Jimmy

Rieke Saraswati

Salju mulai turun di Manhattan.

Jimmy sibuk berkutat dengan gumpalan kapas. Hidungnya mimisan. Di sebelahnya, Tao, teman sekamarnya, sedang membaca novel sambil mengoceh pelan—entah kepada siapa.

“Apa sih yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanya Tao, berhenti sejenak dari bacaannya.

“Semua ini gara-gara May,” rengek Jimmy. Kapas-kapas itu terlihat menutupi dua lubang hidungnya, sehingga membuat suaranya terdengar agak bengek.

Tao meletakkan bukunya di atas meja nakas samping ranjang. “Sudahlah!” Tao memutar bola matanya. “Tidur sana!”

Jimmy tiba-tiba naik ke atas tempat tidur teman sekamarnya, menimpuk, dan membekam kepala Tao dengan bantal. Tao mencengkeram lengan Jimmy kuat-kuat sehingga Jimmy terjatuh ke lantai.

Tao membentaknya setelah berhasil menumpas bantal itu. “Kenapa sih kamu?”

Jimmy terbahak. Ia beranjak dan mengambil minuman di kulkas di samping lemari pakaian.

“Katakan padaku sekarang,” desak Tao. “Kamu ke mana saja selama tiga minggu itu?”

“Kamu benar-benar ingin tahu?” Jimmy rebahan di kasur sembari memeluk boneka pandanya. Boneka itu merupakan kado dari May saat ia berulang tahun yang ke-27. Sekarang, boneka itu buta dan kumal. Bola matanya hilang satu, sementara bola mata kirinya gosong. Jimmy pernah mencoblosnya dengan filter rokok saat ia marah.

“Iya,” jawab Tao. “Kusangka kamu mau ikut-ikutan kabur seperti May.”

“Aku tidak segila itu,” protes Jimmy. “Kemarin aku berkeliling Jepang dan Afrika.” Ia menaruh boneka panda itu kembali ke tempat asalnya, lalu meraih buku milik Tao, memandang sederetan huruf yang tak berarti untuknya.

“Benarkah?” Tao melongo.

“Ya, tiket kudapat dari uang curian,” ungkap Jimmy. “Tolong jangan bilang siapa-siapa.”

Pacar Jimmy, May, lenyap sejak tujuh bulan lalu. Beberapa hari sebelum menghilang, mereka sempat bertengkar hebat di jalan.

Jimmy lantas merancang selebaran, cara yang menurut Tao sangat ketinggalan zaman untuk krisis semacam ini, di beberapa titik kota. Jimmy berdalih kalau internet tidak pernah berguna, kecuali untuk chatting dengan orang-orang yang tak ia kenal dan tak begitu ia pedulikan, juga membuka situs porno. Di bawah selebaran, Jimmy mencantumkan imbalan $10.000 bagi siapa saja yang dapat menemukan May. Tao bilang Jimmy sinting karena ia tahu teman sekamarnya tak punya uang sebanyak itu. Jimmy bilang ia akan bekerja rangkap. Salesman di siang hari, stripper di malam hari.

“Kamu memang bodoh!” kata Tao. “Kamu sudah kehilangan pacarmu, dan sekarang kamu bisa kehilangan pekerjaanmu.”

“May selalu ingin pergi ke Jepang dan Afrika,” gumam Jimmy. Matanya terpaku ke langit-langit kamar.

“Tapi kamu tak perlu merampok demi mencari May.”

Jimmy melempar Tao dengan bantal lagi. Kali ini lebih bertenaga. Ia kemudian turun ke lantai bawah dan menuju toko sebelah. Ia ingin menghadiahkan teman ngobrol bagi si boneka panda, membeli Garfield atau X-Men. Ia berpikir, bila ia tak cukup baik untuk merawat dan membahagiakan May, setidaknya ia cukup baik untuk menjaga boneka pemberian May.

2011 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Rieke Saraswati. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.

________________________

# CATATAN:

> Cerpen ini merupakan bagian dari workshop Lotus Creative: Periode I, belum pernah diterbitkan di media massa sebelumnya. Ditulis oleh Rieke Saraswati.

>> RIEKE SARASWATI adalah seorang jurnalis dan penulis muda yang berbasis di Jakarta dan sekarang ini bekerja di media populer, MARIE CLAIRE Indonesia. Cerita pendeknya pernah dimuat di media massa lokal sebelumnya. Kini ia tengah berencana melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2.

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

4 Comment on “Jimmy

Tinggalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: