Haruki Murakami
Suatu pagi yang cerah di bulan April, di pinggiran jalan sempit di Harajuku, sebuah area perbelanjaan di Tokyo, aku berjalan melewati seorang gadis yang 100% sempurna.
Sejujurnya, dia tidak terlalu cantik. Dia juga tidak terlalu menyolok. Pakaian yang dikenakannya tidak terlalu spesial. Dan rambutnya masih menyisakan jejak ranjang seolah tak disisir merata. Dia juga tidak terlalu muda—kuperkirakan usianya sekitar 30 tahun, dan sebenarnya tidak cocok dipanggil dengan kata ‘gadis’. Meski begitu, aku tahu saat melihatnya dari kejauhan 0.05 kilometer: bahwa dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku. Begitu aku melihatnya, ada gemuruh yang timbul di dadaku, lalu mulutku mendadak kering seperti padang pasir.
Mungkin Anda punya tipe gadis favorit—dan dia mungkin memiliki pergelangan kaki yang ramping, atau sepasang mata yang besar, atau jemari yang lentik, atau Anda menyukai seorang gadis yang selalu menghabiskan waktu lama sekali untuk bersantap, entah kenapa. Aku juga punya tipeku sendiri. Sesekali, saat aku ada di sebuah restoran, aku sering curi-curi pandang ke arah gadis yang duduk di meja sebelahku hanya gara-gara aku menyukai bentuk hidungnya.
Namun bagi seorang laki-laki yang hatinya telah kepincut, maka gadis yang 100% sempurna itu takkan ada tandingannya. Walau aku suka memperhatikan bentuk hidung orang, namun aku tidak ingat bentuk hidung gadis yang sempurna itu—atau apakah dia punya hidung sama sekali. Yang kuingat dengan pasti adalah gadis itu bukan gadis tercantik sedunia. Aneh, kan?
“Kemarin, di jalan, aku melewati seorang gadis yang 100% sempurna,” ujarku pada seseorang.
“Masa?” sahut orang itu. “Cantik?”
“Tidak juga.”
“Kalau gitu dia tipe kesukaanmu?”
“Entahlah. Aku bahkan tidak ingat terlalu banyak hal tentang dia—seperti bentuk matanya atau ukuran dadanya.”
“Aneh.”
“Aneh sekali.”
“Lantas,” tutur lawan bicaraku yang mulai bosan. “Apa yang kau lakukan? Menyapanya? Atau membuntutinya?”
“Tidak. Aku hanya numpang lewat di hadapannya.”
Gadis itu berjalan dari arah timur ke barat, sedangkan aku dari barat ke timur. Sungguh pagi yang cerah di bulan April.
Seandainya saja aku bisa menyapa dia. Aku hanya butuh setengah jam: untuk bertanya tentang siapa dia, lalu aku kan memberitahukan siapa aku, dan—yang sangat ingin kulakukan—menjelaskan kepadanya tentang betapa rumitnya cara kerja takdir untuk mempertemukan aku dan dia di pinggiran jalan di area Harajuku di sebuah pagi yang cerah di bulan April tahun 1981. Kejadian ini tentunya melibatkan banyak rahasia yang tidak kita ketahui; seperti jam antik yang dibuat saat perang dunia usai.
Setelah mengajaknya bicara, kami akan pergi makan siang bersama, lalu menonton film besutan Woody Allen di bioskop, dan dilanjutkan dengan acara minum-minum di bar hotel. Bila keberuntungan ada di pihakku, kami akan mengakhiri kebersamaan ini di atas ranjang.
Kemungkinan-kemungkinan yang belum terjamah itu mengetuk pintu hatiku.
Sekarang jarak di antara kami menyempit jadi 0.013 kilometer.
Bagaimana sebaiknya aku mendekati dia? Apa yang harus kukatakan?
“Selamat pagi, nona. Maukah kau menyisihkan waktu selama setengah jam untuk berbincang?”
Konyol. Aku terdengar seperti salesman asuransi.
“Permisi, apakah kau tahu tempat cuci baju yang buka sepanjang malam di sekitar sini?”
Tidak, sama saja konyolnya. Aku juga tidak bawa baju kotor. Siapa yang akan percaya?
Mungkin aku harus jujur. “Selamat pagi. Kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”
Tidak, dia takkan percaya. Atau bila dia percaya, dia mungkin takkan mau berbincang denganku. Maaf, dia akan berkata padaku, aku mungkin gadis yang 100% sempurna untukmu, tapi kau bukan pemuda yang 100% sempurna untukku. Bisa saja kan? Dan jika aku berada dalam situasi itu, hatiku pasti hancur. Aku takkan pernah bisa mengatasinya. Usiaku 32 tahun—dan di usia sepertiku seharusnya aku bisa menerima penolakan dengan dada lapang.
Kami melewati sebuah toko bunga. Udara pagi berembus ringan dan membelai kulitku dengan kehangatan. Lapisan aspal di bawah kakiku tampak lembap dan aku mencium sekelebat wangi bunga. Aku tidak berani menyapa gadis itu. Ia mengenakan sebuah sweater berwarna putih dan di tangan kanannya ada secarik amplop putih yang hanya butuh perangko saja untuk diposkan. Jadi: gadis itu sudah menulis surat untuk seseorang, mungkin menghabiskan waktu semalaman menulisnya, apalagi melihat matanya yang berat karena kantuk. Di dalam amplop itu mungkin saja terselip seluruh rahasia hidupnya.
Aku mengambil beberapa langkah ke depan, lalu membalikkan badan: gadis itu menghilang di tengah keramaian.
*
Sekarang aku baru tahu bagaimana seharusnya aku menyapa gadis itu. Tentunya aku harus memberikan pidato panjang; terlalu panjang untuk kusampaikan dengan baik. Semua ide yang ada di kepalaku memang tidak ada yang praktis.
Oh well. Tadinya aku akan memulai pidato itu dengan kalimat “Pada suatu hari” dan diakhiri dengan “Cerita yang sedih, bukan?”
*
Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.
Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.
“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”
“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”
Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat, sebuah pertanda.
Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?
Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”
“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”
Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah barat.
Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.
Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.
Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat; yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.
Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.
Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos, melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:
Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.
Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.
Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.
Cerita yang sedih, bukan?
*
Ya, itu dia. Seharusnya itu yang kukatakan padanya. FL
2013 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Haruki Murakami. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.
—————-
# CATATAN:
> Cerpen ini berjudul On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning karya HARUKI MURAKAMI dan disertakan dalam koleksi cerita pendek berjudul The Elephant Vanishes (Random House, 1993).
>> HARUKI MURAKAMI adalah seorang penulis dan penerjemah asal Jepang yang telah menerbitkan sejumlah novel, koleksi cerita pendek dan esai. Beberapa karyanya yang telah mendunia, termasuk di antaranya: Kafka on the Shore, The Wind-Up Bird Chronicle, Norwegian Wood, dan—yang terakhir—IQ84. Karya non-fiksi yang ia terbitkan termasuk di antaranya: Underground: The Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche dan What I Talk About When I Talk About Running.
# POIN DISKUSI:
untuk saat ini hanya bisa bilang: bagus.
SukaSuka
Hi Muji. Terima kasih ya 🙂 Semoga suka dengan posting2 lainnya.
SukaSuka
1. Haruki Murakami memang pemberontak sastra Jepang, dia bercerita tentang Jepang dan dunia hari ini dengan kisahan yg hanya ingin berkisah, kadang karakternya sulit dipahami dan kadang ceritanya hanya menampilkan sekumpulan karakter yg membingungkan, tapi gaya tuturan Murakami menarik sekali.
2. Strukturnya nampak bertele-tele tapi ini upaya Murakami bermain-main dgn teks cerita.
3. Dalam hati bilang, nah lho, ha-ha.
4. Aku belum bisa nangkep simbol yang diajukan Murakami, Mbak Maggie, mau berbagi padaku?
Sebenarnya aku merasa sensasi yg sama spt saat aku baca Sleeping Beauty and The Airplane-nya Marquez, Mbak. Membuktika cerita cinta bisa jadi picisan atau menarik, tergantung pengarang maunya apa, he-he.
SukaSuka
Hi Wendy. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Aku juga suka sekali dengan penuturan Murakami yang tidak bertele-tele dalam menyampaikan cerita yang sebenarnya sederhana namun bernafas “kompleks”. Untuk simbol-simbolnya sudah ada pembaca yang berbagi juga di sini. Bisa ditanggapi mungkin? 🙂
SukaSuka
….seperti kata pepatah kalo jodoh takkan lari kemana…cerita yg keren ^^
SukaSuka
Hi Atmo. Terima kasih ya. Semoga suka dengan posting2 lainnya juga 🙂
SukaSuka
Salam kenal Mbak Maggie…salut untuk Fiksi Lotusnya….aku suka banget cerpen ini….akhir2 ini memang lagi suka karya Penulis Jepang spt Beauty and Sadnessnya Yasunara Kawabata…..ok aku akan coba komen:
1. Ya saya kurang lebih setuju dengan komentar tsb. Cerita cinta tak kesampaian yang muram namun juga sering kita lihat di film-film dan kehidupan sehari-hari. bagusnya Haruki Murakami menguraikan dengan gamblang tntg alasannya : mengapa seorang laki-laki bisa tidak mengungkapkan perasaan cinta trsbt.
2. Cerita dalam ceritanya memperkuat kesan karakter si pria yang ‘pengecut’ dan pesimis. Karena ia cuma bisa berangan-angan mengatakan cerita ini.
3. Kesannya……greget dan sedih. karena mereka sepertinya ditakdirkan jodoh satu sama lain tapi mereka tidak jadi…
4. Nah, kl Mbak Maggie ga bahas simbol dan tafsir aku ga bakal nyangka ada tafsiran lain di balik cerita ini. Jadinya aku penasaran tntg simbolnya. Mungkin ya mbak…..ini adalah simbol dari pemikiran ala ‘Barat’ dan ‘Timur’ yang ga pernah nyambung (disimbolkan dengan si gadis yang pergi dari barat ke timur dan si lelaki yang pergi dari timur ke barat) . Sebetulnya pemisahan pemikiran a la Barat- Timur itu tidak pernah ada ( disimbolkan oleh pertemuan si gadis dan pemuda itu ketika remaja, ketika mereka yakin bahwa mereka 100% ditakdirkan satu sama lain). Namun karena ada beberapa pihak dari kubu ‘Barat’ dan ‘Timur’ yang keukeuh memperuncing perbedaan di antara mereka, maka pemikiran tsb pun tidak pernah menyatu dan melengkapi satu sama lain…..
kl menurut Mbak Maggie gmana?
SukaSuka
Hi Feby. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Aku setuju dengan tafsiran kamu atas simbol2 dalam cerita ini. Arah Barat-Timur yang hadir di sini memang menunjukkan perbedaan antara kedua tokoh utama dalam cerita ini, meski keduanya yakin mereka 100% diciptakan untuk satu sama lain.
SukaSuka
kok saya merasa ada unsur komedi yang ingin ditampilkan pengarangnya ya?
SukaSuka
Hi Tika. Menurutku tulisan Murakami memang sering menyertakan unsur komedi gelap yang berbaring tepat di bawah permukaan cerita. Jadi lebih nendang ya? 😀 Terima kasih sudah mampir kemari ya.
SukaSuka
tolong banyakin lagi karya Murakami ya.. terima kasih kembali
SukaSuka
1. bisa saja begitu, saya memang menemukan banyak kemuraman dan ketakberujungan dalam karya Murakami. tapi yang saya suka dari Murakami, melalui kesinisan dan kepesimisan-nya dia cukup jujur terhadap hidup modern yang banyak mengubah hubungan antar manusia dan pola pikir terhadap sesuatu.
2. menurut saya, cerita dalam cerita itu selain digunakan Murakami sebagai cara berkisah secara tak langsung, juga digunakan untuk memperkuat karakter si tokoh yang kini sudah berusia 32 tahun dan tidak lagi memiliki pikiran yang jernih dalam memandang cinta.
3. Cerita yang sedih, bukan? (haha begitulah :D)
4. simbol “flu yang terjangkit di mana-mana” yang merupakan simbol kondisi terpuruk yang dialami semua orang–tak hanya dua tokoh perempuan dan laki-laki itu. saya menangkapnya sebagai perubahan masyarakat dari masa depresi ke masa kemakmuran yang memberi konsekuensi tertentu yang kemudian dijelaskan dengan simbol lain yaitu “celengan baru” yakni tentang hidup yang kosong lalu kemudian berisi, tentang kehidupan yang membaik, dan tentang kemampuan jatuh cinta hingga 80%. namun saya menangkapnya sebagai kondisi pulih yang tidak pernah sama seperti semula.
SukaSuka
Hi Sulamit. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Aku setuju, teknik metafiksi Murakami untuk menjalin cerita dalam cerita sangat efektif di sini. Simbol-simbol yang kamu tafsirkan juga menarik. Terutama tentang “celengan baru” yang melambangkan sebuah harapan baru.
SukaSuka
salam kenal, ini fiksi untuk yang request Haruki Murakami di arsip kan?
1. Sepertinya bukan cinta yang muram. Tokoh utama hanya tidak mampu mengungkapkan isi pikirannya dan terus memikirkan skenario untuk memulai perkenalan.
2. Penggunaan cerita dalam cerita memperlihatkan dalamnya imajinasi tokoh utama. Lebih mengarahkan bahwa pembelaan diri mengapa ia tidak berani menyapa gadis itu. Mungkin iya merasa seperti tokoh cerita tersebut. Merasa terlaluk muluk untuk bertemu dengan gadis impiannya.
3. Cuma menghela nafas.
4. Amplop putih tampa perangko yang dipegang gadis tersebut dengan pikiran yang seperti celengan baru. Tapi masih tidak tahu artinya apa.
SukaSuka
Hi Iqbal. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi ya. Aku suka poin ke-empat yang kamu sampaikan tentang amplop putih sebagai salah satu simbol yang disematkan Murakami dalam cerita ini. Menarik!
SukaSuka
Suka sekali dengan cerpen ini. Jujur berkat Fiksi Lotus saya semakin tertarik untuk memperdalam pengetahuan saya akan sastra asing, khususnya di bidang cerpen.
1. Dari dulu saya selalu suka dengan cerita cinta yang muram. Dan saya setuju dengan kritikus cerpen ini. Cinta dalam cerpen ini terasa muram, namun juga manis. Ada kegetiran yang mengendap seusai membacanya.
2. Saya suka dengan struktur ceritanya. Penggunaan efek cerita dalam cerita membuat cerpen ini menjadi semakin menarik, dan juga dramatis.
3. Sempurna! Entah mengapa sayup-sayup saya merasakan kegetiran, mungkin terdengar berlebihan. Tapi begitulah kenyataannya 🙂
4. Saya suka dengan kalimat : Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%. Terkadang kita juga pernah berpapasan dengan dia yang sempurna 100% entah karena alasan apa kita menganggapnya sempurna. Dia seperti orang yang selama ini kita cari, namun kita memilih untuk melangkahkan kaki ke depan, tanpa keberanian (atau keinginan) untuk mengenal lebih dalam dia yang 100% sempurna agar dia tetap menjadi yang tersempurna agar pertengkaran atau konflik yang terjadi antara kita dan dia (jika saja kita dan dia saling mengenal lalu akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan) tidak melunturkan cinta yang 100 % sempurna, biarlah dia yang sempurna menjadi kenangan manis yang kita lewati dalam perjalanan hidup.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi Ayu. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Cerita Murakami selalu berhasil menghantarkan ironinya kehidupan dengan elemen-elemen tak terduga, namun tetap familiar bagi pembaca (menurutku). Ditunggu komentar2 lainnya ya 🙂
SukaSuka
Mbak Maggie, terima kasih sudah menyajikan karya Haruki Murakami di sini! Saya coba ikut berdiskusi..
1. Cerita ini memang terasa yang muram. “Aku” lagi-lagi tak bisa mengungkapkan perasaannya kepada perempuan yang disukainya. Ia harus menuntaskan rasa penasarannya dengan membicarakan momen-bertemu-gadis-itu kepada orang lain. Bahkan setelah beberapa waktu berlalu, ketika cerita itu ditulis, “aku” masih merancang apa yang seharusnya ia lakukan untuk mendapatkan kesempatan berbicara kepada si gadis.
Dan yang paling menarik di sini: dalam ending kisah pidato yang digagas si “aku”, tokoh perempuan dan laki-laki terlalu lemah ingatannya untuk mengenali satu sama lain. Ending tidak saling mengenal ini seolah-olah menyiratkan bahwa, seandainya pun bisa menyampaikan pidato itu kepada si gadis, “aku” tetap tidak ingin harapannya untuk berkenalan terlalu kentara, demi berjaga-jaga apabila gadis itu tidak tertarik dengannya. Jadi, betapa sepi si “aku”: ia selalu berjaga-jaga terhadap kemungkinan gadis itu tidak menginginkannya.
2. Struktur cerita dan efek cerita dalam cerita menguatkan citra kesepian si “aku”, namun anehnya teknik itu tampil dengan cara yang ‘kalem’ sehingga tidak mengganggu pembaca. (saya suka merasa, kadangkala cerita yang dipaksakan menggunakan teknik tertentu malah mengaburkan tokoh cerita dan justru menonjolkan senyum sombong si penulis)
3. Ending cerita mengantarkan saya untuk menyimpulkan nuansa batin si “aku”: bahwa dia kesepian, bahwa dia seringkali menyukai seorang gadis namun tak tahu harus berbuat apa, dan bahwa dia kemudian menyesal karena telah kehilangan kesempatan untuk berkenalan.
4. Simbol-simbolnya:
– Tempat cuci baju: si “aku” masih lajang.
– sweater berwarna putih dan amplop putih: di mata “aku, tubuh (hati) si gadis dalam sweater putih sama rahasianya dengan lembaran surat dalam amplop putih.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi Agus. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi ya! 🙂 Wah, benar sekali poin yang kamu sampaikan tentang simbol “tempat cuci baju” — menunjukkan narator yang lajang dan kesepian. Ditunggu komentar2 lainnya ya 🙂
SukaSuka
1. Keren.. Memang cinta yang muram dan cerita yang sedih.
2. Cerita dalam cerita sempat membuat saya bingung, saya mengira cerita yang berbeda dan sempat berusaha mengulang membaca dari awal.
3. Ending cerita membuat saya berharap mereka memiliki kesempatan untuk bertemu lagi.
4. Simbol? Hmm… tidak menemuakan nya.. 🙂
SukaSuka
Hi Indira. Terima kasih atas komentarnya ya. Ditunggu komentar2 lainnya 🙂
SukaSuka
1. ‘Cinta yang muram’ adalah komentar
salah satu kritikus karya Haruki Murakami
mengenai cerita ini. Menurut kamu?
Cinta yang tidak pernah bersatu. Jodoh yang tak pernah bertemu, seperti itu menurutku. Dan, rasanya kasihan banget sama para tokohnya 😦
2. Apa pendapat kamu tentang struktur cerita?
Serta penggunaan efek ‘cerita dalam
cerita’?
Benar-benar cerita yang keren! Nggak pernah terpikirkan untuk menulis yang seperti ini! Bahkan dari awal, dari awal baca, nebak-nebak ending, malahan yang ketemunya… It so cool!
3. Apa kesan kamu saat membaca ending
cerita?
Eh? Seriusan udah selesai? Apa ada yang kelewat? *balik lagi ke awal cerita*
4. Simbol apa yang kamu tangkap dari dalam
cerita ini + apa tafsiran kamu?
Kurang mengerti, ya. Nggak bisa nangkap, ini. Maklum, pemula. Hehehe…
SukaSuka
Hi Rika. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Memang cerita ini penuh dengan kejutan, terbungkus dalam misteri yang kocak, sekaligus puitis. Ditunggu komentarnya di diskusi lainnya 🙂
SukaSuka
Cerita ini selalu membuatku berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan di masa lalu yang tidak dilakukan dan terlewatkan untuk dilakukan. Luar biasaaaa….
SukaSuka
Hi Patrick. Thanks ya buat komentarnya. Ditunggu komentar2 berikutnya 🙂
SukaSuka
Reblogged this on So, endure, encourage, enjoy and commented:
Mengutip tulisan karena terlalu malas menulis.
SukaSuka
Halo Mbak Maggie, saya mau isi komentar di sini lagi.
Saya baru baca di sini*, bahwa cikal-bakal novel 1Q84 adalah cerpen ini. (Saya sendiri belum pernah baca 1Q84 tapi sepertinya itu masterpiece Murakami.) Menurut Mbak Maggie, apakah yang harus diperhatikan ketika kita ingin mentransformasi sebuah cerpen ke dalam novel? Terima kasih.
*) http://www.nytimes.com/2011/10/23/magazine/the-fierce-imagination-of-haruki-murakami.html?pagewanted=all&_r=0
SukaSuka
Hi Agus. Terima kasih atas komentarnya. Menurutku perihal mengubah cerpen jadi novel sama seperti saat kita “pindah tempat tinggal”. Dari kamar kosan ke dalam rumah. Tentunya ada skema pengaturan properti yang harus disesuaikan, ruang yang harus diisi, serta pengayaan baik itu dari segi konten, maupun tema dan kuantitas elemen (setting, karakter, plot, dll). Jadi bagiku bukan jembatannya yang harus dikhawatirkan, melainkan perpindahan itu sendiri. Semoga membantu ya 🙂
SukaSuka
hiii… mba maggie, salam kenal…
bagus banget cerpennya, aku suka…
SukaSuka
itu lah cinta, terlihat sempurna lah wanita yang di lihatnya di kala pandangan pertama pun.
SukaSuka
1. ‘Cinta yang muram’ adalah komentar salah satu kritikus karya Haruki Murakami mengenai cerita ini. Menurut kamu?
Karya Haruki Murakami yang pertama saya baca. Terasa ironis ketika sepasang kekasih yang “seharusnya” ditakdirkan untuk bersama satu sama lain ternyata “mengkhianati” takdir mereka sendiri. Mereka mempunyai dua kali kesempatan untuk saling mencintai, namun “keraguan” dalam hati selalu saja membuat pasangan itu tak pernah bersatu.
2. Apa pendapat kamu tentang struktur cerita? Serta penggunaan efek ‘cerita dalam cerita’?
pergantian POV di bagian akhir cerita diperlukan untuk menjelaskan kepada pembaca apa yang membuat cerita ini begitu “Ironi”. Cara POV ke tiga bercerita (atau efek cerita dalam cerita) membuat cerpen ini lebih terasa dramatis.
3. Apa kesan kamu saat membaca ending cerita?
Sekali lagi, “Ironis”. Ketika jodoh “100%” ada dihadapan, mereka malah melewatkan nya begitu saja. Mungkin bisa jadi pembelajaran untuk kita agar tidak ragu lagi untuk berkenalan dengan lawan jenis di jalan 🙂 (mungkin saja dia adalah jodoh hidup kita, kita tidak akan pernah tahu.)
4. Simbol apa yang kamu tangkap dari dalam cerita ini + apa tafsiran kamu?
hmm.. arah kedatangan mereka (barat & timur) sama ketika mereka berpisah, memberikan kesan “aku kembali, aku datang untukmu”. lalu amplop putih dan niat sang gadis pergi ke kantor pos, mungkinkah sang gadis selama ini menyurati sang lelaki, namun sang lelaki tak pernah mendapatkan surat dari sang gadis? karena misalnya saja sang lelaki pindah alamat. sang gadis hanya ingat wajah masa kecil sang lelaki sehingga saat mereka bertemu, mereka tak saling sapa. Padahal sang gadis sangat ingin menemui sang lelaki. kalau itu benar, maka cerita ini sangat indah.
SukaSuka
Saya merasa kurang peka sekali. Saya membacanya dan tidak merasakan apa apa. T.T
SukaSuka
permisi mbak Maggie, numpang tanya, cerpen Murakami yang berjudul “Landscape with Flatiron” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul apa ya? kalau tidak salah dulu saya pernah membaca di sini, tapi sudah tidak ada. terima kasih.
SukaSuka
Barangkali saya ketinggalan jauh tentan sastra asing, maka ketika baca cerpen Murakami ini saya belum begitu bisa menikmatinya.
SukaSuka
di dunia ini tidak ada yang 100 persen sempurna. Kita harus bisa menerima kekurangan orang lain, termasuk pasangan/calon pasangan hidup kita.
Selain itu, kadanga kesempatan tidak akan datang dua kali. Jadi, selagi muda dan selagi bisa, gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. kalau kita suka dan situasi mendukung, jangan menunggu sampai kesempatan kedua, ketiga, dst, datang.
Ini berlaku tidak hanya dalam urusan cinta, tapi juga dalam hal-hal yang umum dalam hidup kita.
Itu saja komen saya menanggapi cerpen yang menarik ini, Mbak Maggie
Wassalam
SukaSuka
Aduh, karena tidak begitu paham sastra, saya jadi tidak bisa berkomentar apa-apa selain: Saya Suka Tulisan Ini. Hehe.
SukaSuka
saya merasa cerpen ini lebih baik dinikmati tanpa perlu mengartikan simbol-simbol itu, karena simbol simbol itu sendiri sederhana dan apa adanya. Kekuatannya ada pada cara penuturan kisahnya. Saya sangat menyukai cara penuturan seperti ini, apalagi tipe tipe dark comedy sperti ini..hehe.. Saya suka menulis dan kayanya gaya saya nulis (bukan maksudnya gimana gitu…) sepertinya mirip … Banyakin lagi dong cerpennya Haruki Murakami.. Thx
SukaSuka
1. Cinta yang dipaparkan oleh Haruki Murakami dalam cerita ini mungkin memang banyak bertebaran di bumi. Bukan “kisah utama” dalam kehidupan si tokoh, tapi “kisah pendamping” yang memperkaya warna hidupnya, karena “kisah utama” selalu yang berakhir bahagia (atau tragis), kan? 😉
2. Saya suka kalimat pertama dalam cerpen ini. Menggugah rasa penasaran saya dengan isi cerita. Bagi saya ceritanya tidak istimewa, tapi cara berceritanya luar biasa 🙂 Terutama dengan penggunaan kata 100% sempurna yang terus mengundang rasa penasaran saya.
3. Endingnya membuat hati saya mencelos.. berusaha menemukan lanjutannya, tapi ternyata ceritanya memang sudah selesai :’)
4. Saya membaca beberapa komentar di halaman ini terutama pada bagian “simbol” karena saya sendiri kurang menangkap “simbol” dalam cerita. Mbak Feby Dwi Hani mengutarakan mengenai “simbol” Timur-Barat dan Barat-Timur.. I couldn’t agree more.
Sering saya jumpai sepasang yang saling mencintai tapi akhirnya harus berpisah karena perbedaan prinsip hidup dsb. Sungguh nestapa, tapi cinta bahkan tidak bisa mempertemukan dua prinsip yang saling bertolak belakang.
Ini pertama kalinya saya membaca karya Haruki Murakami. Mungkin setelah dari sini, saya akan mulai mencoba membaca karya-karyanya yang lain.
Terima kasih Mbak Maggie karena telah menerjemahkan cerita ini ^^
SukaSuka
1. Cinta yang dipaparkan oleh Haruki Murakami dalam cerita ini mungkin memang banyak bertebaran di bumi. Bukan “kisah utama” dalam kehidupan si tokoh, tapi “kisah pendamping” yang memperkaya warna hidupnya, karena “kisah utama” selalu yang berakhir bahagia (atau tragis), kan?
2. Saya suka kalimat pertama dalam cerpen ini. Menggugah rasa penasaran saya dengan isi cerita. Bagi saya ceritanya tidak istimewa, tapi cara berceritanya luar biasa 🙂 Terutama dengan penggunaan kata 100% sempurna yang terus mengundang rasa penasaran saya.
3. Endingnya membuat hati saya mencelos.. berusaha menemukan lanjutannya, tapi ternyata ceritanya memang sudah selesai :’)
4. Saya membaca beberapa komentar di halaman ini terutama pada bagian “simbol” karena saya sendiri kurang menangkap “simbol” dalam cerita. Mbak Feby Dwi Hani mengutarakan mengenai “simbol” Timur-Barat dan Barat-Timur.. I couldn’t agree more.
Sering saya jumpai sepasang yang saling mencintai tapi akhirnya harus berpisah karena perbedaan prinsip hidup dsb. Sungguh nestapa, tapi cinta bahkan tidak bisa mempertemukan dua prinsip yang saling bertolak belakang.
Ini pertama kalinya saya membaca karya Haruki Murakami. Mungkin setelah dari sini, saya akan mulai mencoba membaca karya-karyanya yang lain.
Terima kasih karena telah menerjemahkan cerita ini, Mbak Meggie ^^
SukaSuka
saya cuma bisa bilang woowwwww!! sangat menarik mbak 😀
SukaSuka
Maaf, tanya. Ini pakai font apa ya?
SukaSuka
Pake ekstensi di chrome namanya fontface ninja. Nanti kamu bisa tau website ini pake font apa
SukaSuka
1. ‘Cinta yang muram’ adalah komentar salah satu kritikus karya Haruki Murakami mengenai cerita ini. Menurut kamu?
Cerita yang hampa. Tokoh hanya ingin tau saja tanpa berusaha meninggalkan jejak 😦
2. Apa pendapat kamu tentang struktur cerita?
Serta penggunaan efek ‘cerita dalam cerita’?
Belum tahu. Efeknya jadi bumbu yang menyedapkan.
3. Apa kesan kamu saat membaca ending cerita?
Bertanya ‘Kenapa?’
Kenapa mereka mengadakan perjanjian kalau akhirnya mereka tidak melemparinya?
Kenapa mereka melengos saja waktu bertemu?
Kenapa mereka hanya melihat sekilas?
Kenapa mereka hanya berpikir tanpa melakukan sesuatu?
Dan kenapa yang ditimbulkan dari cerpen ini sukses menyadarkan, mengingatkan, dan mewanti saya agar melakukan hal ini saat ini dan menjauhi itu saat itu.
4. Simbol apa yang kamu tangkap dari dalam cerita ini + apa tafsiran kamu?
Surat? Jika sulit untuk diucapkan maka cobalah untuk ditulis. Tentu saja lewat surat-menyurat. Angan dan berpikir saja tanpa bertindak takkan membuahkan hasil. Great!
Makasih Mbak Maggie, Pak Murakami, sudah mengingatkan saya 🙂
SukaSuka
Salah satu cerpen terbaik.
SukaSuka
Kurang tulisan karya Kawabata Yasunari.Tapi ini sdh memuaskan.
SukaSuka