs lokal yang membahas karya klasik seperti ini.
1. Apa kira-kira yang dapat kamu interpretasikan dari simbol bukit-bukit putih dalam cerita ini?
~Bukit-bukit itu bentuknya seperti segerombol gajah putih,” kata si gadis.
“Aku belum pernah melihat bentuk gajah putih.” Si pemuda meneguk bir dari dalam gelas.
“Tentu saja kau belum pernah melihatnya.”
“Tapi aku mungkin pernah melihatnya,” dalih si pemuda. “Tuduhanmu tidak membuktikan apa-apa.”~
~‘They’re lovely hills,’ she said. ‘They don’t really look like white elephants. I just meant the
colouring of their skin through the trees.’~
Disini Jig mengatakan “Tentu saja kau belum pernah melihatnya” & “They don’t really look like white elephants. I just meant the colouring of their skin through the trees.”, mengartikan bahwa bukit yang dimaksudkan Jig tidak eksis dan hanya ada dalam pikirannya sendiri. Mungkin Jig menyamakan bukit berbentuk gajah putih itu sebagai anak yang berada dalam rahimnya. Dalam paragraf awal sang kekasih tidak menyadari arti dari “bukit yang terlihat seperti gajah putih”, karena itu Jig pun segera mengalihkan pembicaraan ke tulisan di tirai bambu. Ada pula yang mengatakan bukit2 itu sebagai payudara yang membengkak ketika hamil.
2. Imaji apa lagi yang kira-kira kamu anggap sebagai simbol dalam cerita ini? Kenapa?
mengapa gajah putih diartikan sebagai anak dalam rahim Jig? saya ambil dari wiki :
“A white elephant is an idiom for a valuable but burdensome possession of which its owner cannot dispose and whose cost (particularly cost of upkeep) is out of proportion to its usefulness or worth.”
anak dalam rahim Jig sangat berharga, namun ia membebani hubungan Jig dan kekasihnya. Menurut saya Jig sebenarnya tidak ingin melakukan aborsi, namun ia terpaksa melakukan itu demi kekasihnya.
~‘Yes,’ said the girl. ‘Everything tastes of liquorice. Especially all the things you’ve waited so
long for, like absinthe~
absinthe, yang saya baca adalah sebuah minuman pahit, mungkin yang Jig maksud dengan “Segala yang selama ini kau tunggu” adalah keinginan kekasih Jig agar ia menggugurkan kandungannya. Hal itu sepertinya terasa pahit bagi Jig, seperti absinthe.
mengapa Jig dan kekasihnya pergi ke madrid? karena aborsi dilarang di amerika. Jujur saat pertama baca, setelah membaca kalimat “mereka hanya memasukan udara kedalamnya” saya pikir Jig akan melakukan pembesaran payudara -_-“.
lalu pemandangan indah yang Jig lihat di bagian akhir cerita mungkin dapat diartikan sebagai “kebahagiaan”.
3. Dari bahasa tubuh dan dialog yang terjadi antara si pemuda dan si gadis, kesimpulan apa yang bisa ditarik tentang hubungan mereka?
Sepenjang cerita, Jig jarang menatap wajah kekasihnya dan selalu mengalihkan pandangan ke hal lain. Sepertinya Jig merasa kesal, bimbang, dan kurang setuju dengan saran kekasihnya untuk menggugurkan kandungan. Terlihat juga dari dialog mereka berdua, dimana Jig secara tersirat ingin agar anaknya tidak digugurkan, namun pada akhirnya ia berusaha meyakinkan dirinya untuk melakukan aborsi.
4. Hemingway menggunakan teknik bercerita yang memberi kebebasan luas terhadap pembaca untuk menginterpretasikan inti dari cerita ini. Bagaimana pandangan kamu sebagai pembaca?
teknik menulis Hemingway sangat menarik, dia ingin bercerita tentang pasangan yang sedang membicarakan rencana aborsi, namun tanpa menggunakan kata “aborsi” sedikitpun dalam cerita. Dan simbol-simbol yang terkesan sederhana namun ternyata mempunyai arti sangat dalam. teknik “show don’t tell” & “Tip of the Iceberg” yang sangat baik.
SukaDisukai oleh 1 orang
Senang sekali bisa membaca karya Hemingway yang sudah diterjemahkan. Memang tidak salah kalau beliau disebut pelopor fiksi modern, cerpen-cerpennya benar-benar kuat. Terima kasih banyak mbak Maggie!
SukaSuka
Terimakasih.
Terlebih komenkomenannya.
SukaSuka
Hai mbak Maggie,
ini kali kedua saya membaca cerpen ini. Pertanyaan mengenai simbol benar-benar luput dari pemahaman saya. Namun saya tertarik mendiskusikan poin 3, mengenai hubungan mereka.
Menurut saya hubungan mereka itu agak rumit:
a. Si lelaki jelas-jelas hanya menyukai Jig, namun tidak benar-benar mencintainya karena ia tidak bisa menerima kehadiran anak (buktinya ia sering sekali melakukan persuasi untuk aborsi ‘operasi ini sangat sederhana’; sementara kata katanya ‘ bila kau tak menginginkan aborsi, aku jg tak apa-apa’ , itu hanyalah penenang bagi Jig, justru agar Jig lebih mantap melakukan aborsi –> manipulatif).
b. Jig justru adalah pihak yang lebih berat mencintai pemuda itu, dibanding sebaliknya. Itu terkesan dari perkataan ‘bila aku melakukan ini (operasi) maka hubungan kita harmonis seperti dulu lagi kan?’. Ia rela melakukan aborsi, walau seperti yang ia katakan sendiri :’ itu artinya ia tak sayang pada dirinya sendiri; hanya agar pemuda itu mencintainya seperti dulu sebelum ia hamil. Namun kenyataan ini ia tutupi dengan permainan kata-kata yang seakan akan mengesankan dirinya tidak apa-apa; ia takut ketahuan telah mengorbankan sesuatu yang besar bagi pemuda itu, sementara di sisi lain ia tak yakin akan cinta tulus dari si pemuda–> ia juga manipulatif dengan caranya sendiri, namun dengan tujuan melinduni perasaannya.
Ah singkat kata, saya pikir ini hubungan antara pria yang belum matang dan gadis yang rendah diri. Sekian pendapat saya. Ditunggu terjemahan cerpen selanjutnya mbak……
SukaSuka
Saya mau tanya, kenapa kalimat “He looked up the tracks but could not see the train.” pada paragraf terakhir tidak diterjemahkan? terimakasih
SukaDisukai oleh 1 orang
Hai loftyfive96! Terima kasih atas notifikasinya. Setelah kami cek ulang, ternyata saat pergantian layout (mungkin yang baru-baru, mungkin juga yang dilakukan tahun lalu) dan perapihan konten (untuk tampilan) nampaknya satu baris kalimat itu tersangkut entah di mana. Sudah kami sisipkan kembali. Terima kasih sekali lagi atas notifikasinya. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya ya.
SukaSuka
Seringkali aku dibikin bingung dengan cerpen2 yang didalamnya banyak simbol2 yg di dalam simbol itu sebenarnya mengandung makna. Tulisan Hemingway selalu ada simbol2 yg membuatku bingung, tp selalu kubaca.
SukaSuka
Sangat menarik…
Awalnya gk ngerti apa yg dimaksud dua orang itu, tapi karena analisis-analisis cerdas dari pembaca sebelumnya, saya jadi mulai nangkep maknanya…
Terima kasih Fiksi Lotus, karena sudah menyajikan cerpen² luar biasa di sini… 🙂
SukaSuka