Edgar Allan Poe

Aku tidak pernah mengenal orang yang begitu senang terhadap lelucon seperti Sang Raja. Tampaknya, beliau hidup hanya untuk mendengar lelucon. Cara tercepat untuk mengambil hatinya adalah dengan melawak atau menuturkan lelucon dengan baik dan benar. Karena itu pula ketujuh menteri yang berada di bawah kepemimpinannya dikenal sebagai para pelawak ulung. Penampilan mereka hampir sama dengan Sang Raja yang bertubuh gemuk, besar, dengan kulit berminyak — diikuti oleh selera humor yang unik. Namun, aku tidak yakin apakah orang gemuk karena terlalu banyak melawak; atau memang pelawak gemuk cenderung lebih lucu. Hanya ada satu hal yang pasti: pelawak bertubuh kerempeng cenderung dianggap sebagai rara avis in terris (kesalahan).

Sang Raja juga tak pernah merasa keberatan bila ada pelawak yang berimprovisasi dalam mengantarkan lelucon, sesuatu yang dianggapnya sebagai ‘hantu’ lawakan. Justru sebaliknya, Sang Raja sangat megagumi lelucon yang memiliki daya tafsir luas, dan tak jarang membiarkan para pelawak berlarut-larut dalam menyampaikan lelucon mereka demi mendengar bagian akhirnya — meski lelucon yang condong terlalu ‘sopan’ justru membuatnya cepat bosan. Karena itu, Sang Raja lebih senang membaca cerita karya Rabelais* yang berjudul Gargantua ketimbang Zadig karya Voltaire**. Secara keseluruhan, Sang Raja lebih menghargai lelucon yang praktis daripada yang berbelit.

Di saat aku menceritakan ini, para pelawak masih punya pamor yang cukup besar di dalam lingkungan kerajaan. Selain itu, masih ada sejumlah wilayah dalam kerajaan tersebut yang pemerintah daerahnya menggaji beberapa orang pelawak dan mengharuskan mereka untuk mengenakan motley (kostum yang mulai dikenakan oleh para pelawak kerajaan pada masa kejayaan Ratu Elizabeth I), lengkap dengan topi dan lonceng. Para pelawak tersebut juga diharapkan untuk selalu siap melontarkan lelucon yang cerdas di hadapan siapa saja.

Raja kami pun masih menggaji pelawak favoritnya, tak lain karena ia butuh seseorang yang bisa menghibur hatinya mana kala ia dan ketujuh menterinya sibuk memikirkan urusan kerajaan yang merepotkan serta tak jarang memusingkan.

Hanya saja pelawak favoritnya itu ternyata lebih dari sekedar pelawak. Di mata Sang Raja, bentuk fisiknya yang kontet serta kondisinya yang cacat justru punya nilai tersendiri. Di masa itu, orang kontet sama berharganya dengan para pelawak; dan banyak sekali para petinggi kerajaan yang merasa kurang terhibur tanpa kehadiran keduanya — mereka butuh pelawak untuk membuat mereka tertawa, serta orang kontet untuk ditertawai. Meski begitu, menurut pengamatanku, sembilan-puluh-sembilan persen dari para pelawak yang pernah kutemui justru berbadan gemuk, berwajah bulat, dan sama sekali tidak lincah — oleh sebab itu, tidak bisa disalahkan juga apabila Sang Raja menaruh perhatian lebih terhadap Hop-Frog (nama pelawak favoritnya).

Aku yakin Hop-Frog bukan nama asli pelawak itu, melainkan julukan khusus yang diberikan oleh ketujuh menteri kerajaan karena caranya berjalan yang agak sedikit melompat, seperti kodok. Anehnya, Hop-Frog hanya bisa berjalan dengan cara melakukan kombinasi gaya jalan yang berbeda — antara melompat dan bergoyang (dan hal inilah yang menarik perhatian Sang Raja terhadapnya, selain perutnya yang buncit dan kepalanya yang peyang). Bahkan seluruh anggota kerajaan jadi lebih mudah mengenalinya karena keunikannya tersebut.

Namun walau Hop-Frog memiliki kelainan pada kakinya, yang membuat proses berjalannya sulit dan menyakitkan, hal ini justru melatih otot-otot lengannya agar lebih kuat dan membuatnya begitu lincah dalam kegiatan-kegiatan lain seperti mengayun dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya, atau dengan bantuan tali, serta memanjat apa-apa saja yang bisa dipanjant. Tentunya, kelebihan Hop-Frog dalam melakukan aktivitas tersebut sangat tidak cocok dengan nama panggilannya sebagai ‘kodok’, karena ia lebih menyerupai tupai atau monyet kecil.

Aku sendiri kurang yakin dari mana asal-usul Hop-Frog. Kalau tidak salah, ia lahir di daerah miskin yang namanya masih asing di telinga para penghuni kerajaan, jauh sekali dari istana tempat tinggal Sang Raja. Dulu, seorang Jendral yang bernaung di bawah kepemimpinan Sang Raja pernah datang ke propinsi dari mana Hop-Frog berasal dan menculiknya untuk dipersembahkan sebagai hadiah bagi Sang Raja. Dan selain Hop-Frog, sang Jendral juga menculik seorang gadis bertubuh kontet yang, untungnya, memiliki anggota tubuh berukuran proporsional — yang memungkinkannya untuk bekerja sebagai penari profesional. Gadis itu juga dipersembahkan bagi Sang Raja.

Menimbang situasi mereka yang senasib, tak heran apabila Hop-Frog dan gadis itu menjalin tali persahabatan erat. Walau persahabatan ini tidak membawakan keuntungan bagi Trippetta, si gadis kontet, namun bagi Hop-Frog justru sebaliknya. Trippetta yang cantik, anggun, dan lincah (meskipun kontet) merupakan figur yang dikagumi dan diidolakan banyak orang; oleh sebab itu dia punya pengaruh cukup besar di wilayah kerajaan, dan dia tak pernah malu-malu dalam menggunakan pengaruhya untuk menolong Hop-Frog.

Di salah satu acara kerajaan — aku lupa nama acara tersebut — Sang Raja memaksa untuk mengadakan pesta topeng. Dan setiap kali pesta topeng diadakan, maka baik Hop-Frog maupun Trippetta diharuskan tampil: khususnya Hop-Frog, karena ia memiliki banyak sekali ide menarik untuk acara-acara besar seperti pesta topeng, dengan mengusulkan karakter-karakter unik untuk dijadikan contoh, serta mengatur gaya kostum yang elegan hingga, tampaknya, tak ada satu hal pun yang bisa selesai tanpa bantuannya.

Ketika malam yang ditunggu-tunggu tiba, seluruh anggota kerajaan tampak antusias menghadiri pesta topeng yang diadakan Sang Raja. Ruang pesta didandani sedemikian rupa hingga tampil berkilauan, sementara para tamu sudah menyiapkan kostum yang akan mereka pakai. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang salah kostum, karena semua telah mempersiapkan ‘topeng’ mereka selama sebulan sebelum pesta — kecuali Sang Raja dan ketujuh menterinya. Entah kenapa mereka begitu ragu. Mungkin mereka ingin menyampaikan semacam lelucon kepada para hadirin, atau mungkin mereka kebingungan gara-gara tubuh mereka terlalu gemuk. Sayangnya, waktu terus berlalu; dan di tengah keputus-asaan mereka, Sang Raja pun memanggil Trippetta dan Hop-Frog.

Kedua orang kontet itu pun memenuhi panggilan Sang Raja dan pergi menghadap beliau. Tapi setiba mereka di sana, Sang Raja justru tengah meminum anggur bersama ketujuh menterinya, dan mood beliau juga tampaknya tidak terlalu bagus. Meski ia tahu Hop-Frog tidak suka minum anggur (karena ia peminum yang cepat mabuk), Sang Raja tetap menyuguhkan minuman tersebut.

Lebih parah lagi, Sang Raja memaksa Hop-Frog untuk meminum anggur suguhannya, seraya berkata, “Supaya kau selalu senang.”

“Kemarilah, Hop-Frog,” ujar Sang Raja saat si pelawak dan kawan wanitanya tiba di dalam ruangan. “Minum anggur ini untuk menyulangi kesehatan teman-temanmu (di sini Hop-Frog mendesah sedih) dan semoga kami dapat menggunakan ide-idemu malam ini. Kami ingin karakter unik, yang luar biasa, untuk kami jadikan topeng. Kami tidak mau disamakan dengan para tamu lain. Ayo, minum! Anggur ini akan membuat lawakanmu semakin lucu.”

Seperti biasa, Hop-Frog berusaha untuk membalas ajakan Sang Raja dengan lelucon. Tapi kali ini ia tak kuasa menahan diri untuk mengambil gelas anggur dari tangan Sang Raja. Kebetulan hari ini adalah hari ulang tahunnya, dan ketika Sang Raja menyiggung perihal ‘teman-temannya’, ia mendadak merasa sedih dan melankolis. Matanya berkaca-kaca mengingat teman-teman di kampung halamannya. Tetes air matanya jatuh satu per satu ke dalam gelas anggur.

“Ah! ha! ha!” gema tawa Sang Raja terdengar menggelegar sementara Hop-Frog berusaha menghabiskan anggurnya. “Coba lihat manfaat segelas anggur! Nah, matamu sudah berkilauan, kan!”

Kasihan sekali pelawak itu! Sinar matanya bukan berkilauan, justru malah semakin tumpul; karena efek anggur pada otaknya bekerja sangat cepat, bahkan bisa dibilang instan. Ketika Hop-Frog meletakkan gelas anggurnya di atas meja, seraya melempar tatapan aneh ke sekeliling ruangan, semua orang di dalam ruangan itu (kecuali Trippetta) menertawainya, seolah mengakui kemahiran Sang Raja dalam menyusun lelucon.

“Mari kembali ke permasalahan kita,” kata si perdana menteri, seorang pria yang sangat gemuk.

“Ya,” balas Sang Raja. “Bantulah kami. Kami semua butuh karakter unik — ha! ha! ha!” Tawa Sang Raja kembali menggema, diikuti oleh tawa ketujuh menterinya.

Hop-Frog juga tertawa, meski tidak terlalu keras.

“Ayo, ayo,” kata Sang Raja, tak sabar. “Mana idemu?”

“Saya sedang mencoba memikirkan sesuatu yang luar biasa,” balas Hop-Frog asal-asalan, karena ia sudah mabuk.

“Mencoba!” teriak Sang Raja lantang. “Apa maksudmu dengan mencoba? Ah, aku tahu. Kau pasti perlu minum lebih banyak. Ayo, minum ini!” Dengan itu, Sang Raja pun menuangkan segelas penuh anggur sebelum menawarkannya kepada Hop-Frog yang kontan menatap bisu seraya menarik napas panjang.

“Ayo, minum!” perintah monster ningrat tersebut. “Atau kau akan —”

Hop-Frog ragu. Wajah Sang Raja berubah keunguan memendam amarah. Para menteri mengerutkan dahi. Trippetta yang wajahnya kian memucat segera menghampiri Sang Raja dan jatuh berlutut, memohon agar temannya diampuni.

Melihat ini, Sang Raja pun menatap si gadis kontet dengan takjub. Beliau terkesima akan kelancangan Trippetta hingga ia tidak tahu harus berkata apa — atau bagaimana ia bisa menyampaikan keberatannya atas perilaku gadis kontet itu. Pada akhirnya, tanpa berkata apa-apa, Sang Raja mendorong Trippetta agar menjauh sebelum menumpahkan isi gelas ke atas wajah gadis kontent itu.

Trippeta berusaha bangkit berdiri tanpa mengeluarkan desahan sekecil apapun, sebelum akhirnya ia kembali ke posisinya semula di kaki meja. Selama setengah menit setelah itu suasana ruangan seakan terbungkus oleh kesunyian, di mana suara jatuhnya selembar daun, atau bulu angsa, ke atas lantai bukan tidak mungkin terdengar lantang. Tapi kemudian yang terdengar justru suara gesekan yang kasar dan memekakkan telinga, yang datangnya seolah dari setiap sudut ruangan.

“Su – su – suara apa yang kau buat barusan?” tuntut Sang Raja kepada Hop-Frog.

Si Pelawak yang kini sudah mulai sadar dari mabuknya tampak terkejut mendengar tuduhan Sang Raja.

“Saya? Mana mungkin?”

“Suara itu sepertinya datang dari luar,” kata salah satu menteri. “Mungkin ada seekor burung beo di tepi jendela yang sedang menggesek paruhnya pada jeruji sarangnya.”

“Betul juga,” balas Sang Raja, mendadak lega. “Tapi aku berani bersumpah suara tadi terdengar seperti gesekan gigi orang kontet sial ini.”

Sekonyong-konyong Hop-Frog tertawa (Sang Raja menetapkan bahwa seorang pelawak tidak boleh keberatan jika diledek atau disinggung) dan menunjukkan sederetan gigi besar, kuat namun buruk rupa. Lebih dari itu, ia juga mengatakan bahwa ia bersedia apabila diminta untuk meminum anggur sebanyak apapun oleh Sang Raja. Mendengar hal ini, Sang Raja mondar-mandir. Setelah menggak segelas anggur, Hop-Frog pun segera menuangkan idenya untuk pesta topeng yang akan berlangsung.

“Saya tidak tahu bagaimana saya mendapatkan ide ini,” kata Hop-Frog dengan nada tenang, seakan ia belum pernah merasakan anggur seumur hidupnya. “Tapi setelah Baginda mendorong gadis kontet itu dan menumpahkan anggur di wajahnya — tepat setelah Baginda melakukan perbuatan tersebut, dan ketika terdengar suara burung beo di luar jendela, saya jadi terpikir sesuatu. Ini salah satu lelucon dari propinsi saya, sangat digemari oleh rakyat yang menghadiri pesta topeng kami; tapi di pesta Baginda tentunya ide ini termasuk baru. Sayangnya, aksi ini memerlukan delapan orang untuk—”

“Lho, kami sudah lengkap!” teriak Sang Raja, yang tertawa lepas saat menyadari kebenaran komentarnya sendiri. “Ada delapan orang pas — aku dan para menteriku. Ayo! Permainan apa yang dalam benakmu?”

“Kami menamakannya Delapan Orangutan,” ujar si pelawak. “Dan permainan ini sungguh luar biasa seru jika diperagakan dengan benar.”

“Kami akan memperagakannya,” kata Sang Raja sambil menegakkan tubuh dan merendahkan kelopak matanya.

“Keindahan permainan ini adalah,” lanjut Hop-Frog. “Para wanita akan ketakutan.”

“Mantap!” seru Sang Raja bersama ketujuh menterinya.

“Saya akan mendandani kalian sebagai orangutan,” lanjut si kurcaci. “Serahkan semuanya pada saya. Saya akan membuat sosok kalian menyerupai orangutan hingga para tamu pesta topeng menyangka kalau kalian hewan sungguhan — dan tentunya mereka akan kaget setengah mati.”

“Oh, hebat sekali idemu!” ujar Sang Raja. “Hop-Frog! Aku akan mengangkat derajatmu!”

“Kalian harus menggunakan rantai dan menggoyangkan rantai itu,” tutur Hop-Frog. “Karena dalam skenario ini kalian akan pura-pura memerankan delapan orangutan yang baru saja kabur dari kandang hewan beramai-ramai. Baginda pasti senang melihat reaksi para tamu saat delapan orangutan yang kalian perankan, yang dianggap sungguhan oleh mereka, mendadak masuk ke dalam ruang pesta seraya mengeluarkan teriakan buas. Baginda takkan kecewa!”

“Tentu saja,” cetus Sang Raja; dan para menteri segera bangkit dari kursi mereka (karena hari sudah semakin larut) guna menjalankan rencana Hop-Frog.

Perlengkapan yang digunakan Hop-Frog untuk mendandani Sang Raja dan ketujuh menteri sebagai orangutan sangat sederhana, namun efektif untuk menghadirkan kesan yang diinginkan. Terlebih karena mahluk ini jarang sekali ditemukan di belahan dunia barat; dan interpretasi Hop-Frog terhadap kera besar itu justru menyerupai monster buruk rupa — dengan harapan semua orang akan percaya bahwa delapan individu tersebut memang benar sekelompok orangutan.

Sang Raja dan ketujuh menterinya segera dibalut dengan kaus dan celana jejaring yang ketat, lalu dibalur dengan ter. Setelah itu, beberapa anggota menteri mengusulkan agar mereka menempel bulu-bulu angsa di sekujur tubuh mereka; tapi usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Hop-Frog, yang mendemonstrasikan bahwa bulu orangutan lumrahnya memiliki tekstur lebih kasar, dan karenanya lebih baik diimitasikan dengan mantel berbulu. Akhirnya mereka pun setuju untuk menggunakan mantel itu demi menipu para tamu pesta yang kini tengah asyik menikmati kemeriahan di dalam istana.

Tak lama, Hop-Frog menyediakan sebuah rantai panjang untuk mengikat ke-delapan orangutan tersebut. Pertama, ia melingkarkan rantai itu di sekeliling pingang Sang Raja dan mengikatnya seerat mungkin, lalu secara berurutan melakukan hal yang sama kepada ketujuh menteri yang tak sabar menunjukkan karakter mereka di tengah pesta. Begitu tubuh mereka telah diikat rantai, Hop-Frog mengusulkan agar ke-delapan orangutan itu berdiri agak berjauhan antara satu dengan yang lain dan membentuk ligkaran. Lalu, agar tampak lebih meyakinkan, Hop-Frog mengambil sisa rantai dan menyilangkannya di antara ke-delapan individu yang kini tak dapat bergerak. Metode ini juga diaplikasikan oleh para pemburu yang biasa menangkap Simpanse, atau kera besar lainnya, di Pulau Borneo.

Ruang besar tempat pesta diadakan berbentuk lingkaran dengan langit-langit menjulang tinggi. Ruangan itu memiliki satu jendela di langit-langit, dari mana sinar matahari terpancar jelas di siang dan sore hari. Di malam hari, ruangan tersebut diterangkan oleh cahaya lampu gantung, yang bisa menghasilkan beragam efek sesuai dengan posisinya di bawah langit-langit ruangan. Biasanya, lampu itu diseimbangkan agar kemilau cahayanya terbias keluar jendela.

Pengaturan ruangan telah diserahkan kepada Trippetta, yang justru mengandalkan penilaian Hop-Frog dalam hal ini. Hop-Frog usul agar ia memindahkan lampu gantung itu dari dalam ruangan khusus untuk acara pesta tersebut. Alasannya, lampu gantung yang cahayanya berasal dari susunan lilin bukan tak mungkin malah mengganggu jalannya pesta — bagaimana kalau tetesan lilin berjatuhan di atas kepala tamu dan menodai kostum mereka yang mahal?

Malam itu udara berhembus hangat, maka sulit bagi siapapun untuk mencegah bencana tersebut. Apalagi mengingat bentuk ruangan yang melingkar, di mana semua orang yang berada di dalamnya takkan lepas dari naungan lampu gantung di langit-langit.

Hop-Frog memerintahkan Trippetta untuk menambah obor api di berbagai sisi ruangan, jauh dari para tamu, termasuk sebatang obor pengharum ruangan. Obor-obor itu diletakkan di tangan kanan setiap patung Caryatides*** yang berdiri memunggungi dinding — sekitar lima sampai enam puluh batang.

Ke-delapan orangutan menunggu sampai tengah malam sebelum memutuskan untuk menunjukkan diri kepada para tamu pesta. Ini adalah usulan Hop-Frog, yang mengatakan bahwa tentunya kehadiran mereka akan jauh lebih memuaskan apabila semua tamu pesta telah datang.

Namun, karena tak sabar, begitu jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam, delapan orang itu terburu-buru berlari keluar dari ruangan tempat mereka bersembunyi semalaman menuju ruang pesta. Karena terikat oleh rantai, maka langkah mereka pun tersendat; dan saat tiba di dalam ruang pesta, mereka jatuh terpuruk bersama-sama.

Para tamu terhenyak melihat kedatangan delapan orang itu, dan mendadak hati Sang Raja pun dipenuhi kegelian tak terhingga. Seperti dugaan Hop-Frog, para tamu benar-benar menyangka ke-delapan individu yang terpuruk di lantai ruangan itu adalah mahluk liar nan ganas.

Banyak wanita yang pingsan karena takut; dan kalau saja Sang Raja tidak memerintahkan para prajuritnya untuk menyita semua senjata dari dalam ruangan tersebut, tentunya sekarang mereka sudah bermandikan darah.

Sesuai perkiraan, para tamu pun berbondong-bondong melarikan diri; namun Sang Raja sudah memerintahkan prajuritnya untuk mengunci pintu ruangan begitu ia dan para menteri telah tiba di dalam. Mengikuti usul Hop-Frog, Sang Raja pun menitipkan kunci ruangan kepadanya.

Sementara seisi ruangan panik, dan masing-masing tamu hanya memperhatikan keselamatannya sendiri (dalam situasi seperti ini, bahaya terbesar justru terletak di kepanikan massal) — rantai yang biasa menggantung lampu lilin, yang telah ditarik karena lampu gantung tersebut tidak digunakan, tampak diturunkan perlahan-lahan hingga kaitnya menggantung sekitar setengah meter di atas lantai.

Tak lama kemudian, Sang Raja dan ketujuh menterinya berputar-putar di dalam ruangan hingga akhirnya terpojok di tengah-tengah, dan karenanya berada dalam wilayah mata rantai lampu gantung. Sementara mereka berada dalam posisi tersebut, Hop-Frog yang terus mengikuti langkah mereka menyarankan agar ke-delapan orangutan tersebut terus bergerak dan berpegangan pada rantai yang mengikat mereka, serta memasukkan tangan ke dalam celah rantai yang sengaja disisakan oleh Hop-Frog dengan maksud tertentu.

Dengan gesit orang kontet itu menyangkutkan kait rantai lampu gantung ke salah satu mata rantai yang mengikat sekelompok orangutan; dan sekonyong-konyong rantai lampu gantung ditarik ke atas hingga ke-delapan individu yang tercekal rantai mendadak terjerat lebih erat. Kini wajah mereka nyaris bersentuhan.

Sekarang para tamu sudah kembali tenang dan mulai melihat situasi di sekeliling mereka sebagai hiburan yang menyenangkan. Beberapa dari mereka bahkan tertawa keras melihat nasib para kera yang terjerat.

“Serahkan mereka pada saya!” teriak Hop-Frog dengan suara melengking yang bisa didengar semua orang dalam ruangan tersebut. “Serahkan mereka pada saya. Saya rasa saya kenal mereka. Tapi saya harus mengamati mereka dari dekat, agar saya bisa mengatakan kepada kalian siapa mereka.”

Menembus keramaian pesta, Hop-Frog menghampiri dinding ruangan dan mengambil obor wewangian dari salah satu patung yang menghadap ke arah para tamu. Kemudian ia melompat seperti seekor monyet, berjongkok di atas kepala Sang Raja, lalu melintasi rantai yang mengikat sambil melambaikan obor di tangan, mengevaluasi sekelompok kera tersebut seraya berteriak, “Saya akan cari tahu identitas mereka!”

Seisi ruangan mendadak meledak dalam tawa (termasuk para kera) dan Hop-Frog segera bersiul, ketika tiba-tiba rantai lampu gantung menarik mereka sekitar lima, enam meter dari lantai ruangan — membuat sekelompok orangutan itu panik, hendak membebaskan diri, dengan kaki menggantung di udara.

Hop-Frog yang berpegang erat pada rantai, masih berada di posisi yang sama, di tengah ke-delapan individu bertopeng seolah tak terjadi apa-apa, seraya menjulurkan obor di tangan ke arah mereka, seakan masih penasaran untuk mengetahui identitas para kera.

Semua orang dalam ruangan itu terkejut mendapati ke-delapan individu tadi kini menggantung di udara, dan mendadak ruangan tersebut diisi kesunyian. Tak lama, kesunyian itu dipecahkan oleh suara gesekan kasar seperti yang sebelumnya menarik perhatian Sang Raja dan ketujuh menterinya saat beliau menumpahkan segelas anggur di atas wajah Trippetta. Namun kali ini asal suara itu tidak lagi jadi misteri. Suara itu datang dari taring si pelawak kontet yang kini tengah mengatupkan rahangnya erat-erat dan menggesek giginya dengan penuh amarah, mengejutkan Sang Raja dan ketujuh para menteri.

“Ah, ha!” teriak Hop-Frog. “Ah, ha! Saya kini mulai bisa melihat siapa orang-orang ini!” Di sini, sementara ia berpura-pura mengamati Sang Raja lebih dekat, Hop-Frog mendekatkan obor wewangian ke arah mantel berbulu yang dikenakan para kera, yang mendadak tersulut api.

Dalam waktu kurang dari tiga puluh detik, ke-delapan orangutan pun terbakar api membara, disaksikan oleh para tamu yang berteriak ngeri tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka.

Lama-lama, api yang berkobar semakin membara, membuat si pelawak terpaksa memanjat rantai yang terjulur dari langit-langit ruangan, agar ia bisa menjauh dari kerumunan orang di bawah. Saat ia bergerak ke atas, para tamu kembali diam, menghadirkan sebuah kesempatan emas bagi Hop-Frog untuk angkat suara.

“Sekarang saya bisa lihat dengan jelas,” katanya. “Siapa identitas orang-orang ini. Mereka adalah Sang Raja dan ketujuh menterinya yang terhormat — seorang raja yang tak keberatan menyerang seorang gadis tak berdaya, dan ketujuh penasihatnya yang mendukung perbuatan keji tersebut. Apabila Anda bertanya-tanya siapa saya, nama saya Hop-Frog, seorang pelawak kerajaan — dan ini adalah lawakan saya yang terakhir.”

Karena mantel berbulu itu juga dilapisi oleh ter yang mudah tersulut bara, belum lagi Hop-Frog selesai berbicara, ke-delapan korbannya telah hangus ditelan kobar api. Mayat mereka menggantung di bawah langit-langit ruangan, hitam, buruk rupa, tak bisa dikenali. Si pelawak kontet itu melempar obornya ke arah tumpukkan mayat yang terikat rantai, lalu memanjat santai menuju langit-langit ruangan, di mana ia menghilang di antara celah jendela.

Banyak yang mengira bahwa Trippetta, yang berjaga di atap ruangan, ikut terlibat dalam aksi balas dendam sahabatnya; dan bahwa keduanya kabur dari istana untuk kembali ke kampung halaman: karena sejak saat itu, tak ada yang pernah melihat mereka lagi. FL

Februari 2016 ©  Hak cipta Fiksi Lotus dan Edgar Allan Poe. Tidak untuk dijual, digandakan, atau ditukar.


 

#KETERANGAN:

(*) François Rabelais adalah penulis asal Prancis di abad Renaisans yang dikenal dengan karya-karya fantasi, satir, serta humor.

(**) François-Marie Arouet atau Voltaire adalah penulis Prancis di abad Pencerahan yang dikenal dengan karya-karya filosofis serta kritis terhadap Gereja Katolik.

(***) Caryatid adalah patung wanita yang dibangun dalam bentuk pilar-pilar ruangan.

#CATATAN:

> Cerita pendek ini bertajuk Hop-Frog, karya EDGAR ALLAN POE, dan pertama kali terbit pada tahun 1849 di surat kabar The Flag of Our Union.

>> EDGAR ALLAN POE adalah penyair, editor, kritkus sastra dan cerpenis berkebangsaan Amerika Serikat yang dikenal dengan karya-karyanya yang bertema misteri dan horor. Di antara karya-karyanya yang dianggap penting dalam kesusastraan dunia adalah The Pit and the Pendulum, The Tell-Tale Heart dan The Raven.

#POIN DISKUSI:

  1. Apa tema besar cerita ini?
  2. Apa peran Tripetta dalam cerita ini?
  3. Sebutkan salah satu teknik foreshadowing dalam cerita ini.
  4. Kenapa cerita ini masuk ke dalam genre Gotik?
  5. Apakah perbuatan Hop-Frog rasional? Kenapa?

 

 

 

 

 

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

4 Comment on “Hop-Frog

Tinggalkan balasan