Lori Ostlund adalah seorang penulis cerita pendek asal Amerika Serikat. Buku kumpulan cerita pendek pertamanya, The Bigness of the World, dielu-elukan sebagai kumpulan cerita pendek yang memukau. Buku tersebut juga telah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi, termasuk salah satu di antaranya California Book Award sebagai buku terbaik tahun 2009. Berikut perbincangan Fiksi Lotus dengan Lori Ostlund di awal tahun ini. Selamat membaca!
__________________________
Fiksi Lotus: Periode renaissance untuk fiksi pendek (seperti di tahun 1920, 1950, dan 1970) baik di US maupun di belahan dunia lain tampak selalu datang dan pergi. Namun di abad ke-21 ini fiksi pendek seolah mengasumsi peran baru bagi para pembacanya. Menurut Anda, apa hal ini disebabkan oleh respon pembaca yang lebih baik terhadap fiksi pendek selama satu dekade belakangan ini dibandingkan dengan tahun 1980an dan 1990an?
Lori Ostlund: Menurut saya, ada beberapa alasan untuk menjelaskan ketertarikan orang terhadap fiksi pendek. Pertama, format fiksi pendek sekarang menjurus ke arah fiksi kilat atau fiksi mini – karya-karya yang bisa dikerjakan cepat dan lebih mudah diterbitkan di jurnal-jurnal sastra. Tapi tidak semua penulis cerita pendek bisa menghasilkan materi layak baca dalam waktu singkat. Saya juga melihat bahwa semakin banyak penulis yang menghabiskan waktu sedikit saja dengan karyanya—dan ini sangat disayangkan. Proses menulis saat ini diidentikkan dengan hal yang praktis dan transitori, sebagian karena akses teknologi yang semakin marak, seperti blog, dan karenanya semakin banyak penulis tidak memperdulikan craft dari penulisan sebuah cerita. Sebenarnya, semakin cepat waktu yang diluangkan untuk menulis sebuah cerita, semakin pendek juga jangka ‘hidup’ cerita tersebut di mata pembaca. Selain itu, saya agak was-was dengan cerita-cerita yang menanamkan pesan politik dengan blak-blakan. Yang lebih sering terjadi apabila pendekatan politik diambil adalah karya-karya yang dihasilkan condong bersifat seperti propaganda—dengan karakter-karakter dua dimensi serta plot yang kaku. Keindahan bahasa serta alur cerita spontan akhirnya diredam oleh pesan politik.
Karakter dalam cerita harus didahulukan sebelum plot dan pesan cerita. Aksi karakter harus bisa mengejutkan penulis dan pembaca. Karakter adalah roda cerita, dan jika mereka ‘disetir’ untuk memenuhi tuntutan plot atau pesan si penulis, maka kualitas karya yang dihasilkan juga akan berkurang.
Namun, kembali pada pertanyaan awal bahwa apakah respon pembaca lebih baik terhadap cerita pendek, saya rasa itu tergantung dari beberapa variabel, seperti apa yang dicari orang saat membaca fiksi, dan segmen pembaca itu sendiri. Saya mengajar kelas Story Writing di sebuah fakultas seni, dan sebagai panduan saya menggunakan buku antologi The Best American Short Stories. Siswa-siswi saya berusia awal 20an dan mereka tidak begitu mengerti peran cerita pendek. Meskipun kami membaca karya-karya penulis ternama, seperti Raymond Carver, tapi yang paling menarik bagi siswa-siswi saya adalah isi cerita dalam antologi tadi; mereka bahkan tidak menyangka ada banyak cerita pendek yang mengungkapkan isu-isu yang mereka hadapi sehari-hari, seperti seks, hubungan personal, sekolah; juga isu-isu yang lebih besar.
FL: Anda adalah salah satu penulis yang berhasil menarik perhatian pembaca kepada format cerita pendek. Nah, sebagai pembaca, bagaimana format cerita pendek berubah dalam beberapa dekade ini? Dan apa yang biasanya Anda cari dari cerita pendek?
LO: Banyak cerita pendek yang diterbitkan saat ini ditulis dengan terburu-buru, atau secara khusus didesain untuk memenuhi tuntutan plot—dan saya sangat menyayangkan hal ini karena jiwa sebuah cerita ada pada rangkaian kalimat di dalamnya. Para penulis harus bisa mengasah penggunaan bahasa mereka, dan ini yang biasanya saya perhatikan saat membaca sebuah cerita. Kualitas lain yang saya cari adalah kemampuan penulis untuk mengobservasi dunia dengan cara yang fresh dan baru dan membuat saya berpikir,”Ah, benar juga ya. Terima kasih karena telah membuka mata saya akan hal tersebut.” Sebagai pembaca, saya sangat menyukai momen-momen seperti itu. Saya juga suka tulisan yang bisa membaurkan unsur-unsur humor dan pathos, yang bisa membuat pembaca tersenyum, membuat mereka melihat dunia dengan cara baru. Saya juga suka karya yang agak gelap, namun bisa mendemonstrasikan kemanusiaan.
FL: Sebagai penulis dan pembaca cerita pendek, apakah menurut Anda cerita pendek akan habis masa jualnya? Tidak laku lagi?
LO: Sejumlah besar pembaca begitu sibuk dalam hidupnya hingga terpaksa memuaskan hasrat mereka untuk membaca dengan beralih pada cerita pendek. Selain itu, sekarang ini jurnal-jurnal yang membuka diri untuk menerbitkan cerita pendek juga semakin menjamur. Namun, penerbit condong menerbitkan novel ketimbang cerita pendek; karena itu kita melihat banyak sekali penulis cerita pendek yang diminta menghasilkan novel. Tapi sebagian besar orang tidak mengerti bahwa novel dan cerita pendek adalah dua format yang sangat berbeda. Orang pikir penulis cerpen bisa dengan mudah menghasilkan novel karena sama-sama menulis. Tapi tidak begitu pada kenyataannya. Beberapa penulis memang handal menulis cerita pendek, sementara penulis lain handal menulis novel; ada beberapa yang bisa melakukan keduanya, tapi tidak semua. Saya seorang perfeksionis, dan hal ini lumayan menghambat saat saya menulis novel. Selain itu, pembaca juga punya preferens mereka sendiri. Merek tidak melulu memilih untuk membaca novel. Saya salah satunya. Saya senang membaca puisi dan novel; tapi hati saya akan selalu lari ke arah cerita pendek. Saya sungguh bersyukur terhadap banyaknya koleksi fiksi pendek yang diterbitkan belakangan ini. Saya berharap semakin banyak akan diterbitkan.
2010 © Hak cipta Fiksi Lotus dan Lori Ostlund. Tidak untuk diperjual-belikan, ditukar, ataupun digandakan.
adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.
Keren. Kalo di Indonesia, gairah penerbitan cerpen juga masih terkatung-katung juga kan? 🙂 Semoga cerpen tetap jaya dalam masa apapun! 🙂
SukaSuka
Hi Lana. Benar, justru kebalikan dengan tren di negara-negara lain, dunia cerpen di Indonesia memang bisa dibilang masih kurang perkembangannya. Tapi dengan adanya outlet-outlet baru di sejumlah publikasi, cerpenis lokal jadi bisa menyalurkan talenta mereka. Mungkin saat ini perkembangannya sedang diusahakan oleh berbagai pihak yang bersangkutan. Mudah-mudahan begitu. Terima kasih sudah mampir di Fiksi Lotus ya :)Hidup cerpen! 😀
SukaSuka
Dan ditunggu terjemahan karya Maile Meloy-nya, ya! 🙂
SukaSuka
Salam kenal Maggie! Saya membaca namamu dalam sebuah artikel yang ditulis rekan saya di Media Indonesia. Saya pun begitu menyukai dunia cerpen selaku format fiksi. Salam kenal ya, semoga bisa terus ‘bermain-main’ ke ruang kecil bagi (calon) cerpenis ini.
SukaSuka
Salam kenal McMahel! Terima kasih ya sudah mampir di Fiksi Lotus 🙂 Semoga kita bisa selalu belajar bersama tentang cerpen-cerpen dunia 🙂
SukaSuka
Sedikit promo, puji Tuhan, cerpen saya berjudul ‘Dongeng’ untuk pertama kalinya diterbitkan di Majalah Esquire Indonesia edisi Februari ini. Mudah-mudahan Maggie membaca dan menikmati. Terima kasih, Maggie untuk hadiah Fiksi Lotus untuk para penggemar cerpen Tanah Air!
SukaSuka
Wah, selamat yaaaa!! Nanti saya akan beli Esquire Indonesia ah, mau baca cerpennya. Terima kasih juga atas apresiasinya untuk Fiksi Lotus. Maju terus ya. Semoga kita bisa terus mengembangkan seni menulis cerpen di tanah air! 🙂
SukaSuka
Sama-sama, Maggie. I hope you’ll like it. Hidup cerpen!
SukaSuka
Sangat bermanfaat wawancara nya. Ditunggu pos-pos berikut nya. Terima kasih banyak Maggie.
SukaSuka
hai mbak Maggie, setiap kali saya kangen menulis.. saya membaca-baca blog ini.
pengin banget komentar saya dibales sama mbak Maggie.
🙂
SukaSuka