FRANK O’CONNOR adalah seorang penulis novel dan cerita pendek asal Cork City, Irlandia yang juga dikenal sebagai kritikus sastra, ahli penerjemah dan penulis biografi. Beliau meninggal di Dublin, Irlandia pada tahun 1966. Frank O’Connor International Short Story Award merupakan penghargaan paling bergengsi untuk kumpulan cerpen berbahasa Inggris dari seluruh dunia dengan nilai penghargaan sebesar EURO 35,000 (th. 2010). Cuplikan tips di bawah ini diambil dari wawancara The Paris Review: Art of Fiction edisi ke-19.
————————————
Tentang Chekhov
Tentunya aku sangat mengagumi Chekhov; dan kurasa setiap penulis cerpen pasti mengagumi sosok penulis Rusia tersebut. Chekhov, sebagai seorang penulis, memiliki gaya penulisan yang tidak bisa ditiru. Kita membaca, megagumi, bahkan memuja karya-karya beliau—namun jangan, jangan, jangan pernah mencoba untuk menirunya. Beliau memiliki tenik penulisan yang luar biasa, dan begitu kita mulai meniru gaya-nya tanpa pertama mempelajari dengan baik teknik-teknik yang beliau gunakan, maka kita akan cenderung mengoceh panjang lebar tanpa tujuan—seperti yang dilakukan oleh Katherine Mansfield, meskipun dia adalah cerpenis yang cukup handal. Katherine mengagumi cara Chekhov menyusun cerita tanpa memperdulikan plot; dan dia berasumsi bahwa jika dia melakukan hal yang sama, maka ceritanya juga akan terbaca dengan baik. Masalahnya, di tangan orang lain,gayapenulisan seperti itu tidak selalu berhasil. Katherine lupa bahwa Chekhov memiliki pengalaman menulis sebagai jurnalis untuk waktu yang cukup lama; beliau juga pernah menulis untuk majalah komedi, menghasilkan lelucon pendek, atau parodi—dan oleh sebab itu Chekhov telah mengasah kemampuan untuk menjaga perhatian pembaca agar tidak lari kemana-mana. Struktur ceritanya juga sangat minim. Hanya di karya-karya terakhirnya Chekhov menunjukkan bentuk tekniknya ini. Kalau ada penulis yang ingin menulis seperti Chekhov, namun tidak mempelajari cara mengatur struktur yang sama—mereka takkan berhasil.
Tentang Memulai Sebuah Cerita
“Goreskan hitam di atas putih” adalah nasihat dari Guy de Maupassant—dan itu yang selalu aku terapkan. Aku tidak perduli seperti apa tulisan yang kuhasilkan, aku akan memulai dari mana saja, hingga corat-coret itu membentuk kerangka awal dari sebuah cerita. Ketika aku menulis, ketika aku menyusun kerangka sebuah cerita, aku tidak pernah berpikir bahwa aku harus menuliskan kalimat-kalimat bagus seperti: “Malam itu di bulan Agustus udara berhembus sejuk dan Elizabeth Jane Moriarty tengah berjalan kaki sedirian.” Aku cukup menuliskan kejadiannya saja, lantas baru aku bisa melihat struktur cerita. Bagiku yang paling penting adalah desain dari sebuah cerita, di mana kita bisa menilai adanya “lubang” atau kekosongan dalam narasi sebuah cerita dan bagaimana kita harus menutupinya. Aku selalu menelaah desain dari sebuah cerita, dan bukan rangkumannya. Kemarin aku baru saja selesai menulis tentang teman baikku, A.E. Coppard, penulis terbaik yang aku tahu di belahan dunia ini, yang belum lama meninggal. Aku menjelaskan bagaimana Coppard menulis cerita-ceritanya, sambil menenteng buku catatan di tangan, merekam semua yang ada di sekelilingnya, bagaimana cahaya jatuh ke tanah, atau bentuk sebuah rumah, dan dia selalu berusaha untuk menciptakan metafora yang sepadan untuk menjabarkannya: “Jalanan itu terlihat seperti ular yang tengah mendaki bukit”, atau semacam itu, dan “Dia berkata ini-itu, sementara pria di bar tersebut berkata lain.” Dan setelah Coppard menuliskan semuanya di dalam buku catatan dia, dia baru bisa melihat kerangka cerita yang ingin ia sampaikan, setelah itu ia mengisi kekurangannya dengan detail. Nah, aku tidak bisa bekerja dengan metode yang sama. Aku harus melihat dulu apa yang akan dilakukan karakter-karakter dalam ceritaku; lantas aku baru memikirkan apakah mereka melakukannya di suatu malam di bulan Agustus atau di suatu malam di musim semi. Aku harus benar-benar mengerti tema yang ingin kusampaikan sebelum aku menuliskannya dalam bentuk cerita.
Tentang Menyimpan Ide Cerita
Biasanya aku menyimpan catatan yang berisi tema. Jika ada orang yang menceritakan hal menarik kepadaku, maka aku akan menulisnya di buku catatanku dalam empat baris saja—inilah rahasia tema yang kumaksud. Kalau aku menuliskan ide cerita sebanyak dua belas atau empat belas baris, itu namanya rangkuman cerita. Kalau sudah begitu, aku berarti sudah membuat komitmen dengan karakter, setting dan momen yang ada dalam cerita. Atau pendeknya, cerita itu sudah ditulis. Hal ini berarti kesempatanku untuk mengembangkannya sudah tidak ada lagi; cerita itu tidak bisa didesain ulang atau dipahat menjadi bentuk yang berbeda. Oleh sebab itu, aku selalu menuliskan ide cerita dalam empat baris kalimat saja. Kalau tidak bisa ditulis dalam empat baris, itu artinya aku belum bisa menyederhanakan ide tersebut (dan karenanya tidak bisa aku kembangkan).
Tentang Cerita Yang Luar Biasa
Setiap cerita harus memiliki tema, sesuatu yang ingin diceritakan. Misalnya ada seorang pria yang duduk di sebuah meja bersamaku dan aku sedang berbicara dengannya. Aku ingin menceritakan sesuatu yang menarik kepadanya. Seperti yang kalian ketahui, kesulitan utama dalam bercerita adalah kita cenderung terlalu terburu-buru dalam penyampaiannya. Misalnya ada orang selingkuh, lantas kita berdoyong-doyong ingin bercerita tentang perselingkuhan. Bukan ini yang aku maksud dengan tema. Sebuah tema adalah sesuatu yang memiliki nilai cerita bagi semua orang. Bahkan, di kehidupan nyata, jika kita baru saja mengalami sesuatu, kita tidak mungkin bercerita pada orang asing dan berkata, “Hey, aku baru saja bercumbu dengan seorang gadis semalam, di bawah Jembatan Sungai Charles.” Kita tidak akan melakukan itu. Biasanya, kita akan bercerita pada orang asing dan berkata, “Hey, aku baru saja mengalami hal yang luar biasa—aku bertemu seorang pria—dan dia mengatakan hal ini kepadaku—” Nah, itu baru tema namanya. Saat kita menarik kerah seseorang dan kita tahu apa yang ingin kita katakan, itu cerita yang sesungguhnya. Ini artinya kita ingin menceritakan sesuatu kepada orang itu dan kita juga yakin cerita tersebut akan menarik perhatian orang tersebut. Kalau kita hanya menceritakan pengalaman pribadi, yang hanya menarik untuk kita, maka itu artinya kita tidak bisa mengekspresikan diri sendiri; dan kita tidak mampu menelaah apa artinya jadi manusia. Begitu kita mengatakan apa yang hendak kita katakan, itu artinya kita sudah berkomitmen untuk bercerita.
Maksudku begini. Belum lama, aku pergi ke pantai selatan di Irlandia untuk berlibur dan tak sengaja berbincang dengan seorang petani tua yang kemudian bercerita bahwa anak laki-lakinya, yang kini sudah meninggal, sempat pergi ke Amerika. Anaknya menikahi seorang gadis asal Amerika dan suatu hari gadis itu datang ke Irlandia untuk berkunjung, seorang diri. Ternyata gadis itu disarankan oleh dokternya untuk pergi ke Irlandia agar bisa memulihkan kesehatannya. Gadis itu tinggal di rumah mertuanya, lalu bertemu dengan teman-teman suaminya serta para saudara-saudara yang ada di sana. Namun mereka baru tahu bahwa anak laki-laki itu sudah meninggal ketika gadis itu telah kembali ke Amerika. Kenapa gadis itu tidak mengatakannya saat berada di Irlandia? Nah, itu yang bisa kita kembangkan menjadi sebuah cerita. Tarik perhatian pembaca, ikut-sertakan pembaca ke dalam cerita—dan jadikan si pembaca sebagai bagian dari cerita. Sepanjang cerita, kita berusaha meyakinkan pembaca bahwa, “Cerita ini milikmu—de te fabula.”
Pesan Untuk Para Penulis Muda
Nasihatku hanya satu: Jangan menganggap serius penolakan. Aku pernah mengirimkan sebuah cerita pendek yang kemudian diterima oleh sebuah majalah. Maka, seperti biasa, aku melakukan sedikit revisi agar cerita itu terbaca lebih baik lagi, dan ketika aku mengirimkannya lagi ke majalah yang sama, ternyata orang lain yang membacanya dan dia menuliskan surat kepadaku bahwa dengan menyesal majalah itu tidak bisa menerima ceritaku—tapi menekankan bahwa mereka dengan senang hati akan membaca cerita lain yang aku tulis di masa depan.
Hak Cipta © 2012. Fiksi Lotus dan Frank O’Connor. Tidak untuk dijual, ditukar ataupun digandakan.
adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.
Terima kasih utk artikel ini. Sangat bermanfaat. Jd sbnrnya, masing2 penulis punya teknik kreatif tersendiri ya dalam menuliskan ceritanya. Klo mimin fiksilotus gmana tekniknya? 😀
SukaSuka
Sama-sama, Vira. Aku juga sangat suka dengan tips Frank O’Connor. Yep, setiap penulis punya teknik dan pendekatan sendiri-sendiri. Makanya tidak ada dua orang penulis yang bisa menulis dengan gaya sama, karena masing-masing orang punya “suaranya” sendiri. Teknik aku tidak pernah pakai kerangka, biasanya kalau ada ide, dipikirin dulu seharian, tanpa ditulis, dan baru ditulis saat ide itu sudah menjelma jadi cerita utuh dalam kepala — tapi pengembangannya tetap terjadi di atas kertas, saat menulis 🙂 Kalau kamu?
SukaSuka
Tanpa kerangka? Untuk cerpen saja, kan? Kalau novel bagaimana? Apa tetap menulis mengalir? As you said, “Bring it on!” Hehehe..
Kalau aku, juga lebih suka tanpa kerangka, menulis bebas yang penting di kepala sudah tahu konsep ceritanya. Tp semenjak “belajar” dari seorang penulis (Eka K), aku mulai membiasakan menulis dari “letupan ide” (aku menyebutnya begitu), jadi dari letupan ide itu aku baru mengembangkannya jadi cerita utuh. Tapi, itu juga baru jadi 2 cerpen dgn teknik begitu. Hehehe…
SukaSuka
Iya, untuk cerpen. Untuk novel, biasanya aku bikin bullet points untuk kejadian yang ingin aku ketengahkan — tapi sejauh ini bullet points itu dilanggar melulu hahahaha Kalo ngikutin karakter, dia suka milih-milih sendiri jalannya, nggak mau diatur. Jadi mubazir juga itu bullet points. Makanya, paham yang digunakan tetap “Bring it on” 😀
Menulis dari “letupan ide” seperti kamu juga sangat bermanfaat. Setiap orang tekniknya berbeda, tergantung kenyamanan dia saat bercerita. Jadi kalau kamu mau coba-coba pun tak ada salahnya. Semua teknik boleh dipelajari, tinggal kamu menyocokkan mana yang kira-kira paling nyaman buat kamu dalam berkarya 🙂 Keep writing ya!
SukaSuka
Terima kasih, mbak. 🙂
Bermanfaat.
SukaSuka
Hai Rain. Terima kasih juga sudah mampir kemari ya 🙂 Semoga posting2 lainnya juga bermanfaat 🙂
SukaSuka
Terima kasih, Mbak Maggie. Untuk pernyataan Frank O’Connor di bawah ini, mungkin Mbak Maggie mau sedikit berdiskusi:
“Namun mereka baru tahu bahwa anak laki-laki itu sudah meninggal ketika gadis itu telah kembali ke Amerika. Kenapa gadis itu tidak mengatakannya saat berada di Irlandia? Nah, itu yang bisa kita kembangkan menjadi sebuah cerita.”
Saya sering mendapati kebenaran nasihat ini. Jadi, penulis harus berpikir dulu sebelum pembaca, untuk menemukan alternatif yang paling baik sebagai jawaban mengapa gadis itu tidak mengatakan tentang kematian suaminya saat berada di Irlandia. Dari sini cerita bisa disusun.
Masalah yang saya hadapi, saya kurang kreatif untuk menemukan deretan kemungkinan jawabannya, dan kalaupun ketemu, biasanya klise. Akhirnya, jawaban yang saya sodorkan tidak lebih baik dari alternatif jawaban yang dimiliki oleh redaktur sehingga mereka menolaknya. Apa Mbak Maggie bisa kasih saran untuk bisa lebih kreatif dalam menemukan alternatif jawaban menarik dalam pertanyaan yang kita sodorkan kepada pembaca?
SukaSuka
Hi Agus. Seperti yg saya sebutkan di komentar “Pemberian Sang Magi” tiap2 penulis punya pendekatan yg berbeda terhadap tulisannya. Tapi untuk saya pribadi, hal yg penting adalah jangan berusaha untuk “mendahului” pembaca karena sebagian besar pembaca pasti lebih kritis terhadap cerita dibanding penulisnya sendiri — dan kita takkan pernah bisa memuaskan semua pembaca. Satu hal yang saya yakin tidak bisa meleset adalah untuk mengikuti cerita tersebut. Temukan jiwa dalam cerita yang mau disampaikan, baik itu dalam bentuk karakterisasi maupun dilema, dan ikuti sampai selesai. Bagi saya, ending atau resolusi cerita — bila cerita itu didalami dari awal — akan datang/terbentuk dengan natural / sendirinya tanpa campur tangan penulis 🙂
SukaSuka
Hai, Mbak Maggie. Aku lihat nama ” Katherine Mansfield” disebut-sebut oleh Frank O’Connor. Sebetulnya, seperti apa sih karya yang dibuatnya, sampai meniru bagaimana Anton Checkov menulis ? Karya Katherine sendiri masih terasing dalam penerbitan fiksi terjemahan di Indonesia . . . .
SukaSuka
Hi Fajar. Nanti akan kami tampilkan karya Katherine di Fiksi Lotus 🙂 Dipantau terus yaa .. Thanks!
SukaSuka