Ernest Hemingway

Jim Gilmore datang ke Hortons Bay dari Kanada. Dia membeli bengkel pandai besi dari laki-laki tua bernama Horton. Jim bertubuh pendek dan berkulit gelap dengan kumis tebal dan tangan besar. Dia cukup handal menempa sepatu kuda yang terbuat dari besi, tapi penampilannya tidak terlalu cocok sebagai tukang besi — bahkan saat dia mengenakan celemek kulit sekalipun. Jim tinggal di lantai dua bangunan, di atas bengkel, dan dia biasa makan siang di kedai D.J. Smith.

Liz Coates bekerja di kedai itu. Mrs. Smith, bos perempuannya, adalah wanita bertubuh sangat besar yang menjunjung kebersihan dalam segala hal. Mrs. Smith bilang Liz Coates adalah gadis paling rapi yang dia kenal. Liz memiliki kaki yang mulus dan bersih; serta selalu mengenakan celemek ginggang tanpa noda. Jim juga memerhatikan bahwa Liz tak pernah membiarkan rambutnya berantakan atau sampai terempas menutupi wajah dan pundak. Jim senang melihat paras Liz yang selalu ceria, tapi dia tidak pernah terlalu serius memikirkan gadis itu.

Liz suka sekali terhadap Jim. Dia sering memerhatikan dari jauh saat Jim jalan kaki dari bengkelnya menuju kedai D.J. Smith — sesekali dia bahkan sengaja berdiri di dekat pintu dapur dan mengamati Jim keluar dari bengkel di jam makan siang. Dia suka kumis Jim yang tebal. Dia suka melihat deretan gigi Jim yang putih bersih setiap kali senyumnya terekah. Dia juga senang sekali mendapati Jim tidak seperti tukang-tukang besi lainnya, dan dia bersyukur kedua bosnya, D.J. Smith dan Mrs. Smith, sangat nyaman berada di sekitar Jim.

Kemudian, entah bagaimana, suatu hari, Liz menemukan hal-hal lain yang dia suka dari Jim: seperti bulu tangannya yang hitam pekat; namun di atas garis kulit yang kecokelatan karena terkena sinar matahari, bulunya justru nampak agak putih. Liz memerhatikan ini saat Jim berbasuh di baskom di luar bengkel — dan hal-hal baru yang dia sukai dari Jim mendatangkan debar aneh di dadanya.

Hortons Bay adalah kota kecil. Hanya ada lima rumah keluarga di jalan utama kota itu, terhimpit antara dua kota lain: Boyne City dan Charlevoix. Di luar itu, ada satu bangunan toko kelontong dan satu kantor pos yang bagian muka bagunannya* sengaja dibuat menipu agar terlihat lebih besar dari ukuran sebenarnya. Lalu, di depan bagunan kantor pos sering terparkir sebuah mobil pengantar surat. Setelah itu, ada rumah keluarga Smith, rumah keluarga Stroud, rumah keluarga Dillworth, rumah keluarga Horton (yang sekarang jadi bengkel serta tempat tinggal Jim) dan rumah keluarga Van Hoosen.

Rumah-rumah penduduk kota ini dikelilingi sebuah hutan yang cukup luas dan ditumbuhi pepohohan elm dengan permukaan jalan berlapis pasir. Kota ini juga dihimpit oleh lahan pertanian dan lahan perkebunan, dan keduanya bisa terlihat jelas dari jalan utama.

Di ujung utara jalan (menanjak ke atas bukit) ada sebuah gereja Kristen Methodist, sementara di ujung selatan jalan (menurun ke kaki bukit) ada sebentuk bangunan sekolah negeri. Bengkel pandai besi yang dibeli oleh Jim Gilmore berlokasi tepat di seberang gedung sekolahan. Bengkel itu dicat warna merah.

Seutas jalan yang cukup curam dan berlapis pasir terlihat menuruni bukit melewati tepian teluk menuju area perkebunan. Dari pintu belakang kedai, sekaligus tempat tinggal keluarga Smith, terlihat hutan yang memanjang sampai ke danau dan mengelilingi area tepian teluk.

Pemandangan Hortons Bay di musim semi dan musim panas sangat indah: suasana teluk tampak biru dengan langit cerah penuh cahaya; sementara ombak putih bergulung di tepi danau dan disisir oleh angin yang bertiup dari arah Charlevoix dan Danau Michigan.

Dari pintu belakang kediaman keluarga Smith, Liz sering melihat kapal-kapal tongkang bijih berlayar jauh menuju Boyne City. Kalau dia menatapi kapal-kapal itu, kelihatannya mereka sama sekali tidak bergerak; namun jika dia masuk ke dalam rumah untuk mengeringkan cucian piring dan tak lama berdiri lagi di pintu belakang rumah, maka kapal-kapal itu terlihat sangat jauh dan mengecil hingga hilang sama sekali.

Belakangan, Liz tidak bisa berhenti memikirkan Jim Gilmore. Sayangnya, laki-laki tersebut tidak terlalu memerhatikannya. Jim biasanya berbincang dengan D.J. Smith soal bisnis; selain itu juga soal Partai Republik dan James G. Blaine**. Di malam hari, Jim rajin membaca surat kabar lokal, The Toledo Blade, dan surat kabar kawasan Grand Rapids***, di dekat lampu di ruang utama kediamannya. Atau, kalau tidak membaca surat kabar, Jim biasanya pergi memancing di malam hari bersama D.J. Smith di tepi danau menggunakan lampu jacklight sebagai umpan.

Di musim gugur, Jim dan D.J. Smith, serta Charley Wyman pergi berkendara dengan ragam persiapan: kemah lipat, bekal makanan, kapak, senapan berburu serta dua ekor anjing. Mereka berkendara sampai ke dataran pinus melewati kota Vanderbilt, lalu menghabiskan waktu berburu rusa.

Empat hari sebelum ketiga lelaki itu pergi berburu, biasanya Liz dan Mrs. Smith sibuk memasak bekal makanan untuk mereka. Liz ingin memasak resep khusus sebagai bekal untuk Jim, tapi akhirnya niat itu dia batalkan karena enggan meminta telur dan tepung milik Mrs. Smith. Sebenarnya bisa saja dia beli sendiri bumbu masakan yang dia perlukan, tapi Liz tidak berani minta izin menggunakan alat masak keluarga Smith. Tentunya, Mrs. Smith takkan keberatan — tapi tetap saja Liz ketakutan.

Selama Jim pergi berburu, Liz tak henti-hentinya memikirkan laki-laki tersebut. Tidak enak sekali rasanya ditinggal. Tidurnya tidak nyenyak karena memikirkan Jim; tapi di saat bersamaan, semangatnya juga timbul saat memikirkan Jim. Dia merasa lebih baik kalau dia bisa membebaskan pikirannya sendiri.

Malam sebelum Jim, D.J. Smith dan Charley Wyman kembali dari perjalanan berburu mereka, Liz sama sekali tidak bisa tidur. Setidaknya, itu yang dia rasakan — meski, pada kenyataannya, dia sendiri tidak tahu apakah dia sama sekali tidak tidur, atau dia terjebak dalam pola pikir antara tidak tidur dan tidak tidur nyenyak.

Ketika akhirnya Liz mendapati mobil yang dikendarai ketiga laki-laki itu tengah menyusuri jalan panjang menuju rumah keluarga Smith, ia merasakan lututnya lemas dan perutnya tegang. Dia tidak sabar bertemu Jim; dan dia yakin kalau sudah melihat Jim, tubuhnya akan terasa normal lagi. Mobil itu berhenti di bawah pohon elm yang rindang dan Liz dan Mrs. Smith segera beranjak keluar rumah untuk menghampirinya. Ketiga laki-laki itu kini agak berjanggut karena berhari-hari tidak bercukur, dan di belakang mobil ada tiga ekor rusa dengan kaki menggantung kaku di pinggiran bak.

Mrs. Smith memberi kecupan pada suaminya dan D.J. Smith serta-merta merengkuh istrinya ke dalam pelukan hangat. Jim menyapa, “Halo, Liz,” sambil mengerutkan dahi.

Liz tidak tahu apa yang akan terjadi saat Jim kembali; tapi dia begitu yakin sesuatu akan terjadi. Namun, nyatanya tidak terjadi apa-apa. Mungkin karena mereka baru tiba dari perjalanan berburu yang melelahkan, Liz berusaha menenangkan diri. Jim menarik kain karung goni yang menutupi tubuh rusa di bak mobil dan Liz menatap binatang-binatang itu dengan saksama. Satu di antara tiga ekor rusa yang telah mati itu berukuran cukup besar — tubuhnya kaku dan sulit diturunkan dari bak mobil.

“Kau yang menembak rusa ini, Jim?” tanya Liz.

Yeah. Cantik ya?” Jim menggunakan kedua pundaknya untuk membopong tubuh rusa itu masuk ke dalam ruang pengasapan.

Malam itu, Charley Wyman memutuskan makan malam di rumah keluarga Smith. Waktu sudah terlalu larut untuk berkendara kembali ke kediamannya di Charlevoix. Ketiga lelaki pemburu tadi segera berbasuh dan menunggu makan malam mereka di ruang depan.

“Apa masih ada sisa minuman, Jimmy?” tanya D.J. Smith. Jim segera beranjak menuju mobil yang terparkir di dalam lumbung dan mengambil sebentuk buyung berisi cairan whiskey yang mereka bawa sebagai bekal berburu. Buyung itu memiliki kapasitas isi sekitar empat galon cairan, dan saat ditenteng Jim kembali ke ruang depan rumah keluarga Smith, terasa sisa cairan whiskey terombang-ambing di bagian bawah buyung mengiringi gerak tangannya.

Dalam perjalanannya, Jim mengangkat buyung di tangan dan menegak isinya sesaat. Berat sekali buyung itu karena ukurannya cukup besar. Sedikit carian whiskey tumpah ke dadanya, membasahi pakaian. Ketika akhirnya Jim tiba di dalam rumah keluarga Smith, kedua laki-laki yang sedang menunggunya tersenyum menatap ke arah buyung berisi cairan whiskey. D.J. Smith segera meminta gelas bersih dan Liz buru-buru menghadirkan gelas-gelas itu untuk mereka. D.J. mengisi penuh ketiga gelas kosong yang dibawa Liz.

Well, mari bersulang untuk kesejahteraanmu, D.J.,” ujar Charley Wyman.

“Rusa yang kau tembak besar sekali, Jimmy,” kata D.J.

“Mari bersulang untuk rusa-rusa yang meleset dari bidikan kita, D.J.,” kata Jim seraya menenggak whiskey dari dalam gelas.

“Rasanya enak sekali. Cocok untuk laki-laki seperti kita.”

“Tuang lagi, teman-teman?”

“Mari kutunjukkan caranya, D.J.”

“Habiskan, teman-teman.”

“Mari bersulang untuk tahun depan.”

Jim mulai merasa nyaman, girang. Ia suka sekali rasa whiskey dan kehangatan yang dihadirkan. Dia bersyukur sudah bisa kembali menikmati ranjang yang nyaman, makanan yang hangat dan bengkel tempat kerjanya. Dia menenggak whiskey sekali lagi.

Ketiga lelaki itu mendatangi meja makan dengan mood penuh canda, namun tetap berperilaku sopan. Liz duduk di meja makan setelah selesai melayani si tuan rumah dan tamu-tamunya, lalu bersantap bersama mereka. Sajian makan malam sangat lezat. Para lelaki melahap sajian di atas meja dengan sangat serius.

Setelah makan malam selesai, mereka kembali ke ruang depan, sementara Liz dan Mrs. Smith beberes di dapur dan ruang makan. Lantas, Mrs. Smith naik ke lantai dua untuk beristirahat dan tidak lama kemudian D.J. Smith melakukan hal yang sama. Tinggal Jim dan Charley yang masih duduk-duduk di ruang depan.

Liz duduk di dapur, tepat di sebelah kompor, dan berpura-pura membaca buku sambil memikirkan Jim. Dia belum mau tidur karena dia tahu Jim pasti akan beranjak pergi dari ruang depan dan berjalan kembali ke bengkel. Kalau bisa, dia ingin menatap sosok laki-laki itu saat melintasi jalan gelap menuju bengkel supaya ia bisa memimpikan laki-laki tersebut.

Pikiran Liz masih sarat akan sosok Jim ketika tiba-tiba saja laki-laki itu muncul di hadapannya. Matanya berkilau dan rambutnya sedikit berantakan. Liz tidak berani mengangkat wajahnya dan justru menunduk ke arah halaman buku di tangan.

Jim beranjak ke arahnya dan berdiri di belakang kursi yang diduduki Liz, hingga gadis itu bisa merasakan napas laki-laki tersebut menebar kehangatan dari belakang.

Lantas, Jim merengkuh tubuh Liz dari belakang dan merasakan buah dada gadis itu yang kenyal serta putingnya yang mengeras.

Liz ketakutan, belum ada laki-laki yang berani menyentuhnya selama ini. Tapi kemudian dia berpikir, “Akhirnya, Jim menghampiriku. Dia benar-benar suka padaku.”

Gadis itu membiarkan tubuhnya kaku saat disentuh Jim, karena dia ketakutan dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu, Jim mendesaknya ke punggung kursi dan menciumnya. Ciuman itu terasa tajam, kasar dan menyakitkan hingga Liz tak kuasa menahan rasa takutnya.

Liz melarikan tangannya ke punggung laki-laki itu, namun dia masih tak bisa menahan ketakutannya. Lantas, tak lama kemudian, ada sesuatu yang terjadi pada tubuhnya dan apa yang dirasakan Liz berubah dari ketakutan menjadi kehangatan dan kelembutan. Jim masih memeluknya dengan erat, menekan punggungnya ke punggung kursi, dan tiba-tiba Liz menginginkan tubuh lelaki itu. Jim berbisik, “Ayo, kita jalan-jalan keluar.”

Liz mengambil jaketnya dari kaitan besi di dinding dapur dan mereka berdua segera beranjak ke luar rumah. Jim merangkul pundak Liz sepanjang jalan, dan sesekali mereka berhenti melangkah dengan tubuh saling merapat sebelum Jim menciumnya lagi.

Malam itu tidak ada sinar bulan dan mereka menelusuri jalan berpasir yang menggunduk sebatas pergelangan kaki, melewati jajaran pepohonan sampai ke tepi teluk di sebuah dermaga tidak jauh dari gudang-gudang pelayaran.

Gulungan ombak menjilat kayu-kayu penyanggah dermaga dan di sepanjang pinggiran teluk malam terlihat begitu pekat. Cuaca malam itu cukup dingin, tapi Liz merasa tubuhnya kelewat hangat karena berdekatan dengan Jim.

Mereka duduk di sebuah gubuk kecil di salah satu gudang pelayaran dan Jim tak buang waktu untuk menarik tubuh gadis di sampingnya agar lebih dekat lagi.

Liz kembali merasakan takut yang sama seperti sebelumnya.

Jim menyelipkan sebelah tangan ke dalam pakaian Liz dan dengan jemarinya mengelus buah dada gadis itu, sementara tangan lainnya diletakkan di atas pangkuan Liz.

Gadis itu sangat ketakutan dan tidak tahu apa yang akan dilakukan Jim setelah itu, tapi ia merapatkan tubuhnya ke arah Jim.

Lalu, tangan Jim yang ada di pangkuan Liz dan terasa begitu besar mulai bergerak ke lutut gadis itu sebelum merambah naik ke atas.

“Jangan, Jim,” ujar Liz.

Jim menggeser jemarinya semakin tinggi menuju pangkal paha gadis itu.

“Jangan, Jim. Jangan lakukan ini.” Tapi baik Jim — maupun tangan laki-laki itu — tak ada yang mendengar permohonannya.

Papan kayu yang melandasi lantai gudang terasa keras. Jim mengangkat rok yang dikenakan Liz dan berusaha untuk melakukan sesuatu terhadap gadis itu. Liz ketakutan, tapi dia juga menginginkan laki-laki itu. Dia sangat menginginkan Jim, tapi dia takut terhadap apa yang dia rasakan.

“Jangan, Jim,” gadis itu memohon. “Jangan lakukan ini.”

“Harus,” kata Jim. “Aku harus melakukannya. Kau pun sadar, kita harus melakukannya.”

“Tidak, kita tidak harus melakukannya, Jim. Tidak harus. Oh, ini tidak benar. Oh, besar sekali dan sakit. Jangan, Jim. Oh, Jim. Jim. Oh.”

Papan kayu yang menjadi bahan bangunan utama dermaga terasa keras, kasar dan dingin. Sementara tubuh Jim terasa begitu berat dan mengimpit. Jim sudah melukai gadis itu. Liz mencoba mendorong tubuh laki-laki tersebut karena dia merasa sangat tidak nyaman dan kram.

Jim terlelap. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak.

Akhirnya, Liz menggerakkan tubuhnya sendiri sekuat tenaga agar bisa lepas dari perangkap tubuh laki-laki yang menindihnya. Ketika berhasil, gadis itu terduduk dengan punggung tegak seraya mengibas rok dan jaket yang ia kenakan agar terlihat sedikit lebih bersih dan rapi. Ia juga berusaha merapikan rambutnya. Jim terlelap dengan mulut agak menganga. Liz membungkuk dan mengecup pipi laki-laki itu. Tapi Jim masih tertidur.

Liz berusaha mengangkat kepala Jim dan menggoyangnya, namun laki-laki itu hanya menoleh ke arah lain dan menelan air ludahnya sendiri.

Liz mulai menangis.

Gadis itu beranjak meninggalkan gubuk kecil tersebut dan berdiri di tepi dermaga sambil menatap air danau di bawahnya.

Ada kabut yang mulai terangkat di sekitar pinggiran teluk. Liz merasakan dingin pada sekujur tubuhnya. Ia merasa sedih seolah segala hal yang dia miliki telah terenggut pergi begitu saja.

Tak lama, gadis itu melangkah kembali ke gubuk kecil di dalam gudang pelayaran, mendekati tubuh Jim dan sekali lagi berusaha menggoyangnya untuk memastikan laki-laki itu baik-baik saja. Tangisnya belum reda.

“Jim,” panggil Liz. “Jim, tolong bangun. Jim.”

Jim menggerakkan tubuhnya sedikit dan meringkuk semakin erat. Liz melepas jaket yang ia kenakan dan menutupi tubuh Jim dari udara dingin. Ia menyelipkan ujung-ujung jaket dengan sangat hati-hati agar Jim tidak terbagun, dan tetap hangat. Lantas, gadis itu beranjak pergi melintasi dermaga, melewati jalanan berpasir, menuju ranjang tidurnya sendiri.

Kabut dingin mulai datang dari arah pinggiran teluk, dan terus melintasi batang-batang pohon elm di hutan menuju rumah-rumah di dalamnya. FL

2020 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Ernest Hemingway. Tidak untuk ditukar, digandakan, ataupun dijual.


#KETERANGAN:

* Di akhir 1800an dan awal 1900an di kota-kota kecil di daerah Midwest Amerika Serikat banyak sekali bangunan yang menggunakan false front untuk membuat tampilannya terlihat lebih besar dan mewah, contohnya bar atau salon jaman itu, yang banyak ditunjukkan di film-film bergenre Western. Sampai saat ini, masih ada beberapa toko yang menggunakan false front terutama di kota-kota pesisir pantai.

** James G. Blaine adalah seorang politikus AS dari partai Republican dan kemudian diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri di tahun 1881 hingga 1892.

*** Grand Rapids adalah kota terbesar kedua di Michigan.


#CATATAN:

> Cerita ini berjudul UP IN MICHIGAN karya Ernest Hemingway dan pertama kali terbit di koleksi “Three Stories and Ten Poems” pada tahun 1923. Ditulis pada tahun 1921, cerita pendek ini kemudian direvisi lagi di tahun 1938.

>> ERNEST HEMINGWAY adalah seorang sastrawan asal Amerika Serikat yang telah menulis belasan novel, kumpulan cerpen, dan karya non-fiksi. Ia menerima Penghargaan Nobel Sastra di tahun 1954 untuk karyanya, “The Oldman And The Sea.”

>>> Judul cerita diganti menjadi “Kabut Musim Gugur di Michigan” karena mencari kedekatan konteks bahasa dan pemikiran budaya dalam proses penerjemahan.


#POIN DISKUSI:

  1. Apa tema besar cerita pendek ini?
  2. Konflik apa yang sebenarnya dialami oleh Liz Coates?
  3. Apa arti kabut dalam konteks cerita ini?
  4. Menurut kalian, apakah ending yang ditampilkan oleh cerita pendek ini cukup menarik?
  5. Siapa tokoh utama cerita pendek ini?

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

8 Comment on “Kabut Musim Gugur di Michigan

  1. Ping-balik: KONFLIK DALAM CERPEN KABUT MUSIM GUGUR DI MICHIGAN KARYA ERNEST HEMINGWAY – Sebuah Titik

Tinggalkan balasan