Chimamanda Ngozi Adichie
Dua kali seminggu, layaknya seorang anak yang berbakti, aku pergi mengunjungi kedua orangtuaku di Enugu. Mereka tinggal di dalam rumah susun sempit yang disesakkan oleh perabotan dan cenderung bernuansa gelap di sore hari. Masa pensiun telah mengubah mereka, membuat mereka tampak kerdil. Usia mereka delapan-puluhan tahun, keduanya bertubuh kecil dengan warna kulit coklat tua seperti warna kayu mahogani, dan mereka juga cenderung berjalan sambil membungkuk. Seiring dengan berjalannya waktu, paras dan sosok mereka semakin mirip antara satu dengan yang lain, seolah tahun-tahun yang mereka lewati bersama telah menyatukan mereka secara jasmani. Mereka bahkan menguarkan bau badan yang sama — bau menthol yang asalnya dari tabung kecil obat gosok Vicks VapoRub, yang mereka gunakan secara bergantian, mengusapnya di bawah hidung dan sendi-sendi yang ngilu.
Ketika aku tiba, biasanya aku akan menemukan mereka sedang duduk-duduk di beranda sambil menatap ke arah jalan raya; atau mereka tengah duduk di sofa ruang tamu, menonton siaran Animal Planet. Di usia senja, kedua orangtuaku memiliki rasa keingintahuan yang baru dan sederhana. Mereka mengagumi kelicikan serigala, menertawai kecerdasan kera, dan saling bertanya: “Ifukwa, kau lihat itu barusan?”
Mereka juga memiliki kesabaran yang sama sekali baru — dan asing bagiku — terhadap cerita-cerita luar biasa. Suatu kali, ibuku pernah cerita soal tetangga di Abba, kota leluhur kami, yang jatuh sakit kemudian memuntahkan seekor belalang. Serangga itu masih hidup dan menggeliat, lapor ibuku, sebelum mengarahkan logika tersebut pada kesimpulan bahwa tetangga kami itu telah diracuni oleh saudaranya yang picik. “Seseorang mengirim SMS berisi foto belalang tersebut,” kata ayahku.
Mereka berdua selalu menopang cerita satu sama lain. Ketika ayahku cerita soal nasib pembantu rumah tangga Chief Okeke yang meninggal mendadak, ia tak lupa menambahkan teori yang beredar soal kemungkinan sang kepala suku sendiri yang telah membunuh remaja perempuan itu demi mengambil organ tubuhnya dan menggunakannya untuk kepentingan suatu ritual pendatang uang. Ibuku lantas menambahkan, “Kata orang jantungnya pun ikut diambil.”
Lima belas tahun lalu, kedua orangtuaku pasti mencemooh cerita-cerita macam ini. Ibuku, seorang profesor ilmu politik, pasti akan segera berceletuk, “Omong kosong” dengan nada tajam; sementara ayahku, seorang profesor bidang pendidikan, akan mendengus, karena baginya cerita-cerita macam ini tak pantas untuk dikomentari. Aku heran kemana perginya sifat mereka yang lama, dan kenapa sekarang mereka jadi warga Nigeria yang senang bercerita soal hal-hal aneh, seperti bagaimana wabah diabetes bisa disembuhkan dengan meminum air suci.
Namun, meski begitu, aku tetap menanggapi laporan-laporan itu. Di usia mereka sekarang, mereka seolah kembali jadi anak-anak lagi dengan kepolosan yang sama sekali baru. Pertumbuhan mereka pun tidak sepesat dulu, dan wajah mereka bersinar begitu melihatku. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang dulu terkesan menyudutkan — “Kapan kau akan memberikan kami cucu? Kapan kau akan menikah?” — tak lagi membuatku kesal.
Sekarang, setiap aku pergi meninggalkan mereka, di hari Minggu sore setelah kami menyantap makan siang besar dengan menu nasi dan sup, aku selalu bertanya-tanya apakah itu terakhir kali aku akan melihat mereka dalam keadaan hidup, dan apakah sebelum jadwal berkunjungku tiba aku akan menerima telepon yang menandakan suatu hal buruk telah terjadi terhadap salah satu dari mereka.
Pemikiran semacam itu membuatku sedih, kesedihan yang berakar pada nostalgia, dan kesedihan tersebut akan terus menggantung sampai aku tiba di Port Harcourt. Meski begitu, aku juga sadar bahwa apabila aku sudah berkeluarga dan sibuk mengeluh soal biaya sekolah yang melonjak seperti anak-anak teman-teman kedua orangtuaku, maka aku takkan punya waktu untuk mengunjungi mereka secara teratur. Aku takkan punya waktu untuk membalas budi.
Di bulan November, ketika aku sedang berkunjung, kedua orangtuaku bercerita soal meningkatnya insiden perampokan bersenjata di bagian timur Nigeria. Para perampok juga sekarang tengah bersiap melancarkan serangan mereka menjelang Natal. Ibuku bercerita tentang sekelompok orang di Onitsha yang memutuskan untuk bertindak sendiri dan menangkap para perampok, kemudian memukuli mereka dan merobek pakaian mereka. Selain itu, mereka mengalungi kulit ban mobil pada leher tiap pelaku perampokan seraya berteriak meminta sumbangan korek api dan bensin. Pada akhirnya, polisi turun tangan, melontarkan tembakan di udara guna membubarkan kerumunan penduduk, dan menahan para perampok. Ibuku terdiam sesaat, dan aku menunggu tambahan detail pada cerita yang melibatkan elemen-elemen supernatural. Bukan tidak mungkin bahwa setelah para perampok tiba di kantor polisi, mereka mendadak berubah wujud jadi burung bangkai dan terbang pergi.
“Kau tahu,” lanjut ibuku. “Salah satu perampok itu, bahkan dia justru pemimpinnya, adalah Raphael? Dia pernah kerja jadi kacung di rumah kita dulu. Bertahun-tahun lalu. Mungkin kau tak ingat.”
Aku menatap ibuku lama. “Raphael?”
Pikiranku begitu tenggelam dalam cerita-cerita orangtuaku hingga seolah diselimuti oleh kabut, dan sekarang aku harus bersusah-payah menanggapi datangnya ingatan yang tiba-tiba.
Ibuku berkata lagi, “Ibu rasa kau tak ingat. Banyak sekali kacung yang keluar-masuk di rumah ini. Kau masih sangat kecil waktu itu.”
Tapi aku ingat. Tentu saja aku ingat Raphael.
*
Tidak ada yang berubah ketika Raphael mulai tinggal di rumah kami, setidaknya di awal tak ada perubahan yang berarti. Dia tak jauh berbeda dengan kacung-kacung sebelumnya yang pernah dipekerjakan orangtuaku. Seorang remaja laki-laki yang berasal dari desa tak jauh dari tempat tinggal kami. Kacung yang dia gantikan, Hyginus, terpaksa dipecat karena telah menghina ibuku. Sebelum Hyginus ada John, yang aku ingat betul karena dia tidak dipecat; melainkan melarikan diri. John tak sengaja memecahkan piring ketika sedang mencucinya. Karena takut dimarahi ibuku, dia segera membereskan pakaiannya dan pergi begitu saja sebelum ibuku pulang kerja.
Semua kacung yang dipekerjakan orangtuaku selalu memperlakukanku dengan segan, seperti orang yang membenci ibuku. Mereka selalu bilang, ayo, santap makananmu — aku tidak mau dimarahi Nyonya nanti. Ibuku sering membentak mereka, entah karena mereka lamban, bodoh, atau sedikit tuli; bahkan saat ibuku membunyikan bel, dengan jempol tertumbuk pada tombol merah, dentang bel yang nyaring terdengar di seluruh pojok rumah tinggal kami, rasanya tak jauh beda dengan saat dia membentak si kacung. Betapa sulitnya sih untuk mengingat cara menggoreng telur, ayahku suka telur dadar biasa, ibuku senang telur dadar campur bawang merah; atau untuk menyusun boneka-boneka Rusia ke atas rak pajangan yang sama setelah selesai mengibas debu dari sana; atau untuk menyetrika seragam sekolahku dengan baik?
Aku adalah anak tunggal yang lahir saat usia orangtuaku sudah tidak muda lagi. “Waktu aku hamil, kupikir aku sedang melalui masa-masa menopause,” kata ibuku suatu hari. Usiaku baru delapan tahun saat itu, dan aku tak tahu apa arti kata menopause. Ibuku memiliki pribadi yang blak-blakan, sama seperti ayahku; dan mereka berdua seringkali mengesampingkan pendapat orang lain. Mereka bertemu di Universitas Ibadan, kemudian menikah meski tanpa restu orangtua — keluarga ayahku menganggap ibuku terlalu pintar, sementara keluarga ibuku menginginkan menantu yang lebih kaya materi. Kedua orangtuaku menghabiskan sebagian besar masa kebersamaan mereka dalam kompetisi yang menegangkan, sekaligus intim. Siapa yang lebih banyak menerbitkan disertasi, siapa yang lebih sering menang dalam permainan bulutangkis, siapa yang bisa memenangkan argumen.
Di malam hari, mereka tak jarang saling membacakan keras-keras sebuah artikel di surat kabar ataupun jurnal pendidikan kepada satu sama lain, seraya berdiri di ruang keluarga, walau sesekali sambil mondar-mandir, seolah bersiap menerkam sebuah ide yang melompat keluar dari bacaan tersebut. Mereka meneguk Mateus rosé — botol gelap dengan bentuk meliuk itu sepertinya tak pernah jauh-jauh dari mereka, berdiri di atas meja—dan meninggalkan gelas-gelas kosong dengan sisa bercak merah di bagian dalam. Waktu kecil, aku selalu khawatir tidak cukup sigap saat orangtuaku mengajakku bicara.
Aku juga khawatir karena aku tidak begitu suka buku. Kegiatan membaca tidak memiliki efek besar dalam hidupku, berbeda dengan hidup kedua orangtuaku — membaca bisa membuat mereka kesal atau menghipnotis mereka, hingga tidak memperhatikan ketika aku keluar-masuk rumah. Aku membaca buku hanya untuk memuaskan kemauan mereka saja, juga untuk menjawab segala macam pertanyaan yang sering dilempar ke arahku secara tiba-tiba di tengah jam makan — apa pendapatku tentang Pip? Apakah Ezeulu melakukan hal yang sepantasnya? Seringkali aku merasa seperti seorang penyusup di dalam rumahku sendiri.
Kamar tidurku dilengkapi dengan rak buku, yang menampung banyak sekali buku-buku yang tak lagi sanggup ditampung di koridor ataupun ruang baca keluarga. Buku-buku itu membuatku merasa seperti tamu di kamar tidurku sendiri, seolah aku tidak seharusnya berada di sana. Aku bisa merasakan kekecewaan orangtuaku dari cara mereka bertukar pandang saat aku membicarakan buku, dan aku tahu bahwa mereka tidak menganggap jawabanku salah, namun mereka juga tidak menganggap ada yang spesial tentang jawabanku. Semua terasa generik. Biasa saja. Aku juga tidak terlalu senang pergi ke klub sosial: buatku, bulutangkis itu membosankan, dan kok yang dioper ke sana-sini seperti benda yang belum selesai diproduksi, seolah siapapun yang menciptakan permainan itu mendadak berhenti di tengah jalan.
Satu hal yang sangat kucintai adalah kung fu. Aku sudah seringkali menonton film Enter the Dragon sampai-sampai aku hafal dialognya, dan aku selalu bermimpi suatu hari bisa terbangun dari tidur dan mendadak berubah wujud jadi Bruce Lee. Aku menendang dan memukul udara kosong, menghantam musuh-musuh tak kasat mata yang telah membunuh keluarga imajinerku. Aku akan menarik kasur tidurku ke atas lantai, berdiri di atas dua tumpuk buku tebal — biasanya versi hardcover novel berjudul Black Beauty dan The Water-Babies — lalu melompat ke atas kasur seraya berteriak: “Haaa!” persis seperti Bruce Lee.
Suatu hari, di tengah aksiku, aku mendongak dan menemukan Raphael tengah berdiri di ambang pintu, mengawasiku. Aku siap-siap ditegur. Dia sudah membereskan ranjang tidurku pagi itu, dan sekarang kamar tidurku terlihat seperti kapal pecah. Namun dia justru tersenyum, menyentuh dadanya dengan sebelah tangan, dan melarikan jarinya ke ujung lidah, seolah mencicipi darahnya sendiri. Adegan favoritku. Aku menatap Raphael dengan kegembiraan tak terkira. “Aku sering menonton film yang sama di rumah lain, tempatku dulu bekerja,” katanya. “Perhatikan ini.”
Raphael memutar tubuhnya sedikit, melompat, dan menendang, kakinya diangkat lurus dan tinggi di udara, tubuhnya meliuk dengan penuh keanggunan. Usiaku baru dua belas tahun saat itu dan, hingga momen tersebut, aku belum pernah menemukan diriku hadir dalam kepribadian orang lain.
*
Aku dan Raphael pun mulai sering berlatih di halaman belakang rumah, melompat dari tepi got yang dibangun agak tinggi sebelum mendarat di rumput. Dia memberi petunjuk agar aku menekan perut ke dalam, meluruskan kaki dan memosisikan jemariku dengan teliti. Ia mengajariku cara bernapas. Aksi-aksiku sebelumnya di kamar tidur terasa prematur. Sekarang, berlatih di halaman bersama Raphael, sambil membelah udara dengan kedua lengan, aku baru merasakan aksi-aksiku jadi nyata. Diiringi oleh rerumputan yang lembut di bawah kakiku, dan udara terbuka di atasku, ruang berlatihku jadi tak bertepi. Bebas untuk kutakluki. Ini benar-benar terjadi. Suatu hari aku akan bisa jadi juara sabuk hitam.
Di luar pintu dapur ada beranda terbuka yang lumayan tinggi, dan aku ingin melompat dari tepi tangga bertingkat enam sambil mencoba sebuah tendangan terbang. “Tidak,” kata Raphael. “Beranda itu terlalu tinggi.”
Di akhir pekan, bila kedua orangtuaku pergi ke klub sosial tanpaku, kami menonton film-film Bruce Lee, dan Raphael selalu berkata: “Lihat, lihat itu!” Lewat matanya, aku mendapat banyak hal baru dari tontonan yang sudah kuhafal luar kepala; beberapa jurus yang tadinya kupikir biasa saja serta-merta berubah sangat mencengangkan saat Raphael berkata, “Lihat itu!” Dia tahu apa-apa saja yang penting untuk diperhatikan; dan sangat bijaksana. Ia memutar ulang adegan di mana Bruce Lee menggunakan perangkat nunchaku, dan menatap layar televisi dengan mata nanar, seraya menarik napas pendek di setiap gerakan yang menunjukkan kehebatan senjata logam-dan-kayu itu.
“Seandainya aku punya nunchaku,” kataku.
“Sulit sekali menggunakan senjata itu,” kata Raphael dengan pasti. Dan aku nyaris menyesal telah menyatakan bahwa aku menginginkan senjata tersebut.
Tak lama setelah itu, sewaktu aku pulang sekolah, Raphael berkata, “Lihat.” Dari lemari dapur, ia mengeluarkan sebentuk nunchaku — dua batang kayu yang merupakan bagian dari gagang alat pel dan telah diampelas bersih, diikat dengan per logam di ujung atas. Dia pasti mengerjakannya setidaknya seminggu penuh, di waktu senggangnya seusai kerja. Ia menunjukkan cara-cara menggunakan perangkat itu. Gerakannya sedikit selebor, tidak seperti gerakan Bruce Lee. Kuambil nunchaku tersebut dan berusaha untuk mengayunkannya, namun justru ujung kayu itu menghantam dadaku. Raphael tertawa. “Kau pikir kau bisa langsung menguasainya?” katanya. “Kau harus berlatih lama sekali.”
Di sekolah, aku duduk di dalam kelas sambil memikirkan halusnya batang kayu nunchaku buatan Raphael di tanganku. Hidupku seolah baru dimulai saat aku pulang sekolah, dan bertemu Raphael. Orangtuaku bahkan tidak sadar akan persahabatan yang telah kujalin dengan kacung mereka. Mereka hanya tahu bahwa sekarang aku lebih sering bermain di luar rumah, dan tentunya Raphael selalu ada di luar — membabat rumput taman, mencuci perkakas rumah di dekat tangki air.
Suatu sore, Raphael baru saja selesai mencabuti bulu ayam dan segera menginterupsi aksi solo-ku di halaman belakang rumah. “Tarung!” katanya. Dimulailah sebuah duel, dia dengan tangan kosong, sementara tanganku sibuk mengayun senjata baruku. Dia mendorongku cukup keras. Salah satu batang nunchaku menghantam lengannya, dan Raphael tampak terkejut, lantas terpesona, seolah dia tidak mengantisipasi gerakan itu dariku. Aku mengayun lagi dan lagi. Ia pura-pura hendak meninjuku, lalu menunduk dan menendang. Waktu melayang begitu saja. Di akhir aksi itu, kami tertawa dan terengah-engah. Aku ingat, jelas sekali, bahkan sekarang, tahunan setelah kejadian itu, betapa sempit celana pendek yang ia kenakan, dan urat-urat panjang yang membekas di kedua kakinya, seperti tali kencang.
Setiap akhir pekan, aku menyantap makan siang bersama kedua orangtuaku. Aku selalu berusaha menghabiskan makan siangku secepat mungkin, ingin buru-buru pergi dari meja makan dan berharap orangtuaku takkan sibuk menanyaiku ini-itu. Suatu siang, Raphael menyajikan sepiring ubi rebus berwarna putih bundar di atas tumpukkan sayuran hijau, beserta potongan dadu pepaya dan nanas.
“Sayurnya terlalu keras,” kata ibuku. “Kau pikir kami ini kambing?” Ia melirik ke arah Raphael. “Kenapa matamu?”
Aku baru sadar bahwa pertanyaan itu bukan ocehan biasa dari mulut ibuku — “Hidungmu tertutup apa?” dia biasanya bertanya bila tak sengaja mencium bau tak sedap dari dapur yang tidak tercium Raphael. Pertanyaannya sekarang tertuju pada mata Raphael yang memerah. Merah yang menyala dan terlihat tidak sehat. Raphael menggumam bahwa seekor serangga telah menyengat kedua matanya.
“Kelihatannya seperti Apollo,” ujar ayahku.
Ibuku mendorong kursi duduknya ke belakang dan mengamati wajah Raphael. “Ah-ah! Ya, benar sekali. Pergi ke kamarmu dan jangan keluar.”
Raphael bergeming, seolah masih ingin membereskan piring-piring makan di atas meja.
“Pergi!” kata ayahku. “Sebelum kau menulari kami semua dengan penyakitmu itu.”
Raphael, kebingungan, mulai menjauh dari meja makan kami. Ibuku memanggilnya lagi. “Kau pernah terjangkit penyakit ini sebelumnya?”
“Tidak, Nyonya.”
“Kau terkena infeksi konjungtiva, selaput mata,” kata ibuku. Di tengah penuturannya dalam bahasa Igbo, kata ‘konjungtiva’ terdengar tajam dan berbahaya. “Kami akan membelikanmu obat. Gunakan tiga kali sehari dan jangan keluar dari kamarmu. Jangan masak apa-apa sampai penyakitmu sembuh.” Ibuku menoleh ke arahku, “Okenwa, jangan dekat-dekat dia. Apollo sangat menular.” Dari nada bicaranya, jelas sekali bahwa ibuku tidak pernah membayangkan bahwa aku bahkan punya alasan untuk berada di dekat Raphael.
Beberapa jam kemudian, kedua orangtuaku berkendara ke sebuah apotek terdekat dan kembali membawa sebotol obat tetes mata, yang kemudian diantar oleh ayahku ke kamar tidur Raphael di bagian belakang rumah. Gerak-gerik ayahku terlihat seperti prajurit yang enggan masuk ke medan merang.
Malam itu, aku pergi bersama orangtuaku ke Obollo Road untuk membeli akara untuk santapan makan malam; ketika kami kembali, rasanya aneh tidak dibukakan pintu oleh Raphael, dan tidak melihatnya menarik korden-korden ruang tamu hingga tertutup serta menyalakan lampu-lampu beranda. Di dalam dapur yang kini sunyi, rumah kami terlihat minim kehidupan.
Begitu orangtuaku sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, aku beranjak ke kamar tidur Raphael dan mengetuk pintunya. Pintu kamarnya terbuka sedikit. Raphael tengah berbaring di atas tempat tidur yang sempit dan diletakkan mendempet ke dinding, ia memutar tubuhnya ketika aku masuk ke dalam kamarnya, terkejut, lalu berusaha bangkit berdiri. Aku belum pernah mengunjungi kamar tidurnya. Bohlam lampu yang menggantung bebas di bawah langit-langit ruangan menebarkan cahaya temaram.
“Ada apa?” tanyanya.
“Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau lihat keadaanmu.”
Raphael mengedikkan pundak dan kembali duduk di ranjangnya. “Aku tidak tahu bagaimana penyakit ini menulariku. Jangan dekat-dekat.”
Tapi justru itu yang kulakukan.
“Aku pernah terjangkit Apollo di kelas 3 SD,” kataku. “Tak lama juga kau pasti sembuh, jangan khawatir. Sudah menggunakan obat tetes malam ini?”
Dia mengedikkan pundak lagi dan tak berkata apa-apa. Di atas meja ada sebotol obat tetes mata yang belum dibuka.
“Kau belum menggunakannya sama sekali?” tanyaku.
“Belum.”
“Kenapa?”
Ia tak mau menatapku. “Aku tak bisa melakukannya sendiri.”
Raphael, remaja yang bisa mengosongkan isi perut seekor kalkun dan menggotong sekarung beras, tak sanggup meneteskan obat itu ke matanya sendiri. Di awal, aku tercengang, lalu terhibur, lalu tergerak. Aku menoleh ke seisi kamarnya dan tercenung melihat betapa kosong ruangan itu — hanya ada sebuah ranjang sempit yang merapat di dinding, sebuah meja berkaki kecil, dan sebentuk kotak logam abu-abu di pojok ruangan, yang kuasumsi berisi semua barang yang ia miliki.
“Aku akan meneteskannya untukmu,” kataku. Kuambil botol obat tetes mata di atas meja dan memutar tutupnya hingga terbuka.
“Jangan dekat-dekat,” ujarnya lagi.
Tapi aku sudah terlanjur berada di dekatnya. Aku menunduk di atas kepalanya. Ia mulai mengedipkan matanya cepat-cepat.
“Bernapas tenang, seperti di aksi kung fu,” kataku.
Kupegang wajahnya, dan perlahan-lahan menarik kelopak mata kirinya sebelum meneteskan cairan obat ke dalam matanya. Aku menarik kelopak mata kanannya dengan tenaga lebih, karena Raphael menutup matanya rapat-rapat.
“Ndo,” kataku. “Maaf.”
Raphael membuka kedua matanya dan menatapku, dan di wajahnya ada pancaran sinar yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak pernah jadi pujaan siapapun. Hal itu mengingatkanku akan kelas ilmiah, di mana kami mempraktikkan proses penanaman tumbuhan dan menyaksikan pucuk jagung tumbuh tinggi dan hijau menuju matahari. Raphael menyentuh lenganku. Aku berbalik hendak pergi.
“Aku akan datang lagi sebelum aku berangkat ke sekolah,” kataku.
Keesokan paginya, aku menyelinap masuk ke kamar Raphael, meneteskan obat mata yang sama, dan menyelinap keluar dan masuk ke dalam mobil ayahku untuk diantar ke sekolah.
Di hari ketiga, kamar tidur Raphael terasa begitu familiar bagiku, terbuka dan tidak sesak oleh pernak-pernik. Begitu aku meneteskan obat itu di matanya, aku mendapati hal-hal tentang remaja itu yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya: kumis tipis yang gelap dan tumbuh di atas bibir atasnya, bercak kurap yang ada di antara rahang dan lehernya. Aku duduk di tepi ranjangnya dan kami berbincang sedikit soal Snake in the Monkey’s Shadow. Kami sudah seringkali membahas film itu, dan kami mengatakan hal-hal yang sama seperti yang telah kami ucapkan sebelumnya, namun di tengah kamar tidurnya yang sunyi, semua itu terasa berat layaknya sebuah rahasia. Suara kami sengaja direndahkan, nyaris berbisik. Tubuhnya menguarkan kehangatan yang juga hinggap di tubuhku.
Raphael bangkit di atas kedua kaki untuk mendemonstrasikan jurus ular, lalu setelah itu kami berdua tertawa dan remaja tersebut memegang tanganku. Kemudian ia melepas tanganku dan bergerak menjauh dariku.
“Apollo sudah hilang,” katanya.
Matanya bersih, tak lagi merah. Aku sempat berharap penyakitnya tidak akan sirna secepat itu.
*
Dalam mimpiku, aku tengah berlatih bersama Raphael dan Bruce Lee di sebuah lapangan terbuka. Ketika aku terbangun, mataku tak bisa dibuka. Dengan dua tangan aku menarik kelopak mataku agar terbuka. Mataku terasa panas dan gatal. Setiap kali aku mengedipkan mataku, mereka mengeluarkan cairan pucat dan kental yang menutupi bulu mataku. Rasanya seolah ada butir-butiran pasir panas di bawah kelopak mataku. Aku takut sesuatu di dalam tubuhku tengah mencair, meski tidak seharusnya begitu.
Ibuku berteriak memanggil Raphael, “Kenapa kau bawa penyakit ini ke rumahku? Kenapa?” Seolah terjangkit penyakit Apollo, dia telah merencanakan konspirasi untuk menularkannya padaku. Raphael tidak menjawab. Ia tak pernah menyahut saat sedang dimarahi. Ibuku berdiri di pucuk tangga, dan Raphael di kaki tangga.
“Bagaimana bisa dia menularimu penyakit ini dari kamar tidurnya?” tanya ayahku.
“Bukan Raphael,” kataku. “Sepertinya aku tertular teman sekolahku.”
“Siapa?” Aku harusnya tahu bahwa ibuku pasti menanyakan hal ini. Di saat itu, nama-nama teman sekelasku tak ada yang kuingat.
“Siapa?” desak ibuku.
“Chidi Obi,” tuturku akhirnya, nama yang tiba-tiba teringat. Bocah itu duduk di meja di depanku dan tubuhnya selalu menguarkan bau apek.
“Kepalamu pusing?” tanya ibuku.
“Ya.”
Ayahku membawakan obat Panadol untukku. Ibuku menelepon Dr. Igbokwe. Kedua orangtuaku bergerak cepat. Mereka berdiri di ambang pintu kamarku dan mengawasiku saat aku meneguk Milo seduhan ayahku dari dalam cangkir. Aku meneguknya secepat mungkin. Aku berharap mereka takkan menarik kursi ke dalam kamarku, seperti yang biasa mereka lakukan setiap kali aku jatuh sakit gara-gara wabah malaria, ketika aku terbangun dengan lidah terasa pahit dan menemukan salah satu dari kedua orangtuaku tengah menungguiku di tepi ranjang seraya membaca buku. Kalau sudah begitu aku akan berdoa agar aku lekas sehat, supaya bisa terbebas dari pengawasan mereka.
Dr. Igbokwe tiba dan menyinarkan lampu senter di mataku. Parfum yang ia kenakan sungguh mendesak hidungku, dan aku masih bisa menciumnya meski ia sudah tak lagi ada di dalam kamarku. Wanginya sarat akan alkohol dan menurutku justru membuat mabuk. Setelah dia pamit, kedua orangtuaku membangun altar pasien di samping ranjang tidurku — sebentuk meja yang dibungkus taplak, dan di atasnya diletakkan sebotol minuman energi Lucozade berwarna oranye, sebuah kaleng kecil berwarna biru dan berisi gula-gula, serta sekeranjang jeruk yang baru saja dikupas kulitnya. Mereka tidak menyeret bangku ke dalam kamar tidurku, tapi salah satu dari mereka cuti kerja selama seminggu sampai aku sembuh dari wabah Apollo. Ayah dan ibuku bergantian meneteskan obat ke dalam mataku. Ayahku sedikit lebih ceroboh dalam melakukannya dibandingkan ibuku, sehingga ia selalu meninggalkan cairan lengket mengalir di pipiku sehabis meneteskan obat itu. Mereka tidak sadar bahwa aku bisa meneteskan obat itu sendiri. Setiap kali mereka mengangkat botol obat tetes itu di atas kepalaku, aku teringat akan sinar yang terpancar dari mata Raphael di malam pertama saat aku meneteskan obat yang sama di matanya. Kebahagiaan itu menghantuiku.
Orangtuaku menutup semua tirai di jendela kamarku agar tidak banyak cahaya yang masuk. Aku lelah berbaring terus. Aku ingin bertemu Raphael, tapi ibuku sudah melarangnya masuk ke dalam kamarku, seolah kehadirannya bisa memperburuk kondisiku. Aku berharap Raphael sudi curi-curi momen untuk menjengukku. Kan dia bisa saja pura-pura mau mengganti seprai, atau membawakan ember ke dalam kamarku. Kenapa dia tidak datang? Dia bahkan tidak pernah minta maaf kepadaku. Aku berusaha untuk mendengar suaranya, tapi dapur rumah kami letaknya cukup jauh dari kamar tidurku, dan suaranya, saat dia berbicara dengan ibuku, sengaja dibuat sangat rendah.
Sekali, setelah aku pergi ke kamar mandi, aku berusaha untuk mengendap turun ke dapur, tapi ayahku sudah berdiri di kaki tangga.
“Kedu?” tanya ayahku. “Kau baik-baik saja?”
“Aku haus,” kataku.
“Biar Ayah yang bawa air ke atas. Kembali ke kamarmu dan berbaringlah.”
*
Akhirnya, kedua orangtuaku pergi berduaan saja. Aku sedang tidur dan terbangun mendapati rumah tinggalku terasa kosong. Aku buru-buru menuruni tangga dan beranjak ke dapur. Tempat itu juga kosong. Aku penasaran apakah Raphael ada di kamarnya; karena dia biasanya tidak diizinkan beristirahat di dalam kamar tidurnya di siang hari, tapi siapa tahu dia sudah ada di sana — sementara orangtuaku tak di rumah. Aku melangkah ke arah beranda terbuka. Aku mendegar suara Raphael sebelum aku melihatnya tengah berdiri di dekat tangki air, membenamkan kakinya ke dalam pasir, sambil berbincang dengan Josephine, pembantu Profesor Nwosu. Sesekali, Profesor Nwosu mengirimkan telur dari peternakan ayamnya, dan ia tak pernah mau dibayar oleh kedua orangtuaku. Apakah itu sebabnya Josephine ada di sini? Karena dia mengantar telur? Gadis itu bertubuh tinggi dan agak gemuk; saat ini dia terlihat seperti orang yang sudah pamit namun menolak pergi. Saat berhadapan dengannya, Raphael terlihat berbeda—punggungnya membungkuk, kakinya tak bisa diam. Dia terlihat malu-malu. Cara bicara Josephine terkesan manja, namun jual mahal; seolah dia bisa melihat apa-apa saja dalam diri Raphael yang baginya dapat dijadikan bahan hiburan. Pikiranku berkabut.
“Raphael!” teriakku.
Ia memutar tubuhnya. “Oh. Okenwa. Apa kau boleh turun ke dapur?”
Ia berbicara seolah aku masih balita, seolah aku tidak pernah duduk di kamar tidurnya yang remang-remang.
“Aku lapar! Mana makananku?” Itu adalah hal pertama yang tercetus dari mulutku, tapi bukannya terkesan angkuh, suaraku justru nyaring seperti perempuan.
Wajah Josephine merengut, seolah dia hendak tertawa terbahak-bahak. Raphael mengucapkan sesuatu yang tak kudengar, namun kesan yang kudapat tak ubahnya sebuah pengkhianatan. Orangtuaku baru saja tiba, mobil mereka merapat; tiba-tiba Josephine dan Raphael bergerak cepat. Josephine buru-buru keluar dari pekarangan rumahku, dan Raphael segera menghampiriku. Kaus yang ia kenakan terlihat bernoda di bagian depan, warna nodanya sedikit oranye, seperti minyak kelapa sawit dari sup. Bila orangtuaku belum kembali, dia pasti tak bergerak dari tangki air tersebut; kehadiranku bahkan tak digubrisnya.
“Apa yang mau kau santap?” tanyanya.
“Kau tidak menjengukku.”
“Kau tahu Nyonya tak mengizinkanku berada di dekatmu.”
Mengapa dia menjawabnya dengan begitu mudah? Aku juga mendapat peringatan yang sama saat dia sakit; tapi aku tetap menjenguknya dan merawatnya.
“Lagipula, kau yang menularkan Apollo padaku,” cetusku.
“Maaf.” Ucapannya terdengar berat dan tak serius.
Aku bisa mendegar suara ibuku. Aku kesal mereka sudah kembali begitu cepat. Waktuku dengan Raphael jadi terpotong singkat, dan aku merasakan ada keretakan besar dalam persahabatan kami.
“Kau mau menyantap pisang atau ubi?” tanya Raphael dengan nada datar, sama sekali tidak berusaha untuk menenangkanku. Mataku terasa panas lagi. Ia menaiki anak tangga. Aku bergerak menjauh darinya, terlalu cepat, ke tepi beranda, hingga sendal jepit yang kukenakan bergeser di bawah kakiku. Kehilangan keseimbangan, aku terjatuh. Aku mendarat dengan kedua tangan dan lutut menahan tubuhku. Berat tubuhku sendiri mengejutkanku, dan aku merasakan airmata itu turun deras di wajahku sebelum aku sempat menghentikannya. Malu, aku tak bergerak.
Orangtuaku segera menghampiriku.
“Okenwa!” teriak ayahku.
Aku tetap berbaring di lantai, sebentuk kerikil menusuk lututku. “Raphael mendorongku sampai jatuh.”
“Apa?” Kata orangtuaku di saat bersamaan, dalam bahasa Inggris. “Apa?”
Masih ada waktu sebenarnya. Sebelum ayahku memutar tubuhnya ke arah Raphael, dan sebelum ibuku mengangkat tangan seolah hendak menamparnya, dan sebelum ibuku akhirnya memerintahnya untuk segera membereskan barang-barangnya dan angkat kaki dari rumah kami — masih ada sedikit waktu. Aku masih bisa menjelaskan. Aku masih bisa mengisi kekosongan itu. Aku masih bisa meralat ucapanku dan mengatakan bahwa itu hanya kecelakaan. Aku masih bisa menarik kebohonganku dan membiarkan orangtuaku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. FL
2016 © Hak cipta Fiksi Lotus dan Chimamanda Ngozi Adichie. Tidak untuk dijual, ditukar ataupun digandakan.
#CATATAN:
> Kisah ini berjudul Apollo karya CHIMAMANDA NGOZI ADICHIE dan pertama kali diterbitkan pada tahun 2015 di The New Yorker.
>> CHIMAMANDA NGOZI ADICHIE adalah penulis asal Nigeria yang telah memenangkan sejumlah penghargaan. Di antara karya-karyanya: Half a Yellow Sun, Americanah dan The Thing Around Your Neck.
#POIN DISKUSI:
Mba, buku fiksi lotus vol.1 itu terbitan gramedia thn brpa mba? Kmarin cari-cari ngga ketemu. 😭
SukaSuka
Hai Nur. Tahun 2012 — sudah lama sekali rasanya. Mungkin bisa ditemukan di gramedia.com. Semoga menemukan ya. Terima kasih sudah main kemari 🙂
SukaSuka
Iyaa mba.. 😞
Saya baru suka bngt fiksi lotus akhir2 ini.
Semoga nnti pas hunting, dapat buku itu ya.
Mba, ada rencana menerbitkan FL vol.2 ?
SukaSuka
Yang paling mengena buat saya dari cerpen ini yaitu kesenjangan antara kedua orang tua si narator dan Raphael, betapa mereka yang intelektual (profesor) memandang rendah pada profesi seperti kacung. Bisa dimaklumi ketika orang-orang yang merasa sebagai “rakyat kecil”, “kuli”, dan semacamnya membenarkan apa pun perbuatan mereka hanya karena posisi mereka itu, selalu merasa sebagai yang dirugikan oleh kaum “berpunya”.
SukaDisukai oleh 2 orang
Perkenankan saya ikut berkomentar.
Sesungguhnya saya kesulitan mengingat pertanyaan diskusi di atas, Mbak. Hanya saja, saya jadi “terpanggil” memberikan komentar soal cerpen bagus ini. Dari keterangannya, wajar rasanya saya bilang bagus. Sudut pandang awam. Tahunya cuma bagus. Saya suka narasinya dan benci naratornya. Saya rasa itu menjawab poin kesan. Awal ketidaksukaan saya itu pada pertanyaan tokoh soal apa susahnya memasak telur. Dari sana berkembang dan sampai ending, saya makin yakin. Omong-omong soal ending cerpen, saya cuma bisa bilang itu tipikal. Namun, saya mengamini bahwa semua ending bakal berkesan tipikal karena tak ada lagi isu kebaruan soal itu. Itu ending untuk mengajak pembaca merenung tentang dampak psikologis dari pengaruh perilaku orang tua pada orang lain terhadap anaknya. Dengan kata lain, saya berpendapat bahwa penulis sedang menyoroti kaum intelektual pada masyarakat, yang sebelumnya, dengan cara kilas balik di awal cerpen, pada akhirnya mereka seperti anak-anak, yang tersaji secara menawan. Cerpen ini mampu merangsang otak untuk mempertimbangkan menilai karakternya, dan itu memuaskan menurut saya. Akhir kata, terima kasih karena sudi mengupayakan cerpen ini terbit di Fiksi Lotus, Mbak.
Salam damai 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Yeay ada postingan juga setelah sekian lama 😊
Mengomentari cerita Apollo entah kenapa kesan saya malah begini ‘orang tua Okenwa sudah berubah lebih sabar (asumsikan saja sikapnya lebih baik dibanding dulu), namun meski begitu Okenwa tidak dapat begitu saja melupakan kenangan masa kecilnya tentang sikap buruk orangtuanya’
Itu poin pertama, selanjutnya ‘seperti apa pun sikap orang tua dia tetap menyayangi anaknya, buktinya ketika Okenwa sakit dia mendapat perhatian penuh meski hal itu tidak menyenangkan baginya. Begitu pun sebaliknya, seorang anak tetap menyayangi orang tuanya bagaimana pun sikap mereka, buktinya Okenwa rajin mengunjungi orang tuanya dan dengan perhatian mendengarkan cerita2 mereka yang mulai ngawur’
Poin ketiga tentang hubungan Okenwa dan Raphael. Em… apa Okenwa menyukai sesama jenis dan itu alasan kenapa dia belum menikah? (Jujur awalnya saya mengira narator itu cewe)
Terakhir, ending cerita Okenwa terlihat cemburu yang berujung pada pemecatan Raphael karena kebohongan Okenwa. Penulis seakan berbicara bahwa kadang saat kita menyukai seseorang dan mereka mengabaikan kita, justru hal2 menyakitkan yang kita lontarkan pada mereka agar kita mendapat perhatiannya.
Wkwk saya berkhayal terlalu tinggi, sekian komentar dari saya mohon petunjukknya Mba Maggie 😀
SukaSuka
Saya setuju soal yang ‘suka sesama jenis’ btw
SukaSuka
Setuju banget sama yang penyuka sesama jenis
SukaSuka
Iya sih, okenwa suka sama Raphael.
SukaSuka
ada cerita yang bari mbak atau mas
SukaSuka
Cerita yang bagus, Narasinya bagus. Endingnya bagus. Lepas dari perbuatan Okenwa benar atau salah.
Saat itu Okenwa hanya anak kecil. Dia mengagumi dan memuja Raphael, lebih dari apa yang diakuinya.
Okenwa merasa bangga bisa berbuat sesuatu untuk orang yang dikagumi: diam2 menjenguk walau sudah dilarang, meneteskan obat mata.
Tetapi Raphael kemudian beranjak dewasa dan mulai jatuh cinta, tidak tertarik lagi bermain dengan anak kecil.
Kejadian yang biasa saja. Tapi Okenwa sakit hati dan kemudian membalas dengan menfitnah Raphael mendorongnya.
Kelihatannya juga hanya perbuatan spontan anak-anak. Tetapi kemudian dia sadar akibatnya : Ibunya ngamuk dan mengusir Raphael. Saat itu Okenwa malu untuk mengakuinya. Tetapi setelah bertahun2 Okenwa tetap tidak lupa dengan perbuatan nya. Dia ingat Raphael. Dia ingat dosa masa kecilnya.
Bisa jadi Okenwa diakhir kenangannya tentang Rapahel berpikir : Apakah dia yang menyebabkan Raphael menjadi penjahat?
Membaca kisah ini saya ingat Novel Kite Runner, Khaled Hosseini. Tokoh Amir menaruh uang dibalik tikar tokoh Hasan, kacung dirumahnya dan kemudian menfitnah Hasan mencurinya. Berpuluh tahun kemudian Amir tetap tidak melupakan perbuatannya itu, dan mencari keluarga Hasan.
Komentar lain 🙂
Ada yang menarik saya : Vicks, Panadol, Milo dan Lucozade.
Apa itu ada di cerita asli nya?
atau Bu Maggie hanya mencoba mengadaptasi dengan sesuatu yang familiar di Indonesia?
Kemudian, Di catatan bawah tertulis :
pertama kali diterbitkan pada tahun 2015 di The New Yorker.
tetapi ada di Fiksi Lotus 2012 terbitan gramedia.
sepertinya ada yang salah. 🙂
Dan, pada paragraph 21 :
“Aku juga tidak terlalu senang pergi ke klub sosial: buatku, bulutangkis itu membosankan,”
sepertinya kalimat ini agak akward. Ada bagian yang hilang? atau cuma salah editing?
Salam sukses untuk Maggie.
Thx
SukaSuka
keren banget
SukaSuka
Saya sudah membaca cerpen ini 3x.
Saya pikir Appolo itu pesawat luar angkasa, ternyata sebuah nama penyakit. Cara berceritanya yg menggunakan alur kilas balik cukup bagus dan endingnya menyisakan pertanyaan, apakah perbuatan spontan itu punya potensi mengubah hidup seseorang? Karena tak bisa mengendalikan emosi dan rasa cemburu seringkali justru m3mbuat orang yg dicintai terluka.
Sayangnyabi5u kisah cinta yg abnormal sptnya.
SukaSuka
Cerita lumayan bagus saya terkesan dari persahabatan mereka tapi kesal juga karena okenwa berbohong kepada kedua orang tuanya padahal Raphael baik kepadanya dan disitu posisi orang tuanya selalu merendahkan kacung dan menurut saya kita jangan sesekali merendahkan orang lain walau pun mereka orang yang tidak ada
SukaSuka
Okenwa punya innerchild yg belum terselesaikan. Kecewa dg orgtuanya, perasaan sbg outsider dlm keluarganya, perasaan dikhianati sekaligus rasa bersalah kpd Raphael. Dia tumbuh menjadi seorang dewasa yang gamang.
Hubungan Okenwa dg Raphael kalau menurut saya, belum bisa disimpulkan sbg hubungan cinta sesama jenis. Memang ada potensi ke arah sana, tapi sampai akhir cerpen, menurut saya hal ini tdk terjadi. Itu adalah rasa seorang anak yang selama ini haus kehangatan dari orang tuanya, dan dia merasa mendapatkannya dari Raphael.
Pesan moral: sikap kita, sesepele apapun bisa berdampak terhadap masa depan orang lain. Ini tertuju untuk seluruh tokoh, kedua orang tua, Okenwa, dan Raphael. Mereka saling mempengaruhi.
Ending cerpennya enak. Bikin perasaan dan pikiran mengambang, lalu jatuh perlahan 😀
Thanks ya..
saya follow blognya 🙂
SukaSuka