Jhumpa Lahiri

Di musim gugur tahun 1971 seorang pria rutin bertandang ke rumah kami, membawa segenggam manisan di saku seraya berharap bisa mendapat kabar kepastian tentang keselamatan keluarganya. Namanya Mr. Pirzada, berasal dari Daka, yang saat ini dikenal sebagai ibukota Bangladesh, namun dulu merupakan bagian dari Pakistan.

Di tahun yang sama, Pakistan tengah dilanda perang saudara. Di ujung medan perang timur, di mana Daka berada, terjadi pertempuran yang memperjuangkan hak-hak otonomi daerah terhadap rezim penguasa di bagian barat. Di bulan Maret, Daka dipaksa tunduk lewat penjajahan, pembakaran dan pengeboman oleh pihak tentara Pakistan. Para guru diseret ke tengah jalan dan ditembak mati; para wanita diseret ke barak-barak tentara dan diperkosa. Di akhir musim panas tahun itu, sebanyak tiga ratus ribu orang dinyatakan mati karena perang tersebut. Di Daka, Mr. Pirzada memiliki rumah berlantai tiga, pekerjaan sebagai dosen tanaman di sebuah universitas, seorang istri yang sudah dinikahinya selama dua puluh tahun, dan tujuh orang anak perempuan dengan usia beragam, dari enam sampai enam belas tahun — dan semuanya memiliki nama dengan huruf awalan A.

“Itu ide ibu mereka,” jelas Mr. Pirzada suatu hari, seraya mengeluarkan selembar foto hitam-putih dari dalam dompetnya, foto tujuh anak gadis yang tengah berpiknik, rambut mereka terkepang rapi dan diikat oleh pita, duduk manis berjajar dengan kaki tersilang, sambil mengudap sayur ayam kari yang tersaji di atas daun pisang. “Bagaimana saya bisa membedakan mereka? Ayesha, Amira, Amina, Aziza, kalian lihat sendiri betapa sulitnya.”

Setiap minggu Mr. Pirzada menulis sepucuk surat untuk istrinya, dan mengirimkan buku komik bagi tiap orang putrinya, namun sistem pengiriman dan penerimaan surat dan paket tak lagi berfungsi sebagai mana mestinya, sama seperti segala hal lain di Daka, dan selama enam bulan terakhir ia tak mendengar kabar apapun dari keluarganya. Sementara itu, Mr. Pirzada tengah melakukan penelitian selama setahun penuh di Amerika. Ia harus mempelajari pola daun-daun musim gugur yang bertebaran di daerah bagian New England, suatu proyek beasiswa yang ia dapatkan dari pemerintah Pakistan. Di musim semi dan musim panas ia telah mengumpulkan data yang ia butuhkan di Vermont dan Maine, dan di musim gugur ia pindah ke sebuah universitas di belah utara Boston, di mana kami tinggal, untuk menulis buku mengenai temuan-temuannya. Beasiswa itu merupakan suatu kehormatan besar bagi warga Pakistan, tapi bila jumlahnya dikonversikan ke mata uang dolar Amerika, sesungguhnya tidak seberapa. Itu sebabnya Mr. Pirzada memilih tinggal di kamar asrama gedung kampus, dan sama sekali tidak memiliki kompor ataupun perangkat televisi yang memadai. Maka ia sering bertandang ke rumah kami untuk makan malam dan menyaksikan berita malam.

Pada awalnya, aku tidak tahu sama sekali kenapa Mr. Pirzada rutin berkunjung ke rumah kami. Usiaku baru sepuluh tahun, dan tidak merasa heran bila orangtuaku, yang berasal dari India, dan memiliki sejumlah kenalan yang juga berasal dari India, mengundang Mr. Pirzada untuk makan bersama. Kampus tempat kami tinggal relatif kecil, dengan gang-gang sempit yang dikapit oleh tembok bata dan gedung-gedung berpilar putih, dan terletak di pinggiran sebuah kota yang nampaknya lebih kecil lagi. Supermarket terdekat juga tidak menjual mustard oil, para dokter tidak terbiasa merespons panggilan rumah, para tentangga tak pernah mampir tanpa menjadwalkan kedatangan mereka, dan semua ini adalah hal-hal yang biasa dikeluhkan orangtuaku.

Oleh sebab itu, demi semangat kebersamaan, orangtuaku terbiasa mengamati daftar kunjungan resmi para peneliti dan profesor dari luar negeri yang diterbitkan oleh universitas tempat mereka bekerja tiap semester. Dengan ujung jari, mereka merunuti nama-nama yang tercantum di sana satu demi satu, kemudian melingkari sejumlah nama belakang yang mereka anggap cukup familiar, atau setidaknya berasal dari belahan dunia yang sama dengan mereka. Dengan cara inilah orangtuaku menemukan Mr. Pirzada, disusul dengan pembicaraan lewat telepon, lalu dengan undangan untuk main ke rumah tinggal kami.

Aku tidak ingat seperti apa kunjungan pertama Mr. Pirzada ke rumah kami, ataupun kunjungan ke dua dan ke tiga; tapi di akhir bulan September tahun itu, aku sudah terbiasa dengan keberadaan Mr. Pirzada di ruang tamu tempat tinggal kami hingga suatu malam, sambil menjatuhkan bongkahan es batu ke dalam buyung air, aku minta kepada ibuku agar mengambilkan gelas minum ke-empat dari dalam lemari dapur yang terlalu tinggi untuk kugapai. Ibuku tengah sibuk memasak, posisinya tepat di hadapan kompor, mengawasi kuali penggorengan berisi bayam dan lobak, dan ia kesulitan mendengar suaraku di tengah dengung kipas angin penyedot asap serta suara kikisan yang dibuat oleh ujung sudip setiap kali ia mengaduk racikan bayam dan lobak di dalam kuali. Aku berbalik menghadap ayahku, yang tengah bersandar di samping kulkas sambil mengudap segenggam kacang mede pedas.

“Ada apa, Lilia?”

“Aku ingin mengambil gelas untuk orang India yang biasa datang.”

“Mr. Pirzada takkan mampir malam ini. Lebih penting dari itu, Mr. Pirzada bukan warga India,” ujar ayahku seraya menepis serpihan garam yang berjatuhan dari kudapannya dan menempel di janggutnya yang terpangkas rapi dan berwarna hitam pekat. “Statusnya sebagai warga India sudah dicabut sejak Pemisahan*. Negara kita dipecah-belah. 1947.”

Ketika aku berdalih bahwa tahun itu adalah tahun kemerdekaan India dari pihak Inggris, ayahku berkata, “Iya, itu juga. Pertamanya, kita merdeka lalu kita dipecah-belah,” ujarnya, sambil menggambar huruf X besar di atas konter dapur dengan ujung jari, “seperti kue pie. Kelompok beragama Hindu di sini, kelompok beragama Islam di sini. Daka tidak lagi jadi bagian India.” Ayah melanjutkan bahwa selama masa Pemisahan, masyarakat beragama Hindu dan Islam saling menembaki rumah satu sama lain. Dan bagi sebagian besar masyarakat di sana, konsep bersantap bersama antara kaum Hindu dan Muslim masih sulit dicerna.

Sungguh tak masuk akal buatku. Mr. Pirzada dan kedua orangtuaku berbicara dalam bahasa yang sama, menertawai lelucon yang sama, dan memiliki ciri penampilan yang kurang-lebih sama juga. Mereka selalu senang bersantap ditemani asinan mangga, dan setiap malam mereka terbiasa makan dengan tangan, bukan sendok atau garpu. Selain itu, sama seperti kedua orangtuaku, Mr. Pirzada juga terbiasa membuka sepatu sebelum memasuki ruangan, mengunyah biji adas selepas makan malam guna membantu proses pencernaan, tidak minum alkohol, dan sebagai menu makan penutup mencelupkan biskuit keras ke dalam bercangkir-cangkir teh hangat. Meski begitu, Ayah tetap memaksa agar aku mengerti perbedaan antara mereka dan Mr. Pirzada — seraya membimbingku ke arah selembar peta yang terentang di atas sebidang dinding di dekat meja kerjanya.

Nampaknya Ayah sedikit khawatir aku akan menyinggung perasaan Mr. Pirzada bila suatu saat tak sengaja menyebutnya sebagai warga India, walau menurutku sulit sekali membayangkan Mr. Pirzada sebagai orang yang mudah tersinggung. “Mr. Pirzada memang berasal dari Bengal, tapi dia beragama Islam,” ujar Ayah. “Karena itu dia tinggal di Pakistan Timur, bukan India.” Dengan satu jari, Ayah menelusuri perairan Laut Atlantik, melewati benua Eropa, lalu Laut Mediterania, Timur Tengah, dan akhirnya sampai ke sebuah daratan berbentuk serupa batu berlian berwarna oranye yang pernah dibilang Ibu sangat mirip dengan wujud seorang wanita berbalut kain sari dengan lengan kiri terentang lebar. Sejumlah kota dilingkari di atas lembaran peta, dengan garis-garis penghubung yang menandai perjalanan kedua orangtuaku. Tempat kelahiran mereka, Kolkata, ditandai dengan goresan bintang berwarna perak. Aku baru sekali berkunjung ke sana, dan itu pun aku tidak ingat seperti apa perjalanannya.

“Nah, sekarang kau bisa lihat, Lilia, keduanya adalah negara yang berbeda, bahkan warnanya saja tidak sama,” kata Ayah. Pakistan berwarna kuning, bukan oranye. Aku juga mendapati bahwa Pakistan terdiri dari dua bagian yang berbeda, yang satu lebih besar dari yang lain, dan terpisahkan oleh wilayah kekuasaan India yang cukup luas. Kalau mau dibayangkan, situasinya seperti misalnya negara bagian California dan Connecticut merupakan dua negara yang terpisah dari Amerika Serikat.

Ayah mengetukkan buku-buku jarinya di atas kepalaku. “Tentunya kau sadar tentang kondisi politik saat ini? Sadar bahwa Pakistan Timur tengah memperjuangkan kemerdekaan mereka?”

Aku mengangguk, meski aku tak tahu apa-apa tentang hal itu.

Kami beranjak kembali ke dapur, di mana Ibu tengah menuang sepanci beras yang telah tanak ke dalam bakul nasi. Ayah membuka kaleng berisi kacang mede yang terduduk di atas konter dapur dan melepar tatapan tajam ke arahku dari balik kacamatanya. Mulutnya mulai mengunyah kepingan kacang mede. “Apa sih sebenarnya yang diajar guru-gurumu di sekolah? Apa kau belajar tentang sejarah? Geografi?”

“Lilia belajar banyak hal di sekolah,” ujar Ibu. “Sekarang kita tinggal di Amerika, dia kan juga lahir di sini.” Beda dengan Ayah, Ibu terkesan cukup bangga dengan fakta yang baru saja disebutnya, seolah terlahir di Amerika adalah sebuah pencapaian tersendiri. Di dalam pikirannya, aku sadar, Ibu mengutamakan kehidupan yang aman untukku, kehidupan yang mudah, pendidikan yang baik, segala macam kesempatan. Aku tak perlu mengirit makanan, atau mematuhi jam malam, atau menyaksikan pecahnya kerusuhan dari atas genteng rumahku, atau menyembunyikan tetanggaku di dalam tangki air agar mereka tidak ditembak mati, seperti yang dialami kedua orangtuaku. “Bayangkan apa jadinya kalau kita harus mencari sekolah yang bagus untuknya. Bayangkan apa jadinya bila dia harus membaca buku saat mati lampu, menggunakan cahaya dari lampu petromaks. Bayangkan tekanan yang harus dia rasakan, para guru les yang harus kita sewa, dan sederetan ujian yang harus dia ikuti.” Ibu menyisir rambut pendeknya dengan jemari tangan. Rambutnya sengaja dipotong pendek karena sehari-harinya ia bekerja paruh waktu sebagai pegawai bank. “Bagaimana mungkin kau mengharapkan dia untuk tahu tentang masa Pemisahan? Sana, singkirkan kacang itu.”

“Lantas apa yang dia pelajari tentang dunia?” Ayah menggoyang kaleng kacang di tangannya. “Apa saja yang dia pelajari?”

Kami belajar tentang sejarah Amerika, tentunya, dan tentang geografi benua Amerika. Tahun itu, dan nampaknya tiap tahun setelah itu, kami mulai mempelajari Perang Revolusi**. Kami diantar dengan bus sekolah dalam perjalanan karyawisata mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Plymouth Rock, juga menelusuri Freedom Trail, dan naik sampai ke puncak Monumen Bunker Hill. Kami membangun diorama menggunakan kertas konstruksi yang warna-warni, mengilustrasikan perjalanan George Washington ketika beliau melintasi riak air Sungai Delaware, dan kami membuat sejumlah boneka yang menyerupai Raja George, lengkap dengan celana ketat berwarna putih dan pita hitam di rambut. Saat ujian, kami diberikan peta buta ketiga belas daerah koloni di Amerika Utara dan diminta untuk menamainya satu per satu, beserta tanggal dan ibukota. Aku bisa melakukan semua ini dengan mata tertutup.

* * *

Hari berikutnya, Mr. Pirzada tiba, seperti biasa, pukul enam sore. Walau mereka sudah saling mengenal, namun dia dan Ayah tetap berjabat tangan setiap bertemu layaknya orang asing.

“Silakan masuk. Lilia, tolong simpan mantel Mr. Pirzada.”

Pria itu masuk ke dalam serambi rumah. Penampilan Mr. Pirzada sangat rapi, lengkap dengan jas dan syal, serta dasi yang terbuat dari kain sutra dan tersangkut di kerah kemeja. Setiap malam, ia datang mengenakan setelan pakaian dengan nuansa yang sama: ungu prem, hijau zaitun, dan coklat. Porsi tubuhnya cukup kecil, meski kakinya sedikit teregang, dan perutnya sedikit lebar — namun posturnya selalu terlihat efisien, seolah ia sedang menyeimbangkan beban dua buah tas koper berbobot sama di kedua tangan.

Kedua telinga Mr. Pirzada agak tertutup sejumput rambut yang telah beruban, seolah sengaja agar ia tak ternganggu oleh dengung kehidupan. Bulu matanya lebat dan sedikit memutih, kumisnya juga tebal dan sedikit menukik di ujung, dan di bagian tengah pipi kirinya ada sebentuk tahi lalat pipih yang terlihat seperti kismis gepeng. Di atas kepalanya, Mr. Pirzada selalu mengenakan topi songkok berwarna hitam yang terbuat dari kulit domba Persia. Topi itu disematkan ke rambutnya menggunakan peniti. Sebenarnya Ayah selalu menawarkan untuk menjemput Mr. Pirzada setiap malam dari gedung asrama tempat ia tinggal dengan menggunakan mobil keluarga. Tapi Mr. Pirzada selalu menolak dan memilih untuk jalan kaki ke rumah kami, perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh menit, seraya mengamati pepohonan dan semak-semak yang ia temui sepanjang jalan. Ketika memasuki rumah kami, buku-buku jari Mr. Pirzada terlihat pucat dan berwarna merah muda karena kedinginan diterpa udara musim gugur.

“Pengungsi lain, nampaknya, di kawasan India.”

“Terakhir aku dengar jumlahnya melonjak jadi sembilan juta orang,” kata Ayah.

Mr. Pirzada menyerahkan mantelnya kepadaku, karena sudah jadi tugasku untuk menggantungnya di rak jaket di bawah tangga. Mantel itu terbuat dari bahan wol dengan pola kotak-kotak berwarna biru-dan-abu-abu, serta garis-garis panjang dan kancing panjang serupa tanduk. Serat-serat benang mantel tersebut juga samar-samar menguarkan harum jeruk nipis. Mantel itu tidak dilengkapi dengan label merk tertentu, hanya ada label yang dijahit tangan dan bertuliskan “Z. Sayeed, Suitors”. Tulisan itu dibordir rapi dengan huruf kursif menggunakan benang hitam.

Sesekali, aku menemukan selembar daun maple atau birch di dalam salah satu saku mantel. Mr. Pirzada mengendurkan tali sepatunya dan menjajarkan kedua sepatunya di samping dinding bagian bawah; kedua ujung sepatu tampak kemuning gara-gara reruntuhan daun musim gugur yang menumpuk dan basah di halaman rumah kami. Kami belum sempat mengeruk daun-daun itu. Setelah ia melepas sepasang sepatunya, Mr. Pirzada menyentuh tenggorokanku dengan ujung jemarinya yang pendek, layaknya seseorang yang tengah meraba dinding sebelum mulai memaku. Lantas ia mengikuti langkah Ayah ke ruang tamu, di mana perangkat televisi tengah menyala dan menyiarkan berita lokal. Begitu mereka duduk di ruang tamu, Ibu melenggang keluar dari dapur membawa sepiring kebab berisi daging cincang yang dicampur dengan sambal ketumbar.

Mr. Pirzada tak buang waktu dan segera mengambil sepotong kebab dari atas piring dan melahapnya.

“Kita cuma bisa berharap,” kata Mr. Pirzada seraya mengambil sepotong kebab lagi dari atas piring saji. “Bahwa para pengungsi dari Daka juga mendapat jatah makan yang tak kalah nikmat. Oh, aku hampir lupa.”

Pria itu merogoh ke dalam saku jas yang ia kenakan dan menyerahkan sebuah telur plastik berisi potongan permen kayu manis berbentuk hati. “Untuk Nyonya Rumah,” ujar Mr. Pirzada diiringi dengan gestur membungkuk penuh hormat, meski kedua kakinya teregang.

“Aduh, Mr. Pirzada,” protes Ibu. “Setiap malam, kau selalu memanjakannya.”

“Aku hanya memanjakan anak-anak yang tidak manja.”

Momen itu selalu membuatku canggung, memecah konsentrasiku antara senang dan gelisah. Aku terkesima oleh keberadaan Mr. Pirzada dan keanggunan penampilannya, dan juga tersanjung oleh perhatiannya yang selalu dibumbui drama; namun aku juga tidak nyaman dengan gesturnya yang terkadang membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Hal itu jadi ritual kami, dan selama beberapa minggu, sebelum kami merasa nyaman terhadap satu sama lain, hanya sebatas itu interaksiku dengan Mr. Pirzada.

Aku sendiri tak pernah menanggapi komentarnya, meski terlihat dari ekspresiku betapa senangnya aku menerima hadiah rutin berupa permen lozenges berisi tetesan madu, truffle berperisa buah frambos, juga gulungan tipis permen pastilles yang asam. Aku bahkan tidak bisa berterima kasih pada Mr. Pirzada.

Pernah, sekali, aku berterima kasih karena telah dibawakan permen lolipop berperisa peppermint yang dibungkus oleh agar-agar berwarna ungu, dia malah membalas, “Kenapa harus berterima kasih segala? Pegawai perempuan di bank selalu berterima kasih padaku, begitu juga dengan kasir di toko, lalu penjaga perpustakaan juga berterima kasih saat aku mengembalikan buku yang sudah lewat masa pinjam. Dan operator telepon internasional juga berterima kasih ketika sedang mencoba menyambungkan aku dengan nomor telepon di Daka, sebelum sambungan itu dinyatakan gagal. Jika aku nanti mati dan dikubur di negara ini, aku yakin aku juga akan menerima ucapan terima kasih di pemakamanku sendiri.”

Menurutku, sungguh menyalahi aturan bila aku menikmati permen pemberian Mr. Pirzada dengan biasa saja. Setiap malam, aku menerima pemberian Mr. Pirzada dan memperlakukannya seperti perhiasan, atau koin emas peninggalan kerajaan kuno yang sudah terkubur, dan aku simpan harta karun itu di dalam kotak rahasia yang terbuat dari kayu cendana. Kotak itu aku letakkan di samping ranjang tidurku, dan di dalam kotak yang sama juga dulu, di India, nenekku pernah menyimpan serbuk kacang pinang yang ia kudap setelah mandi pagi. Kotak itu satu-satunya kenangan dari nenekku yang tak pernah kukenal, dan sebelum Mr. Pirzada masuk ke dalam kehidupan keluargaku, kotak itu selalu kosong. Tak terpikir mau diisi apa. Sesekali, di malam hari, sebelum gosok gigi dan meletakkan pakaian yang akan esok harinya ke sekolah, aku membuka tutup kotak tersebut dan melahap salah satu hadiah dari Mr. Pirzada.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, kami tidak makan di ruang makan, karena sulit menonton televisi dari ruang makan. Maka kami duduk mengelilingi meja ruang tamu, tanpa berbicara, sementara piring makan kami bertengger di tepi lutut. Dari dapur, Ibu membawa beragam sajian: lentil dengan bawang goreng, kacang panjang dengan serpihan kelapa, ikan dimasak dengan kismis dan dibalur oleh saus yogurt. Aku ikut menyajikan beberapa gelas air putih, dan sepiring potongan jeruk limun, serta cabai yang selalu distok ulang oleh kedua orangtuaku setiap bulannya dengan mengunjungi sebuah toko di Chinatown. Setengah kilo cabai selalu tersedia di lemari pendingin kami, dan kedua orangtuaku rajin sekali mencabut batangnya dan mencincangnya sebelum mencampurnya ke dalam makanan mereka.

Sebelum makan, Mr. Pirzada selalu melakukan ritual unik. Ia mengeluarkan sebentuk jam perak tak berantai yang disimpannya di dalam saku jas, mendekatkannya ke telinga yang ditumbuhi rambut putih, memutarnya dengan tiga jentikan halus menggunakan jempol dan jari telunjuknya. Berbeda dengan jam yang tersangkut di pergelangan tangannya, Mr. Pirzada berusaha menjelaskan padaku, jam sakunya diseusaikan dengan waktu lokal di Daka, atau tepatnya sebelas jam lebih cepat dari kami. Selama proses makan malam, jam saku tersebut diletakkan di atas serbet yang dilipat rapi di atas meja ruang tamu. Meski begitu, jarang sekali ia melirik jam tersebut.

Karena sekarang aku sadar bahwa Mr. Pirzada bukan warga India, aku jadi semakin rajin mengamatinya, mencari perbedaan antara dia dan keluargaku. Aku memutuskan bahwa kebiasaannya membawa jam saku adalah bentuk salah satu perbedaan tersebut. Ketika aku menyaksikan cara Mr. Pirzada memutar jam saku itu di malam yang sama, lalu bagaimana dia meletakkannya di atas serbet yang terlipat rapi, aku merasakan kegelisahan hebat; orang-orang di Daka hidup di “masa depan”, lebih dulu dariku. Saat kami masih menikmati makan malam, aku membayangkan putri-putri Mr. Pirzada terbangun dari tidur mereka, mengikat rambut dengan pita, menunggu hidangan sarapan, dan bersiap berangkat ke sekolah. Sementara santapan kami, tindakan kami, tak lebih dari sekadar bayang-bayang kegiatan yang sudah terjadi di sana, seperti hantu yang terlambat datang dan bergabung dengan “masa sekarang” di mana Mr. Pirzada seharusnya berada.

Pada pukul setengah tujuh malam, yaitu waktu di mana berita nasional selalu ditayangkan, Ayah biasa meningkatkan volume suara dan menyesuaikan antena televisi untuk mendapatkan gambar terbaik. Biasanya aku menyibukkan diri dengan membaca buku, namun malam itu Ayah minta aku memperhatikan berita. Di layar televisi, aku lihat sejumlah kendaraan tank melintasi jalanan berdebu, dikelilingi oleh bangkai-bangkai gedung, dan area perhutanan tempat para warga Pakistan Timur melarikan diri, mencari perlindungan di perbatasan India. Aku lihat sejumlah perahu dengan layar berbentuk kipas mengapung di atas perairan sungai yang berwarna kecoklatan, gedung-gedung universitas yang dikelilingi tembok barikade, serta kantor-kantor berita yang dihanguskan.

Aku menoleh ke arah Mr. Pirzada; adegan-adegan yang sama melintasi matanya dalam bentuk miniatur. Dengan mata terpaku ke televisi, ekspresi Mr. Pirzada mengeras bagai batu, tenang namun awas, seolah ada orang yang tengah memberikannya arahan untuk pergi ke tempat tak dikenal.

Selama pariwara berlangsung, Ibu beranjak ke dapur untuk menambah sajian nasi putih, sementara Ayah dan Mr. Pirzada sibuk menghujat kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh seorang jendral bernama Yahya Khan. Mereka membahas intrik-intrik politik yang tak kuketahui, suatu bencana yang sulit kumengerti. “Lihat, anak-anak seusiamu, apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan,” kata Ayah sembari meletakkan sepotong ikan di atas piring makanku. Namun aku tak ingin makan. Aku hanya bisa mencuri-curi pandang ke arah Mr. Pirzada yang duduk di sampingku, mengenakan jas berwarna hijau zaitun, dan dengan tenang membuat lubang di tengah tumpukkan nasinya, menyisakan tempat untuk sup lentil yang kental.

Bagiku, Mr. Pirzada tidak nampak seperti orang yang terbebani oleh masalah-masalah politik yang serius. Aku bertanya-tanya apakah mungkin alasan dia berpakaian rapi setiap saat adalah untuk mengantisipasi datangnya kabar yang tak diinginkan, agar ia bisa mempertahankan harga dirinya; atau mungkin ia melakukannya agar siap menghadiri pemakaman mendadak. Aku juga bertanya-tanya apa yang akan terjadi bila tiba-tiba ia melihat wajah ketujuh anak gadisnya di layar televisi, sambil tersenyum dan melambaikan tangan serta meniup kecupan sayang dari atas balkon rumah tinggal mereka. Aku membayangkan betapa Mr. Pirzada akan merasa lega meliaht hal tersebut. Sayangnya, hal itu tak pernah terjadi.

Malam itu, seraya meletakkan telur plastik berisi permen kayu manis berbentuk hati ke dalam kotak simpanan di samping ranjang tidurku, aku tidak merasakan kegembiraan seperti biasanya. Aku berusaha untuk tidak memikirkan Mr. Pirzada, dalam setelan mantel yang menguarkan harum jeruk nipis, serta keterkaitannya dengan dunia yang tanpa aturan, dunia yang panas, yang baru saja kami saksikan beberapa jam lalu di ruang tamu kami yang terang-benderang dengan lantai berlapis karpet. Namun untuk beberapa saat pikiranku selalu tertambat ke sana. Otot-otot perutku menegang saat mengkhawatirkan nasib istri dan anak-anak gadisnya, bertanya-tanya apakah mereka kini telah jadi bagian dari segerombolan manusia yang melintas di layar kaca dan berteriak menuntut keadilan.

Aku berusaha mengenyahkan bayangan itu dengan memperhatikan kamar tidurku sendiri, ke arah ranjang berwarna kuning yang dinaungi kanopi dan dikelilingi oleh tirai bernuansa senada, ke arah foto-foto kenaikan kelas yang dipajang di dinding berlapis kertas hias berwarna putih dan ungu muda, ke arah goresan pensil di samping pintu lemari pakaian di mana Ayah mencatat pertumbuhan tinggi badanku di setiap hari ulangtahunku. Tapi semakin keras aku berusaha menghalau pikiran burukku, semakin aku yakin bahwa besar kemungkinannya seluruh anggota keluarga Mr. Pirzada sudah meninggal.

Akhirnya, aku mengambil coklat putih berbentuk segi empat dari dalam kotak simpanan, kemudian membuka bungkusnya, dan setelah itu aku melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya: aku masukkan coklat tersebut ke dalam mulutku dan kubiarkan ia melembek di ujung lidahku, sebelum aku mulai mengunyahnya perlahan-lahan. Aku berdoa keluarga Mr. Pirzada baik-baik saja. Aku belum pernah berdoa sebelumnya, tidak pernah diajarkan bagaimana caranya berdoa, namun aku memutuskan, setidaknya melihat situasi dan kondisi saat ini, bahwa aku perlu melakukannya. Malam itu ketika aku beranjak ke kamar mandi, aku hanya berpura-pura menggosok gigi, karena aku takut doa-doa yang telah kupanjatkan akan tercuci bersih dari mulutku. Kubasahkan sikat gigiku dan mengubah letak tabung odol di wastafel agar orangtuaku tidak banyak tanya.

Lantas, aku tertidur dengan mulut penuh gula.

Di sekolah, tidak ada seorang pun yang membicarakan perihal perang seperti yang telah dibahas di ruang tamu keluargaku. Kami melanjutkan pelajaran kami tentang Perang Revolusi di Amerika Serikat, dan mencoba memahami soal ketidak-adilan sistem perpajakan yang tidak dibarengi oleh perwakilan, dan kami juga diminta menghafal beberapa bagian dari dokumen Deklarasi Kemerdekaan. Di waktu istirahat, para anak lelaki akan terbagi ke dalam dua kelompok, saling berkejaran mengitari ayunan dan permainan jungkat-jungkit, Prajurit Berseragam Merah melawan para penjajah. Di ruang kelas, guru kami, Mrs. Kenyon, sering menunjuk ke arah selembar peta yang muncul tiba-tiba layaknya layar tancap dari atas papan tulis, menelusuri rute perjalanan kapal Mayflower***, atau menunjukkan kepada kami lokasi tugu Liberty Bell. Setiap minggu, setiap kelas akan meminta dua siswa untuk membuat laporan tentang aspek khusus dari Perang Revolusi, maka suatu hari aku diminta untuk pergi ke perpusatakaan sekolah dengan temanku, Dora, untuk mempelajari soal proses kekalahan perang di Yorktown.

Mrs. Kenyon memberikan secarik kertas kepada kami yang berisi judul tiga buku yang bisa dicari di katalog perpustakaan. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menemukan buku-buku tersebut. Maka kami segera duduk di sebuah meja bundar yang agak rendah dan sibuk membaca dan mencatat. Namun, sulit sekali bagiku untuk berkonsentrasi.

Aku beranjak ke rak-rak buku berwarna cokelat terang dan menghampiri bagian khusus yang diberi label “Asia”. Aku melihat buku tentang Cina, India, Indonesia, Korea. Akhirnya aku menemukan sebentuk buku berjudul Pakistan: Negeri dan Manusianya. Aku duduk di kursi pendek dan mulai membuka buku tersebut. Lapisan plastik yang membungkus jaket buku bergemeritik dalam genggamanku. Aku membuka halaman-halaman di dalamnya yang sarat akan foto-foto sungai dan sawah dan para lelaki berseragam militer. Aku tiba di sebuah bab yang membahas soal Daka, dan mulai membaca informasi tentang curah hujan serta produksi goni di kota itu. Aku tengah mempelajari bagan populasinya ketika Dora muncul di lorong perpustakaan.

“Apa yang sedang kau lakukan di belakang sini? Mrs. Kenyon sedang ada di perpustakaan. Dia sengaja datang untuk mengawasi hasil kerja kita.”

Aku buru-buru menutup buku di tangan — agak sedikit terlalu keras, nampaknya. Mrs. Kenyon muncul, harum parfum yang ia kenakan mengisi ruang lorong yang sempit, dan dengan dua jari ia mengangkat buku yang sedang kubaca dari bagian tulangnya, seolah ia sedang mengangkat seutas rambut yang rontok ke atas sweater yang kukenakan. Ia menatap kaver buku, lalu menatapku.

“Apakah buku ini bagian dari laporan kerjamu, Lilia?”

“Tidak, Mrs. Kenyon.”

“Saya tidak lihat alasan kenapa kamu harus membacanya,” katanya, seraya mengembalikan buku tersebut ke atas rak, tepat di ruang kosong nan sempit yang terkapit buku-buku lain. “Ya kan?”

Seiring dengan berjalannya waktu, minggu demi minggu terus berlalu, dan berita tentang Daka pun semakin menyusut dari siaran berita. Tak jarang liputannya ditampilkan setelah pariwara pertama ditayangkan, atau sesekali setelah pariwara kedua. Pemberitaan media telah disensor, dipindahkan, dibatasi dan diubah salurannya. Beberapa kali, atau sering, hanya angka kematian saja yang diberitakan, diawali dengan pengantar umum tentang situasi yang tengah melanda Pakistan. Semakin banyak para penyair yang dieksekusi, dan lebih banyak desa-desa yang dibakar. Meski begitu, hampir setiap malam, orangtuaku menikmati perbincangan hangat bersama Mr. Pirzada seraya menyantap hidangan makan malam. Setelah perangkat televisi dimatikan, dan perkakas makan telah dicuci dan dikeringkan, mereka melanjutkan diskusi yang serius dengan candaan, lalu mereka akan mulai bertukar cerita sambil mencelupkan biscuit ke dalam cangkir the mereka.

Bilamana mereka lelah membahas isu-isu politik, mereka akan mulai membahas kemajuan Mr. Pirzada dalam menyusun karya tulisnya yang berkaitan dengan hasil penelitian terhadap daun-daun gugur di daerah negara bagian New England, serta pencalonan ayahku sebagai dosen tetap di universtas tempatnya bekerja, atau tentang kebiasaan bersantap yang aneh para kolega ibuku, yang kebetulan berkebangsaan Amerika.

Pada akhirnya, aku diminta naik ke kamar tidurku untuk menyelesaikan PR, walau dari kamarku aku masih bisa mendegar sisa-sisa kegiatan mereka di malam hari: minum lebih banyak teh, mendengarkan dendangan Kishore Kumar lewat kaset audio, serta bermain Scrabble di meja ruang tamu seraya tertawa dan berargumentasi sampai jauh malam tentang cara eja kata-kata dalam Bahasa Inggris. Betapa inginnya aku bergabung dengan mereka, dan lebih dari itu aku merasakan keinginan besar untuk menenangkan Mr. Pirzada. Tapi selain mengudap permen-permen pemberiannya demi keluarga yang dia tinggalkan, atau berdoa untuk mereka, aku tidak bisa apa-apa. Mereka biasa bermain Scrabble sampai berita malam disiarkan pukul sebelas, lalu di waktu tengah malam, Mr. Pirzada akan berjalan kembali ke gedung asrama tempat tinggalnya. Karena itu aku tak pernah berpamitan dengannya di malam hari, meski tiap malam sebelum tidur aku pasti mendengar diskusi dan canda-gurau mereka di ruang tamu, mengantisipasi lahirnya negara baru di sisi lain dunia.

* * *

Suatu hari di bulan Oktober Mr. Pirzada meluncurkan pertanyaan begitu tiba di rumah kami, “Sayuran apakah ini yang sering aku temui dipajang di pekarangan rumah orang? Bentuknya bulat besar dan berwarna oranye. Apa ini semacam labu?”

“Labu merah,” balas ibuku. “Lilia, nanti tolong ingatkan ibu untuk membeli satu buah labu merah di supermarket.”

“Lantas apa tujuannya? Apa kegunaannya?”

“Diukir jadi jack-o-lantern,” kataku dengan dahi berkerut, girang. “Seperti ini. Untuk menakut-nakuti orang.”

“Begitu ya,” ujar Mr. Pirzada, ikut-ikutan mengerutkan dahinya. “Sangat berguna.”

Keesokan harinya, Ibu membeli sebuah labu merah yang berbobot lima kilogram. Sunggu labu yang gemuk dan bulat. Ia meletakannya di atas meja makan. Sebelum makan malam, sementara Ayah dan Mr. Pirzada tengah menyaksikan siaran berita local, Ibu memintaku untuk mendekorasi labu tadi dengan spidol, namun aku memaksa ingin mengukirnya seperti labu-labu lain yang kutemui di pekarangan rumah-rumah tetangga.

“Ya, ayo kita ukir,” kata Mr. Pirzada, sambil beranjak bangkit dari atas sofa. “Kita berhenti nonton berita dulu malam ini.” Tanpa banyak tanya, ia pergi ke dapur rumah kami, membuka salah satu lacinya, dan kembali membawa sebentuk pisau panjang dengan tepi bergurat. He menatapku, seolah minta izin. “Boleh?”

Aku mengangguk. Untuk pertama kalinya kami semua berkumpul di meja makan keluarga: Ayah, Ibu, Mr. Pirzada dan aku. Sementara itu, perangkat televisi terus dinyalakan tanpa ada yang menonton. Kami justru sibuk menebar kertas koran di atas meja makan. Mr. Pirzada melepas jas yang ia kenakan dan menyangkutkannya di punggung kursi di belakangnya, kemudian ia melepas sepasang manset yang berbentuk opal, seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku lengan.

“Pertama-tama, kita harus menyayat bagian paling atas labu, seperti ini,” kataku memberikan instruksi, seraya melakukan demonstrasi ringan dengan ujung jari telunjukku.

Mr. Pirzada mempraktikkan sayatan pertama dan mulai menarik ujung pisaunya mengelilingi pucuk kepala labu. Begitu sayatannya telah membentuk lingkaran penuh, ia angkat lapisan yang terpotong dengan memegang batang buah labu, seperti topi. Lapisan itu terlepas begitu saja. Mr. Pirzada membungkukkan tubuhnya agar dapat menginspeksi isi labu dari dekat dan mencium harumnya. Ibu memberikan sebentuk sendok besi panjang untuk mengeluarkan isi labu dari cangkangnya hingga tiap serat dan biji tak lagi tersisa. Sementara itu, Ayah memisahkan biji labu dari gumpalan daging labu dan membiarkan mereka mengering dengan sendirinya di atas nampan berlapiskan kertas kue, agar nanti bisa kami panggang.

Aku menggambar dua segitiga di atas permukaan labu yang tak rata, sebagai mata jack-o-lantern, dan Mr. Pirzada menggoreskan ujung pisaunya dengan penuh kehati-hatian. Aku juga menggambar bentuk bulan sabit untuk mewakili alis mata di atas segitiga-segitiga tadi, dan satu lagi segitiga untuk bagian hidung. Sekarang tinggal bagian mulut saja yang tersisa, dan menggambar gigi bukanlah hal yang mudah. Aku jadi ragu.

“Tersenyum atau masam?” tanyaku.

“Kau yang pilih,” kata Mr. Pirzada.

Sebagai bentuk kompromi, aku menggambarkan ekspresi meringis yang diwakili dengan garis lurus, tidak bersabat, tapi juga tidak bermusuhan. Mr. Pirzada mulai menggores bagian mulut, tanpa sedikitpun merasa ragu atau terintimidasi, seolah ia sudah sering memahat jack-o-lantern dalam hidupnya. Dia nyaris selesai dengan ukirannya ketika berita nasional mulai disiarkan. Sang reporter menyebut nama Daka, dan kami semua diam-diam menoleh ke arah ruang tamu untuk mendengarkan dengan saksama: seorang petugas pemerintah India mengumumkan bahwa kecuali dunia internasional mengulurkan tangan mereka guna meringankan beban para pengungsi Pakistan Timur, maka India terpaksa berperang dengan Pakistan. Wajah reporter itu dibalut keringat yang menetes selagi berita disampaikan. Ia tidak mengenakan dasi ataupun jas, justru ia berpakaian seolah dia sendiri akan segera turun ke medan perang. Ia menutupi wajahnya yang kepanasan seraya meneriakkan sesuatu ke arah juru kamera. Pisau itu terlepas dari tangan Mr. Pirzada dan menggores pinggiran labu sebelum mendarat di dasar labu.

“Maaf.” Ia mengangkat tangan dan menyentuh salah satu sisi wajahnya sendiri, seakan ada yang menamparnya. “Saya — aduh, saya sungguh menyesal. Saya akan beli labu lain. Kita coba lagi.”

“Tidak perlu, tidak perlu,” kata Ayah seraya mengambil bilah pisau dari tangan Mr. Pirzada dan meratakan ukiran pada labu dengan beberapa kali sayat. Ayah juga membuang ukiran gigi pada labu yang telah kubuat sebelumnya; hingga akhirnya bentuk mulut yang terpahat pada labu tersebut tak lebih dari lubang besar seukuran jeruk lemon yang membuat jack-o-lantern kami terlihat seolah sedang terkejut. Wajah labu itu tak lagi garang, alis matanya sama sekali tak terkesan sengit — justru melayang-layang tanpa kejelasan dalam ekspresi terkejut yang abadi di atas tatapan kosong tanpa arti.

Dalam rangka perayaan Halloween, aku memutuskan untuk mengenakan kostum penyihir. Dora, teman sekaligus rekan trick-or-treat-ku malam itu, juga ikut-ikutan jadi penyihir. Kami menggunakan sarung bantal berwarna hitam (menggunakan zat pewarna pakaian) sebagai lapisan mantel; dan topi lancip dengan tepian yang terbuat dari karton. Wajah kami berwarna kehijauan berkat remah-remah eye shadow milik ibu Dora; dan ibuku menyediakan dua karung goni bekas wadah beras basmati untuk kami gunakan sebagai tempat pengumpulan permen. Tahun itu, baik orangtua Dora maupun orangtuaku sendiri memutuskan bahwa kami sudah cukup besar untuk mengelilingi kompleks tempat tinggal kami tanpa pengawasan mereka. Rencananya adalah kami akan berjalan dari rumahku ke rumah orangtua Dora, dari mana aku diminta menelepon ke rumah guna mengabari bahwa kami telah tiba dengan selamat — lalu ibu Dora akan mengantarku pulang naik mobil. Ayahku membekali kami dengan sepasang senter, lantas aku harus mengenakan jam tangan yang telah diselaraskan dengan jam Ayah. Kami diminta kembali ke rumah tak lebih dari pukul sembilan malam.

Ketika Mr. Pirzada tiba di rumahku malam itu, ia menghadiahkan sekotak permen mint yang dibungkus lapisan coklat.

“Masukkan sini,” ujarku seraya membuka kantung karung goni yang tengah kujinjing. “Trick or treat!”

“Saya mengerti bahwa malam ini kau tidak membutuhkan sumbangan saya,” kata Mr. Pirzada seraya menjatuhkan kotak coklat ke dalam karung goni itu. Ditatapnya wajahku yang kehijauan, serta topi lancip yang tertambat di kepalaku berkat tali di bawah daguku. Dengan riang, Mr. Pirzada mengangkat keliman mantel yang kukenakan, yang membungkus pakaianku malam itu: sebuah sweater dan jaket tebal yang terseleting sampai leher. “Apa kau cukup hangat?”

Aku mengangguk, membuat topi lancip di kepalaku tumbang sedikit ke satu sisi.

Mr. Pirzada segera membenarkan letak topiku. “Mungkin sebaiknya jangan banyak bergerak.”

Di kaki tangga rumah kami tampak barisan keranjang berisi permen-permen kecil, dan ketika Mr. Pirzada melepas sepasang sepatunya, ia tak meninggalkan sepatunya di tempat biasa, melainkan segera menyimpannya di dalam lemari. Lalu ia membuka kancing jaketnya, sementara aku menunggu untuk menyimpan jaket tersebut; namun tiba-tiba Dora memanggilku dari dalam kamar mandi, meminta bantuanku untuk menggambar tahi lalat di dagunya. Begitu kami siap berangkat trick-or-treating, Ibu bergegas memotret kami berdua di depan perapian — kemudian aku beranjak membuka pintu depan rumah. Mr. Pirzada dan Ayah masih belum meninggalkan serambi; biasanya mereka langsung berkumpul di ruang tamu keluarga. Di luar gelapnya malam menyelimuti jalan-jalan kompleks. Udara di sekitar kami menguarkan harum dedaunan yang basah; dan jack-o-lantern ukiran keluarga kami tampak berkilau cemerlang di tengah gugusan semak belukar dekat pintu rumah.

Di kejauhan, kami dapat mendengar suara kaki-kaki kecil tengah berkedap di atas lapisan aspal, disusul oleh raungan para bocah lelaki yang tak mengenakan kostum Halloween kecuali topeng karet, serta gesekan kostum anak-anak yang lebih kecil, beberapa bahkan begitu kecil hingga mereka harus digendong dari satu pintu rumah ke pintu rumah lainnya oleh orangtua mereka.

“Jangan mampir ke rumah-rumah yang tak dikenal,” pesan Ayah.

Mr. Pirzada mengerutkan kedua alisnya. “Apa ada bahaya?”

“Tidak, tidak,” kata Ibu dengan tenang. “Ini sudah tradisi malam Halloween. Semua anak-anak pasti keluar.”

“Mungkin sebaiknya saya temani mereka,” usul Mr. Pirzada. Mendadak, sosoknya seolah berubah lelah dan menyusut, berdiri di atas kedua kaki yang terentang dan berlapis kaus kaki tinggi, sementara matanya seakan dirundungi rasa panik yang belum pernah kulihat sebelumnya. Meski udara di luar dingin, namun tubuhku mulai berkeringat di bawah balutan sarung bantal yang kukenakan.

“Tidak usah, Mr. Pirzada,” kata Ibu. “Lilia pasti aman bersama temannya.”

“Bagaimana kalau hujan? Kalau mereka tersesat?”

“Jangan khawatir,” ujarku. Itu adalah kali pertama aku mengutarakan kata-kata tersebut kepada Mr. Pirzada, dua kata yang begitu sederhana namun sulit sekali keluar dari bibirku selama berminggu-minggu. Dua kata yang hanya kuucapkan dalam doa. Sekarang aku merasa malu karena harus mengutarakan kata-kata itu demi meyakinkan Mr. Pirzada terhadap keselamatanku sendiri.

Mr. Pirzada menyentuh pipiku dengan jemarinya yang buntat, lalu ia menekan ujung jemarinya ke atas punggung tangan yang lain, meninggalkan bercak hijau di sana. “Baiklah,” katanya. “Bila nona memaksa.” Mr. Pirzada membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda rasa hormat.

Aku dan Dora beranjak pergi, langkah kami sedikit ceroboh karena menggunakan sepatu murahan berujung lancip, dan ketika kami berbelok keluar dari gang mobil, aku dan Dora melambaikan perpisahan kepada kedua orangtuaku dan juga Mr. Pirzada. Terkapit di antara Ayah dan Ibu, Mr. Pirzada yang bertubuh pendek membalas lambaian kami.

“Kenapa pria itu ingin sekali ikut dengan kita?” tanya Dora.

“Putri-putrinya hilang.” Begitu kalimat tersebut keluar dari bibirku, aku menyesali perkataanku sendiri. Menyebut hal itu seolah membuatnya jadi nyata — bahwa putri-putri Mr. Pirzada benar-benar hilang, juga bahwa ia takkan pernah bertemu dengan mereka lagi.

“Maksudnya diculik?” tanya Dora. “Dari taman atau bagaimana?”

“Maksudku Mr. Pirzada kehilangan mereka: kangen. Mereka tinggal di negara lain, dan sudah lama ia tak bertemu dengan mereka. Itu saja.”

Kami mengunjungi rumah-rumah tetangga, menyusuri jalur kompleks dan menekan bel demi bel pintu utama. Beberapa rumah sengaja digelapkan untuk memberikan efek seram; ada juga yang sengaja menggantung kelelawar karet di atas jendela. Di rumah keluarga McIntyre, sebentuk peti mati diletakkan di depan pintu utama, dan Mr. McIntyre bangkit dari dalam peti itu dengan wajah dibalur kapur, sebelum menumpahkan permen jagung ke dalam karung goni yang kami jinjing. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka belum pernah bertemu dengan penyihir asal India sebelumnya; sementara yang lain melakukan transaksi trick-or-treat tanpa banyak komentar.

Begitu kami tiba di rumah keluarga Dora, tangan kami kapalan karena terlalu lama menenteng karung goni berisi kumpulan permen; dan kedua kaki kami bengkak dan perih. Ibu Dora menyediakan kain kasa untuk membungkus kulit yang lecet dan menyiapkan minuman cider hangat serta popcorn rasa karamel. Beliau mengingatkanku untuk menelepon ke rumah dan mengabari orangtuaku bahwa aku sudah tiba dengan selamat di kediaman keluarga Dora. Namun saat aku menelepon mereka, aku mendengar suara siaran televisi yang cukup keras. Ibu tidak terkesan lega mendengar suaraku. Dan ketika aku meletakkan gagang telepon pada tempatnya, aku tersadar bahwa suara televisi tadi tidak datang dari ruang tamu keluarga Dora. Ayahnya tengah berbaring di atas sofa seraya membaca majalah, ditemani segelas anggur di atas meja; sementara lantunan saksofon terdengar merdu dari alat pemutar musik.

Setelah aku dan Dora selesai membagi jatah permen yang berhasil kami kumpulkan semalaman, lalu mencicipi dan menukar beberapa di antara mereka sampai kami puas, ibunya mengantarku pulang ke rumah. Keluar dari mobil, tak lupa kuhaturkan rasa terima kasih karena telah diantar pulang dan beliau menunggu di gang mobil hingga aku tiba di depan pintu. Lampu mobil yang berkilau menyinari semak belukar di dekat beranda rumahku membuatku tersadar bahwa jack-o’-lantern kami telah hancur tak berbentuk, cangkangnya yang tebal terbagi ke dalam beberapa potong yang berserakan di atas hamparan rumput halaman depan rumah kami. Kurasakan mataku memanas dan tenggorokanku perih, seolah bebatuan tajam tengah beradu di dalamnya mengiringi setiap langkah kakiku yang mengenyut karena lecet.

Kubuka pintu depan rumah, berharap kedua orangtuaku dan juga Mr. Pirzada tengah menantiku penuh harap, agar kami bisa sama-sama meratapi labu ukiran kami yang dirusak orang, namun tak ada siapa-siapa di balik pintu. Di dalam ruang keluarga, Mr. Pirzada, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di atas sofa. Layar televisi telah dimatikan. Mr. Pirzada menyanggah kepalanya dengan kedua tangan.

Apa yang mereka dengar malam itu, dan malam-malam selanjutnya, adalah bahwa India dan Pakistan bergerak semakin cepat dan dekat ke arah deklarasi perang. Pasukan tentara dari kedua belah pihak telah berbaris rapi di kedua sisi garis batas antar negara, dan Daka memaksa untuk diberikan hak kemerdekaan. Perang itu akan melanda Pakistan Timur. Amerika Serikat bersekutu dengan Pakistan Barat, sementara Uni Soviet bersekutu dengan India dan bagian lain yang tak lama akan dinamakan Bangladesh. Perang dicanangkan secara resmi pada tanggal 4 Desember. Dua belas hari kemudian, tentara Pakistan menyerahkan diri di Daka karena kekurangan pasokan senjata dan makan. Semua fakta ini baru kuketahui sekarang dari buku-buku sejarah yang tersedia di perpustakaan manapun. Namun pada saat itu, sebagian besar dari perang yang berlangsung selama dua belas hari tak ubahnya sebuah misteri yang diselimuti oleh petunjuk tak beraturan.

Seingatku, selama dua belas hari berlangsungnya perang tersebut, Ayah tak pernah memintaku untuk ikut memantau berita bersama mereka, dan Mr. Pirzada berhenti membawakan manisan untukku, dan Ibu hanya mau menyajikan nasi putih dan telur rebus untuk makan malam. Aku ingat beberapa malam aku membantu Ibu menghampar seprai dan selimut di atas sofa agar Mr. Pirzada bisa tidur di atasnya; dan aku ingat suara-suara bernada tinggi yang mengisi ruang keluarga rumahku di tengah malam, saat kedua orangtuaku sibuk menghubungi kerabat mereka di Kolkata guna mengetahui lebih jauh tentang situasi perang. Tapi yang paling kuingat dari saat genting itu adalah Ayah, Ibu dan Mr. Pirzada berlaku seolah mereka adalah satu kesatuan — berbagi satu porsi makanan, satu tubuh, satu keheningan dan satu rasa takut.

* * *

Di bulan Januari, Mr. Pirzada terbang kembali ke rumah bertingkat tiga miliknya di Daka untuk melihat apa yang tersisa. Kami jarang bertemu dengannya di minggu-minggu terakhir tahun itu; Mr. Pirzada sibuk menyelesaikan karya tulisnya, dan kami menghabiskan Natal di Philadelphia bersama teman-teman orangtuaku. Sama seperti ingatanku yang buram tentang kunjungan pertama Mr. Pirzada, aku juga sulit mengingat kapan kunjungan terakhirnya ke rumah kami. Ayah mengantarnya ke bandara suatu sore ketika aku masih berada di sekolah. Kami tak mendengar kabar apapun dari Mr. Pirzada untuk waktu yang cukup lama. Malam-malam berlalu di kediaman keluargaku seperti biasa: kami menyantap makan malam di depan televisi. Bedanya Mr. Pirzada dan jam sakunya tak lagi menemani kami. Menurut laporan yang ada, Daka tengah memperbaiki infrastuktur kota lewat kuasa parlemen pemerintahan baru.

Pemimpin baru mereka, Sheikh Mujib Rahman, yang belum lama dikeluarkan dari penjara, meminta negara-negara tetangga untuk menyumbang bahan bangunan yang akan digunakan untuk memperbaiki lebih dari sejuta rumah penduduk yang hancur karena perang. Sesekali, aku pelajari peta yang menggantung di atas meja kerja Ayah dan membayangkan Mr. Pirzada berada di atas petak kecil berwarna kuning, mengenakan jas yang sama seperti yang pernah dipakainya setiap datang bertandang ke rumah kami, tubuhnya banjir keringat, seraya mencari keberadaan anggota keluarganya. Tentu saja, peta yang kutatap saat itu sudah tak lagi berlaku.

Akhirnya, beberapa bulan kemudian, kami menerima sebentuk kartu ucapan dari Mr. Pirzada dalam rangka Tahun Baru Islam. Kartu itu disertai sepucuk surat pendek. Dalam surat itu, Mr. Pirzada mengabari bahwa ia telah dipertemukan kembali dengan istri dan anak-anaknya. Semua sehat-sehat saja: mereka melarikan diri ke kediaman kakek-nenek istrinya selama perang berlangsung di daerah pegunungan di Shillong. Ketujuh putrinya kini sudah sedikit lebih tinggi, lapor Mr. Pirzada, namun selain itu mereka masih tetap sama, dan dia masih kesulitan mengingat nama-nama mereka.

Di penghujung surat, Mr. Pirzada berterima kasih atas keramahan kami, seraya menambahkan bahwa meski kini ia mengerti arti frasa “terima kasih”, namun itu saja rasanya kurang cukup baginya untuk mengekspresikan rasa terima kasihnya. Demi merayakan kabar baik tersebut, Ibu menyiapkan makan malam khusus untuk kami sekeluarga, dan saat kami duduk di depan layar televisi, kami mengangkat gelas sebagai tanda penghormatan bagi Mr. Pirzada — hanya saja, aku tidak merasa ingin merayakan apa-apa. Walau sudah berbulan-bulan aku tidak melihat Mr. Pirzada, baru kali itu aku merasakan kekosongan yang disebabkan oleh ketidak-hadirannya di tengah makan malam kami. Baru kali itu, saat aku mengangkat gelas di udara dan menyebut namanya, aku sadar apa rasanya merindukan kehadiran seseorang yang berada ribuan kilometer jauhnya, sama seperti ketika ia merindukan istri dan anak-anaknya selama beberapa bulan. Mr. Pirzada tak punya kepetingan mengunjungi kami setelah kejadian itu, dan kedua orangtuaku yakin — dan ini benar terjadi — bahwa kami takkan pernah melihatnya lagi.

Sejak bulan Januari, setiap malam sebelum tidur, aku mengudap permen yang kukumpulkan di malam Halloween, demi keselamatan keluarga Mr. Pirzada. Malam itu aku tak perlu melakukannya. Bahkan, seiring berjalannya waktu, aku membuang permen-permen tersebut. FL

 

2018 © Hak cipta Fiksi Lotus dan Jhumpa Lahiri. Tidak untuk dijual, ditukar, ataupun digandakan.


#KETERANGAN:

(*) Pemisahan atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Partition adalah perang saudara yang terjadi di tahun 1947 dan mengakibatkan terpecahnya kekuasaan India-Britania menjadi dua daerah kekuasaan besar: India dan Pakistan.

(**) Sejarah Perang Revolusi AS juga dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Amerika dan dimulai dari gesekan global antara Kerajaan Inggris dan Ketigabelas Daerah Koloni yang ditetapkan di Benua Baru (Amerika). Ketigabelas Daerah Koloni tersebut kemudian menyatakan diri sebagai Amerika Serikat dengan pemerintahan independen yang terpisah dari Kerajaan Inggris.

(***) Kapal Mayflower adalah kapal laut ternama yang membawa penduduk Inggris beraliran puritan, yang dikenal dengan sebutan pilgrims, untuk pertama kalinya dari Plymouth ke Benua Baru (Amerika) di tahun 1620. Membawa 102 penduduk, mereka adalah orang-orang Inggris yang pertama kali menginjakkan kaki di benua Amerika sebagai imigran.


#CATATAN:

> Cerpen ini bertajuk “When Mr. Pirzada Came to Dine” karya JHUMPA LAHIRI dan merupakan bagian dari rangkaian cerita pendek dalam koleksi beliau, “Interpreter of Maladies” terbitan Houghton Mifflin pada tahun 1999.

>> JHUMPA LAHIRI adalah seorang penulis fiksi dan esai berkebangsaan Amerika-India yang telah memenangkan sejumlah penghargaan, termasuk Pulitzer dan O. Henry Award.


#POIN DISKUSI:

  1. Apa pendapat kalian tentang unsur politik dalam cerita pendek ini?
  2. Kesan apa yang kalian dapat tentang hubungan Mr. Pirzada dan Lilia?
  3. Apa peran makanan dalam cerita pendek ini?
  4. Bagian mana yang menurut kalian paling menarik?
  5. Bagaimana pendapat kalian tentang ending cerita?

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

9 Comment on “Makan Malam Bersama Mr. Pirzada

  1. Ping-balik: Makan Malam Bersama Mr. Pirzada, Jhumpa Lahiri – BA-BI-BU

Tinggalkan balasan