ADALAH SEORANG WANITA yang menikah dengan seorang laki-laki penakut. Saking takutnya, laki-laki itu bahkan tak berani bepergian seorang diri. Suatu saat, wanita tersebut diundang ke sebuah pesta, namun belum lagi ia melangkah keluar dari pintu rumahnya, sang suami sudah memohon-mohon agar ia cepat kembali, karena tanpa kehadiran sang istri maka mustahil baginya untuk bisa bepergian keluar rumah. Sang istri pun akhirnya berjanji untuk pulang cepat; dan sejam kemudian ia pun pamit untuk meninggalkan teman-temannya di pesta.
“Kenapa buru-buru sekali?” tanya teman-temannya.
Wanita itu menerangkan kepada mereka bahwa suaminya tengah menunggu di rumah.
“Kenapa suamimu harus menunggumu?” usik mereka.
“Karena dia tidak bisa kemana-mana tanpaku,” jawab wanita itu.
“Aneh sekali,” ujar teman-teman wanita itu, yang kemudian membujuknya agar tidak meninggalkan pesta tersebut. Mereka juga menasihati wanita itu agar lain kali dia pergi keluar dengan suaminya di malam hari, dia harus meninggalkan suaminya di tengah jalan seorang diri — dengan begitu suaminya mau tak mau harus memberanikan diri.
Wanita itu menuruti nasihat teman-temannya. Pada kesempatan pertama, ia meninggalkan suaminya seorang diri di tengah malam gelap. Laki-laki itu berteriak sekeras-kerasnya, ketakutan, sampai akhirnya tertidur di tepi jalan. Begitu pagi tiba, laki-laki itu terbangun dan dengan penuh amarah bergegas pulang ke rumah.
Di antara benda-benda yang dimiliki sang suami adalah sebentuk pisau karatan yang diwariskan kepadanya oleh sang ayah. Ia mengambil pisau tersebut dan sambil membersihkannya memutuskan untuk tidak tinggal bersama sang istri lagi.
Maka ia beranjak pergi dari rumah dan tiba di suatu tempat di mana terdapat tumpahan madu yang dikerubungi lalat. Laki-laki itu menarik pisaunya dan membelah cairan madu yang lengket dengan ujungnya. Mendadak ia tersadar bahwa tak sengaja ia telah membunuh enam puluh ekor lalat. Ia melakukannya sekali lagi dan membunuh tujuh puluh ekor lalat. Pada saat itu juga, ia menyambangi seorang penjual benda-benda tajam dan minta agar pisaunya diukir dengan tulisan: “Dengan sekali tebas, Kara Musafa, sang pahlawan besar, telah membunuh enam puluh, lalu pada tebasan ke-dua, ia membunuh tujuh puluh.” Setelah pisau itu selesai diukir, sang pedagang benda-benda tajam mengembalikannya kepada sang pemilik, yang kemudian pergi dari toko tersebut.
Perjalanannya membawa laki-laki itu ke tengah hutan, dan ketika malam turun, ia pun berbaring dan tertidur, seraya menancapkan pisaunya ke tanah. Nah, di area ini, tinggalah 40 mahluk jin, dan salah satu dari mereka biasa berjalan pagi sebelum matahari meninggi. Jin itu melihat laki-laki yang sedang terlelap dan pisau yang tertancap tak jauh darinya. Membaca tulisan yang terukir pada bilah pisau, ia mendadak dicekam perasaan teror. Mustafa terbangun, dan mendapati hal tersebut, sang Jin buru-buru berusaha mengalihkan perhatian laki-laki itu. Ia memohon Mustafa untuk bergabung dengan saudara-saudaranya.
“Siapa kau?” tanya sang pahlawan.
“Kami adalah para Jin, ada 40 dari kami yang tinggal di daerah ini,” ujar sang Jin. “Bila kau berkenan bergabung dengan kami, maka jumlah kami jadi 41.”
“Aku bersedia,” kata Mustafa. “Segera pergi dan kabari yang lain.”
Mendengar hal itu, sang Jin bergegas menyampaikan informasi tersebut kepada saudara-saudaranya: “Wahai, saudara-saudaraku, seorang pahlawan ingin bergabung dengan kita. Kekuatannya yang luar biasa bisa dibuktikan oleh ukiran pada bilah pisau miliknya, yang berbunyi: ‘Dengan sekali tebas, Kara Musafa, sang pahlawan besar, telah membunuh enam puluh, lalu pada tebasan ke-dua, ia membunuh tujuh puluh.’ Maka mari kita berbenah, karena dia akan segera datang.”
Namun para Jin tadi justru bergegas menemui Mustafa, yang malah ciut keberaniannya saat melihat segerombol jin hutan. Tapi Mustafa berhasil menyapa mereka. “Asalamualaikum, kawan!” serunya. Para Jin membalas sapaannya dan menawarkan Mustafa untuk bergabung dengan mereka. Setelah menerima tawaran tersebut, Mustafa pun bertanya: “Apakah ada di antara kalian yang sepertiku?” Para Jin bilang tidak ada manusia di antara mereka. Mustafa mengangguk, “Bagus. Karena bila ada manusia di antara kalian, aku ingin berduel dengannya.”
“Di mana kita bisa menemukan manusia lain yang bisa menandingi kehebatannya?” bisik para Jin dalam perjalanan pulang.
Para Jin diwajibkan menjinjing air melintasi area hutan yang sangat luas, dan kewajiban itu dipenuhi secara bergilir oleh ke-empat-puluh anggota kelompok jin tersebut. Tapi karena para Jin itu bertubuh besar dan bertenaga kuat, perihal mengangkut air dalam jumlah banyak tidak pernah jadi masalah. Beda halnya dengan manusia, tentunya.
Keesokan harinya, setelah Mustafa bergabung dengan kelompok jin hutan, salah seorang dari mereka mengeluh, “Sudah tiba giliranmu untuk mengambil air, dan dengan menyesal kami ingin mengabarkan bahwa lokasi pengambilan air sangat jauh jaraknya dari sini.” Mengingat kemampuan sang pahlawan, para Jin sangat hati-hati saat berbicara dengan Mustafa. Mereka justru lebih banyak minta maaf.
Mustafa merenungkan kewajiban barunya, sebelum akhirnya meminta seutas tali kepada para Jin. Mereka menyediakan tali tersebut, dan Mustafa pun membawanya ke sumur. Penasaran apa yang akan dilakukan Mustafa dengan seutas tali, para Jin pun mengikutinya hingga tiba di dekat sumur. Mereka mengawasi dari kejauhan. Mustafa mengikat tali pada dinding sumur. Terkejut, para Jin berhamburan keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghampiri Mustafa. Mereka bertanya apa yang akan Mustafa lakukan.
“Oh,” jawab laki-laki itu. “Aku akan mengangkut sumur ini di punggungku dan membawanya ke kediaman kita, agar tidak satu pun dari kita yang perlu berjalan jauh untuk mendapatkan air!” Para Jin meminta kepada Mustafa untuk tidak melakukan hal tersebut. Mustafa mengangguk, dan berjanji untuk memenuhi permintaan para Jin asal mereka tak lagi memintanya untuk membawakan air dari sumur.
Beberapa hari kemudian, tiba lagi giliran Mustafa untuk mengumpulkan batang-batang kayu dari tengah hutan. Sekali lagi ia meminta seutas tali, dan pergi meninggalkan kediaman para Jin. Sekali lagi, para Jin mengumpat dan mengawasi gerak-gerik Mustafa.
Di tepi hutan, Mustafa menancapkan pasak ke dalam tanah dan mengikat ujung tali di sana, yang kemudian ia tarik melingar mengelilingi beberapa pohon besar. Kebetulan angin bertiup kencang dan sedikit mengguncang pepohonan tersebut.
“Apa yang sedang kau lakukan, Mustafa?” teriak salah seorang Jin.
“Oh, aku hanya akan membawa pulang seisi hutan ke kediaman kita, daripada harus mengerjakannya sedikit-sedikit,” jawab Mustafa.
“Jangan diguncang pepohonannya!” teriak semua Jin yang mengelilingi Mustafa. “Kau akan menghancurkan hutan ini. Sebaiknya biar kami saja yang mengumpulkan batangan kayu.”
♥
SEKARANG PARA JIN sangat takut terhadap Mustafa, dan mereka mengadakan pertemuan dadakan untuk mencari cara terbaik guna menyingkirkan manusia yang sangat mengintimidasi tersebut. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menuangkan air mendidih di atas Mustafa saat laki-laki itu tertidur di malam hari dan membunuhnya. Untungnya, Mustafa mendengar pembicaraan tersebut dan sempat mempersiapkan diri. Ketika malam tiba, ia pergi tidur seperti biasa. Para Jin merebus air dan dengan hati-hati menumpahkan air yang telah mendidih ke atap gubuk yang ditinggali Mustafa. Hanya saja, di tempat tidurnya, Mustafa menggeletakkan sebentuk bantal guling yang ditutupi oleh selimut dan peci sehingga terlihat seolah ia terbaring di sana. Sementara dia sendiri berbaring di pojok ruangan yang sama sekali tidak terganggu oleh tumpahan air panas.
Keesokan paginya, para Jin mengira bahwa Mustafa telah meninggal, maka mereka mengetuk pintu gubuk tempat tinggalnya.
“Siapa di situ?” terdengar suara seseorang dari dalam gubuk.
Para Jin yang terkejut dan ketakutan terbata-bata mengatakan bahwa hari sudah siang, maka sudah waktunya bagi Mustafa untuk bangun.
“Panas sekali semalam,” kata Mustafa. “Aku berbasuh keringat semalam suntuk.”
Mendengar itu, para Jin berpikir bahwa air mendidih sekali pun tak ada efeknya terhadap laki-laki tersebut. Hanya membuatnya berkeringat saja.
Solusi berikutnya yang dirembukkan oleh para Jin adalah untuk menjatuhkan empat puluh bola besi ke atas tubuh Mustafa selagi ia tertidur: tentunya hal tersebut akan membunuh manusia itu. Sayangnya, rencana ini juga terdengar oleh sang pahlawan. Ketika tiba waktunya bagi Mustafa untuk membaringkan tubuh di atas ranjang, ia kembali menggeletakkan sebentuk bantal guling, peci, dan menarik selimut agar menutupi bantal guling tersebut. Lantas ia menunggu di pojok ruangan. Para Jin memanjat gubuknya dari luar hingga tiba di atap, lalu seraya mengangkat beberapa lempeng genteng, mereka menatap ke bawah, ke arah sosok tubuh yang nampak tertidur lelap di atas ranjang. “Lihat, itu dadanya; dan itu kepalanya,” bisik mereka kepada satu sama lain.
BLUK! — Terdengar suara bola besi yang dijatuhkan satu per satu ke tengah gubuk.
Keesokan paginya, para Jin kembali mengetuk pintu gubuk Mustafa. Kali ini, tak ada jawaban; dan mereka saling memberi selamat kepada satu sama lain karena yakin bahwa sang pahlawan takkan mengganggu mereka lagi. Namun, sekadar untuk memastikan, mereka mengetuk pintu gubuk itu sekali lagi seraya berteriak keras-keras. Lalu mereka mendapati bahwa kegembiraan mereka tidak berlangsung lama, karena suara Mustafa tiba-tiba terdengar: “Aku tidak bisa tidur semalam karena banyak sekali tikus yang menggerayangiku; biarkan aku istirahat lebih lama.” Para Jin nyaris menggila mendengar ini. Manusia macam apa dia, yang menyamakan bola-bola besi berat dengan tikus?
♥
BEBERAPA HARI KEMUDIAN, para Jin berkata pada Mustafa: “Di negara tetangga, kami memiliki saudara Jin yang lain. Sudikah kau berduel dengannya?” Mustafa bertanya apakah Jin itu bertenaga kuat. “Sangat kuat,” jawab mereka.
“Kalau begitu, biarkan dia datang ke sini.” Namun saat kalimat itu keluar dari mulutnya, Mustafa nyaris kencing di celana karena rasa takut yang tiba-tiba menyergap.
Ketika Jin yang bertubuh raksasa tersebut tiba di kediaman para Jin, Mustafa mengusulkan agar mereka memulai pertandingan mereka dengan ajang gulat. Semua setuju, dan dalam waktu singkat mereka beranjak ke area lapang di tengah hutan. Sang Jin kemudian mencekik Mustafa dan mengeratkan jemarinya di sekitar leher lelaki itu hingga ia merasakan matanya nyaris berbalik.
“Apa yang sedang kau lihat?” tuntut sang Jin raksasa, jarinya mengendur di sekitar leher Mustafa.
“Aku sedang mengira-ngira seberapa jauh aku harus melemparmu agar semua anggota tubuhmu patah saat kau terjatuh ke tanah,” jawab pahlawan kita dengan nada yang penuh sandiwara. Mendengar ini, para Jin jatuh berlutut dan memohon Mustafa untuk mengasihani saudara mereka yang datang dari negeri tetangga.
Mustafa dengan santai mengampuni lawannya; dan para Jin pun akhirnya menyerah. Daripada harus bersusah payah membunuh Mustafa, mereka menawarkan setumpuk batangan emas sebagai hadiah dengan syarat Mustafa sudi kembali ke rumahnya sendiri. Dalam hati, pahlawan kita bersorak-sorai. Ia menerima tawaran itu dan meyakini mereka bahwa ia rela pergi dari sana.
Perpisahan antara manusia dan para jin pun berlangsung khidmat. Lantas, Mustafa beranjak pergi dari hutan bersama seorang Jin yang ditugaskan mengantarnya kembali ke rumah.
Ketika mereka sudah dekat dengan rumah tinggalnya, Mustafa melihat istrinya tengah menatap keluar jendela. Begitu mata sang istri menangkap sosok suaminya, ia berteriak, “Ini dia suamiku yang pengecut bersama seorang Jin!” Mustafa menarik jari telunjuknya ke bibir agar sang istri tak banyak bicara di hadapan sang Jin, sebelum akhirnya ia bergegas menuju ke rumah tinggalnya.
“Kau mau ke mana terburu-buru begitu?” tanya sang Jin.
“Aku mau masuk ke rumahku untuk mengambil sebentuk alat panah dan anak panah agar aku bisa memanahmu,” jawab pahlawan kita yang terbirit-birit masuk ke dalam rumah.
Mendengar hal itu, sang Jin pun melangkah mundur dan kembali bergabung dengan saudara-saudaranya di hutan.
Belum lagi Mustafa sempat beristirahat di rumahnya, tiba-tiba ada kabar bahwa seekor beruang liar tengah mengacak distrik kotanya.
Para penduduk pergi menyambangi sang vali* dan memohon agar ia meminta sang pahlawan tersohor untuk membunuh pemangsa liar tersebut. “Pahlawan itu telah berhasil melawan 40 Jin,” kata mereka. “Jangan sampai beruang itu membunuh para warga kota.”
Sang vali akhirnya memanggil Mustafa dan mengabarinya bahwa tidak masuk akal bagi warga kota untuk merasa terancam oleh kehadiran seekor beruang sementara mereka memiliki seorang pahlawan sehebat dan sekuat dia. Mustafa lantas berkata: “Tunjukkan padaku di mana beruang itu berada, dan aku minta 40 penunggang kuda bersamaku.”
Permintaan Mustafa dikabulkan. Laki-laki itu pergi ke kandang kuda dan mengambil segenggam batu kerikil, lalu melemparkannya ke arah kuda-kuda di sana. Semua kuda pun akhirnya meringkik dan mendepak dengan dua kaki depan terangkat tinggi, kecuali satu ekor di antara mereka — yang tetap diam tak bereaksi. Mustafa pun menunggangi kuda tersebut.
Ketika para penunggang kuda lain tiba di kandang kuda dan melihat apa yang telah dilakukan Mustafa, mereka melapor kepada sang vali bahwa laki-laki yang dianggap pahlawan itu sudah gila dan bahwa mereka tak sudi membantunya memburu beruang yang tengah memporak-porandakan seisi kota. Sang vali menasihati mereka: “Begitu kalian mendengar suara beruang itu, pergilah dan biarkan Mustafa yang menanganinya. Dia bisa melakukan apa yang dia mau.”
Maka pasukan itu pun pergi mengikuti Mustafa. Kemudian mereka tiba di tempat persembunyian sang beruang. Para penunggang kuda lainnya buru-buru hengkang dari sana dan meninggalkan pahlawan kita sendirian. Mustafa memacu kudanya, namun binatang itu enggan bergerak.
Sang beruang berlari ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Melihat sebentuk pohon yang berdiri tak jauh darinya, pahlawan kita naik ke atas punggung kuda, lalu melompat dan bergelayut di salah satu dahan pohon. Secepat mungkin ia menarik tubuhnya ke atas dahan.
Beruang itu tiba di bawah dahan pohon dan sedang bersiap memanjat pohon ketika Mustafa tiba-tiba melepas pegangannya. Sekonyong-konyong, tubuhnya jatuh menghantam punggung beruang, dan tak sengaja memukul telinganya dengan keras hingga ketika kedua kakinya mendarat di tanah, Mustafa tak buang waktu untuk menunggangi kudanya dan memacunya sekuat tenaga menyusul para penunggang kuda lainnya yang sudah kabur terlebih dahulu.
Begitu Mustafa melihat rombongan para penunggang kuda di hadapannya, ia berteriak: “Awas, Kara Mustafa, sang pahlawan, mau lewaaaattt!” Sontak, semua penunggang kuda berhenti dan membalikkan kuda-kuda mereka; lalu begitu sadar apa yang sedang terjadi, mereka segera melemparkan tombak mereka ke arah beruang yang sedang mengejar Mustafa.
Setelah itu, ketenaran Kara Mustafa menyebar ke seluruh penjuru negeri. Sang vali menganugerahkan berbagai macam penghargaan kepada Mustafa, hingga laki-laki itu hidup sampai akhir hayatnya dengan kenikmatan seorang pahlawan yang sangat dihargai oleh tetangga dan orang-orang di sekelilingnya. FL
Desember 2015 © Hak cipta Fiksi Lotus. Tidak untuk dijual, ditukar atau digandakan.
# KETERANGAN:
(*) vali dalam bahasa Turki berarti “wali” atau “penjaga kota” atau “walikota/gubernur”
# CATATAN:
Dongeng ini bertajuk “Kara Mustafa, The Hero” dan berasal dari Turki (jaman kerajaan Ottoman).
ini cerpen yang berbau sejarah, karena mengangkat Mustafa kamal ataturk sebagai tokokh yg “hebat”. sebelumnya mohon maaf, sejarahnya sebenarnya Mustafa kamal bukanlah sebagai pahlawan, namun sebagai penghianat dan pengecut, yang sengaja merubah pola fikir masyarakat turki pada waktu itu… 🙂 seyogyanya, sejarah biarlah menjadi pelajaran untuk anak cucu, bukan untuk dikaburkan apalagi di putarbalikan . 🙂 mohon maaf kalau komentar saya menyinggung. 🙂
SukaSuka
Hi Najib. Terima kasih atas kunjungannya ke Fiksi Lotus ya. Tentunya kami tidak tersinggung — semua komentar (asal tidak berbau SARA) selalu kami terima dan pertimbangkan dengan senang hati. Jadi jangan pernah sungkan untuk mengirim komentar dan kritik ya 🙂 Mengenai “Kara Musafa” ini bukan cerpen, melainkan dongeng, atau cerita rakyat, yang asalnya dari Turki (dan karenanya tidak diketahui kapan mulai beredar). Terlepas dari apakah tokoh Kara dalam dongeng ini mewakili Ataturk, atau tokoh besar lain, seperti Kara Mustafa Pasha, dalam sejarah masyarakat Turki, atau tidak sama sekali, konteks cerita ini secara independen merujuk pada ironi yang sering tercipta dalam masyarakat di mana seorang pengecut — hanya karena serangkaian keberuntungan dan kecenderungannya dalam menggertak — bisa dengan mudah mengasumsi peran sebagai seorang pahlawan. Tentunya, layaknya cerita lain, dongeng pun bisa dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan konteks asal-muasalnya — namun seringkali sulit untuk menjejak ulang asal-usul dongeng dengan akurat mengingat proses penyebarannya yang cenderung mengambil metode oral dan, oleh sebab itu, sering berubah seiring perkembangan zaman. Terima kasih sekali lagi atas kunjungan dan masukannya ya. Salam.
SukaSuka