I.L. Peretz
Setiap pagi subuh di hari Jumat, tepat di saat pelaksanaan Doa Tobat*, seorang rabbi dari kota Nemirov(1) menghilang.
Tidak ada orang yang melihatnya—baik itu di sinagog, maupun di rumah doa. Ia juga tidak terlihat di pertemuan-pertemuan agama. Dan tempat tinggalnya kosong melompong. Rumah tinggal sang rabbi tidak pernah dikunci dengan pintu yang senantiasa dibiarkan terbuka: siapapun boleh keluar-masuk. Tak ada seorang pun di kota itu yang ingin mencuri dari sang rabbi. Namun setiap Jumat pagi rumah itu selalu kosong. Tak ada mahluk hidup di dalamnya.
Lantas kemana perginya sang rabbi? Ke surga, tentunya. Seorang rabbi selalu sibuk mengurus ini-itu sebelum Hari Raya tiba. Umumnya, orang Yahudi membutuhkan penghasilan, kedamaian, kesehatan dan jodoh yang baik. Mereka ingin jadi orang yang baik dan teladan, namun dosa kami terlalu besar, dan Iblis selalu mengawasi bumi dengan seribu mata tersebar dari ujung ke ujung. Apapun yang dilihat Iblis, akan dilaporkan; disangkal, diinformasikan. Siapa yang bisa menolong kami kalau bukan sang rabbi!
Setidaknya itu cara pikir sebagian besar masyarakat Yahudi.
Tapi suatu hari datanglah seseorang berkebangsaan Litvak(2)—dan dia menertawai kami. Kalian tahu sendiri seperti apa tabiat orang Litvak. Mereka tidak menghormati kitab suci, namun mereka menghafal isi Talmud(3) serta hukum yang berlaku. Suatu kali, orang itu menunjuk ke arah satu paragraf di Kitab Gamara(4)—kalian pasti bisa melihatnya—di mana tertulis bahwa Guru Besar kami, Nabi Musa, tidak naik ke surga semasa hidupnya, namun justru terapung di dalam perahu sedalam dua setengah kaki. Kalian coba saja melawan pendapat orang Litvak!
Lalu kemana perginya sang rabbi?
“Itu bukan urusan saya,” sahut orang Litvak tersebut sambil mengangkat bahu. Namun ternyata—ini dia kelebihan orang Litvak!—ia pun berusaha mencari tahu.
Di malam yang sama, tepat setelah jam doa malam, orang Litvak itu diam-diam masuk ke dalam kamar sang rabbi, bersembunyi di bawah ranjangnya dan menunggu. Ia akan mengamati sang rabbi semalaman, dan mencari tahu kemana perginya sang rabbi saat pelaksanaan Doa Tobat berlangsung.
Kalau saja orang lain yang melakukan pengamatan ini, bukan tidak mungkin mereka akan tertidur atau terjangkit sakit kepala karena menunggu selama berjam-jam. Tapi orang berkebangsaan Litvak selalu melakukan segalanya dengan serius; dalam kasus ini, ia melewatkan waktu sambil membaca seluruh teks Talmud yang dihafalnya luar kepala.
Ketika subuh tiba, ia mendengar suara panggilan doa berkumandang.
Sang rabbi sudah lama terbangun. Si orang Litvak sudah lebih dari satu jam mendengarkan erangan sang rabbi.
Siapapun yang pernah mendengar erangan rabbi asal kota Nemirov ini pasti sadar akan kemalangan bangsa Israel serta penderitaan yang harus dipikul mereka dalam setiap embusan napas sang rabbi. Erangan itu seringkali mematahkan hati orang yang mendengarnya.
Namun nampaknya bangsa Litvak berhati besi; ia mendengarkan erangan itu tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Sementara itu, sang rabbi—terpujilah dia!—terbaring di atas ranjang. Dan orang Litvak tersebut bersembunyi di bawahnya.
Kemudian orang Litvak itu mendengar ranjang-ranjang di seisi rumah mulai berderit; ia mendengar orang-orang yang turun dari ranjang; menggumamkan beberapa kata dalam bahasa Yahudi, sambil menuangkan air di atas kuku mereka dan mengetuk pintu-pintu kamar. Semua orang telah pergi. Suasana kembali sunyi dan gelap; hanya ada sedikit cahaya dari sinar rembulan yang menerjang celah-celah tirai jendela.
(Setelah itu, orang Litvak tersebut mengakui bahwa saat hanya ada mereka berdua dalam rumah itu—dia dan sang rabbi—ia sempat merasa ketakutan. Kulitnya merinding dan bulu kuduknya berdiri. Masalah: berduaan dengan sang rabbi di saat pelaksanaan Doa Tobat! Tetapi bangsa Litvak adalah bangsa yang keras kepala. Maka orang Litvak itu gemetar sesaat, namun tak bergerak dari sana.)
Akhirnya, sang rabbi—terpujilah dia!—bangkit. Hal pertama yang dilakukan sang rabbi adalah menyelesaikan semua ritual doa pagi. Lantas ia membuka lemari baju dan mengeluarkan setumpuk baju petani: celana kain, sepatu bot tinggi, jaket, topi lebar dan sebuah ikat pinggang kulit yang dihiasi dengan sederetan paku yang terbuat dari bahan kuningan. Sang rabbi pun bersiap-siap. Dari saku jaketnya menggantung seutas tali milik seorang petani.
Sang rabbi melangkah keluar rumah dan si orang Litvak pun menguntitnya.
Baru setengah jalan, sang rabbi berhenti di dapur, membungkuk dan mengambil sebentuk kapak dari ranjang. Ia menyelipkan gagang kapak di belakang ikat pinggangnya—lalu pergi keluar rumah. Si orang Litvak menunjukkan ekspresi ngeri, namun tidak berhenti.
Di jalan-jalan kota terdengar desahan serta bisikan warga menyambut datangnya Hari Besar. Sesekali juga terdengar pecahnya tangisan dari suatu pertemuan doa yang tengah membaca bait-bait Doa Tobat, dan yang datangnya dari ranjang orang sekarat. Sang rabbi berjalan di tepi trotoar agar tersembunyi dalam bayang-bayang deretan rumah warga. Ia melangkah dengan hati-hati sekali; namun si orang Litvak tak perduli. Kini detak jantungnya mulai berbaur dengan suara langkah kaki sang rabbi. Dan si orang Litvak terus mengikuti sang rabbi sampai tiba di daerah pinggiran kota.
Tidak jauh dari sana ada sebuah hutan kecil.
Sang rabbi—terpujilah dia!—pergi dan masuk ke dalam hutan. Ia mengambil sekitar tiga atau empat puluh langkah ke dalam hutan dan berhenti di hadapan sebatang pohon kecil. Si orang Litvak, antara bingung dan takjub, menatap nanar saat sang rabbi mengambil sebentuk kapak dari balik ikat pinggang dan menyerang batang pohon itu. Lalu ia mendengar suara pohon yang berderak hingga akhirnya terjatuh. BEDEBUM! Sang rabbi membelah kayu hingga mengecil jadi batangan, kemudian membelahnya lagi jadi potongan kayu bakar. Setelah itu, ia mengikat potongan-potongan kayu tersebut dengan tali yang dibawanya dalam saku. Sang rabbi menggotong muatannya di punggung, menyelipkan kapaknya di sabuk, dan berjalan kaki kembali ke arah kota.
Tak lama, sang rabbi menghentikan langkahnya di sebuah jalan kecil, tepat di samping sebentuk gubuk sederhana dan mengetuk di jendela.
“Siapa di situ?” terdengar suara yang dibalut rasa takut. Orang Litvak itu mengenali suara tersebut sebagai milik seorang wanita Yahudi yang tengah sakit keras.
“Saya,” jawab sang rabbi dengan aksen seorang petani.
“Saya siapa?”
Sang rabbi kembali menjawab dalam bahasa Rusia. “Vassil.”
“Siapa itu Vassil, dan apa yang kau inginkan?”
“Saya ingin menjual kayu dengan harga sangat murah.”
Tanpa menunggu balasan wanita itu, sang rabbi masuk ke dalam gubuk tersebut.
Orang Litvak itu pun ikut masuk di belakang sang rabbi. Di tengah cahaya subuh yang keabuan, ia melihat kondisi dalam gubuk yang menyedihkan, diisi oleh perabotan usang. Seorang wanita yang tengah sakit keras terbaring di atas ranjang, terbalut kain usang yang berfungsi sebagai selimut.
Wanita itu mengeluh: “Beli? Mana mungkin saya mampu membeli kayu? Seorang janda miskin seperti saya mau dapat uang dari mana?”
“Saya akan meminjamkannya padamu,” jawab sang rabbi yang mengaku bernama Vassil. “Harganya hanya enam sen saja.”
“Lantas bagaimana saya akan membayar hutang saya padamu?” tanya wanita itu sambil mengerang kesakitan.
“Jangan bodoh,” kata sang rabbi penuh belas kasih. “Kau adalah orang miskin yang tengah sakit keras, namun saya siap untuk mempercayakan kau dengan sedikit kayu bakar yang saya tebang sendiri. Saya yakin kau bisa membayarnya suatu hari nanti. Sedangkan kau memiliki Tuhan yang maha kuasa dan maha besar, tapi sulit mempercayakan enam sen saja kepada-Nya.”
“Siapa nanti yang akan menyalakan api?” tanya si janda. “Saya tidak kuat bangun dari ranjang. Anak saya juga sedang bekerja.”
“Biar saya yang menyalakan apinya,” jawab sang rabbi.
Sambil meletakkan potongan kayu ke dalam oven milik si janda, sang rabbi pun membacakan bait pertama dari Doa Tobat.
Lalu ia menyulut api ke atas kayu-kayu itu dan membiarkan kobarannya merajalela di dalam oven. Di tengah semua ini, sang rabbi membacakan bait kedua dari Doa Tobat. Begitu api telah berkobar dengan lancar, ia pun membacakan bait ke-tiga—kemudian menutup oven tersebut.
Si orang Litvak yang melihat semua kejadian ini akhirnya memutuskan untuk jadi jemaat sang rabbi.
Dan di masa mendatang, saat ada jemaat lain yang bercerita tentang bagaimana seorang rabbi dari kota Nemirov diangkat ke surga setiap kali pelaksanaan Doa Tobat dimulai, si orang Litvak tidak tertawa. Dia hanya menambahkan: “Mungkin lebih tinggi dari surga.” FL
2012 © Fiksi Lotus dan Isaac Leib Peretz. Tidak untuk digandakan, dijual ataupun ditukar.
—————————
# KETERANGAN:
(*) Dalam kepercayaan agama Yahudi—Judaisme—sebelum Hari Besar (Days of Awe) ada periode 10 hari untuk mengaku dosa yang disebut sebagai periode pelaksanaan Doa Tobat (Ten Days of Penitence). Dan selama 10 hari ini, dipercayai bahwa para rabbi naik ke surga untuk membela manusia di hadapan Tuhan, agar manusia diampuni atas dosa-dosanya.
(1) Kota Nemirov atau yang dikenal dengan Nemyriv merupakan sebuah kota bersejarah di Provinsi Vinnytsia Oblast di Ukrania Barat. Sebelum terjadinya Perang Dunia ke-II, kota ini sempat memiliki populasi masyarakat Yahudi yang cukup besar.
(2) Litvak adalah istilah yang mengacu pada orang-orang Yahudi asal negara-negara kesatuan Lithuania (sekarang dikenal sebagai Belarusia, Ukrania, Lithuania, serta daerah timur tenggara Polandia). Istilah ini juga digunakan untuk menjabarkan masyarakat Yahudi Ortodoks yang mengadopsi gaya hidup bangsa Lithuania.
(3) Talmud adalah teks atau kitab suci utama yang digunakan oleh bangsa Yahudi yang mencakup aspek-aspek ajaran Judaisme, hukum bermasyarakat, serta etika, filosofi, budaya dan sejarah bangsa.
(4) Kitab Talmud dibagi menjadi dua bagian: Mishnah dan Gamara.
#CATATAN:
> Kisah ini bertajuk “Oyb Nit Hekher” (“If Not Higher”—Eng.) karya ISAAC LEIB PERETZ dan pertama kali diterbitkan pada periode 1880an.
>> ISAAC LEIB PERETZ (atau I.L. Peretz) adalah seorang penulis berkebangsaan Yahudi yang lahir di kota kecil Zamosc, Polandia pada tahun 1851. Puisi dan cerita-cerita pendeknya dianggap sebagai karya sastra yang memperkaya kebudayaan Yahudi. Tema-tema yang digarapnya antara lain: pengorbanan diri, kearifan, kemurnian jiwa dan kerendahan hati. Ia juga dianggap sebagai satu dari tiga pelopor sastra Yahudi modern.
# POIN DISKUSI:
senang sekali bisa baca cerita bertema semacam ini. Saya mau ikut diskusi tapi susah sekali menjawab semua pertanyaannya. hehe
Tertarik dengan paragraf ke-3.
“Mereka ingin jadi orang yang baik dan teladan, namun dosa kami terlalu besar, dan Iblis selalu mengawasi bumi dengan seribu mata tersebar dari ujung ke ujung. Apapun yang dilihat Iblis, akan dilaporkan; disangkal, diinformasikan. Siapa yang bisa menolong kami kalau bukan sang rabbi!”. Saya merasa Peretz mencoba memaparkan kondisi kaum yahudi saat itu. Bahwa orang yahudi ingin hidup nyaman dan berbuat baik, tapi seakan semua penghuni dunia yang lain (yang digambarkan sebagai iblis bermata seribu) sangat memperhatikan gerak-gerik mereka dengan ketidaksukaan. Dan di bagian ini saya merasa Peretz ingin mengatakan kaum yahudi banyak difitnah. Terlebih lagi pada tahun sekitar 1880an kaum yahudi di eropa mulai terusir ke arab dan AS.
Hanya bisa berkomentar itu saja. Sisanya dari cerita ini mungkin lebih banyak bisa dilihat dari pesan moralnya.
mau tanya. Kalau Peretz ini teknik penulisan dia seperti apa y?
tx FS..
P.S. maaf kl terkesan sok tahu. masih belajar tentang cerita fiksi. 😀
SukaSuka
Hai Kunto,
Terima kasih atas kunjungannya ke Fiksi Lotus 🙂 Kami di Fiksi Lotus sangat mendukung pendapat/masukkan pembaca terhadap posting cerita/tips/wawancara di situs ini — jadi tidak perlu takut terkesan sok tahu, karena di sini kita semua dianjurkan belajar lewat diskusi dengan satu sama lain 🙂 Semakin banyak pendapatnya, semakin baik! Semakin aktif, juga semakin baik! 🙂 Jadi jangan sungkan yaa 🙂
Menurutku teknik Peretz masih mengikuti standar cerpen di masa itu yang mengangkat faktor moralisme dan religi — tapi selain itu, ia juga melakukannya karena kehidupan itu sangat dekat dengannya sebagai bagian dari komunitas warga Yahudi yang tersingkir. Karya ini menonjol karena ia berhasil mengangkat sudut pandang yang berbeda lewat karakter si orang Litvak. Di tangan penulis amatir, cerita ini akan terkesan menggurui, bahkan membosankan — namun di tangan Peretz cerita ini jadi penuh intrik dengan substansi yang sangat padat. Itu kehebatan dia 🙂
SukaSuka
Judulnya menarik, hal pertama yang membuat saya tertarik membaca cerita ini. Saya pengen ikutan diskusi tapi saya gak punya cukup kemampuan. Sebenarnya jenis cerita ini adalah cerita ‘pasaran’, akan tetapi Peretz dengan anggunnya membuat cerita ini jadi berbobot. Ide yang sudah biasa diubah dengan tidak biasa dengan tata bahasanya yang apik. Saya suka bagian akhir cerita: “Dan di masa mendatang, saat ada jemaat lain yang bercerita tentang bagaimana seorang rabbi dari kota Nemirov diangkat ke surga setiap kali pelaksanaan Doa Tobat dimulai, si orang Litvak tidak tertawa. Dia hanya menambahkan: “Mungkin lebih tinggi dari
surga.””
SukaSuka
Hai Putri,
Terima kasih atas komentar + partisipasinya. Ini juga sudah ikut poin diskusi namanya 🙂 Jangan merendahkan kemampuan kamu — untuk berdiskusi hanya diperlukan pikiran terbuka saja, dan dari komentar di atas kamu sudah menunjukkan bahwa kamu lebih dari pantas untuk mengikuti poin diskusi. Ditunggu komentar2 lainnya ya 🙂
SukaSuka
Love it 🙂 Menurutku dari judulnya ‘Antara Surga, Dunia, dan Iblis Bermata Seribu’, cerita ini mengisahkan bahwa tiada batas antara surga, dunia, dan iblis. Dengan kata lain, surga dan iblis berada di dunia yang sama. Mau jadi pengikut yang mana; jadi surga (berbuat kebaikan) atau;jadi iblis (hanya bisa mencemooh orang lain), sepertinya itu yang dijadikan bahan diskusi oleh penulis.
Soal simbol yang kutangkap diantaranya: ‘Surga’ (sebagai hal mutlak yang sangat tinggi sampai dijadikan patokan sebuah kalimat “Mungkin lebih tinggi dari
surga.”), iblis bermata seribu (hal2 dalam diri kita yang selalu saja menghalangi kita utk berbuat baik), kayu bakar (sebagai bentuk uluran tangan/bantuan yang akan selalu datang kalau kita percaya), utang enam sen (simbol masalah yang selalu bisa diselesaikan).
Lalu Soal pengaruh terhadap “membentuk persepsi iman dan hidup bermasyarakat bangsa Yahudi.” –> No idea. Tapi menarik, apakah itu? hehe.
SukaSuka
Hi Faye! Love the comment! Aku setuju dengan poin-poin kamu; dan simbol ‘surga’ sebagai hal mutlak juga aku tangkap sebagai sindiran, di mana orang2 yang mengaku beriman (dan percaya terhadap surga) justru banyak yang penuh prasangka; oleh sebab itu orang2 yang benar2 kuat imannya, seperti sang Rabbi, tentunya mendapatkan pengakuan di atas itu. Mengenai pengaruh persepsi iman, menurutku lebih mengacu kepada cara I.L Peretz menggunakan ‘cara hidup’ masyarakat Yahudi sebagai ‘kendaraan’ untuk mengutarakan pesannya. Komen lagi dong! :))) *kok nagih*
SukaSuka