Ray Bradbury

Hujan itu terus mengguyur. Hujan itu deras dan tanpa akhir, mengantarkan kabut dan embun; awalnya berupa gerimis, lantas berubah jadi curahan besar, seperti air mancur raksasa, menampik mata, menciptakan arus di sekitar pergelangan kaki. Hujan itu lebih dashyat dari hujan lain yang pernah lekat dalam ingatan. Datangnya bertubi-tubi dan tanpa ampun—memangkas hutan lebat dan membelah pohon jadi bongkahan kayu, lalu memotong rerumputan dan melunakkan tanah, serta meranggas semak-belukar. Hujan itu mengerutkan tangan manusia hingga terlihat seperti tangan kera. Hujan itu turun seperti lapisan kaca—dan tak pernah berhenti.

“Seberapa jauh lagi, Letnan?”

“Aku tidak tahu. Satu kilo, sepuluh kilo, mungkin seribu kilometer lagi.”

“Kau tidak yakin?”

“Bagaimana aku bisa yakin?”

“Aku tidak suka hujan ini. Seandainya kita tahu seberapa jauh letak Kubah Matahari, aku akan merasa lebih tenang.”

“Sekitar satu, dua jam dari sini.”

“Kau yakin, Letnan?”

“Tentu saja.”

“Atau kau berbohong untuk menyenangkan hati kami?”

“Aku berbohong supaya kalian senang. Sudah, diam!”

Dua laki-laki itu duduk di tengah hujan. Di belakang mereka ada dua laki-laki lain yang juga terduduk di bawah curah hujan dengan tubuh basah kuyup. Mereka tampak sangat lelah dengan pundak merosot, seperti pahatan tanah liat yang meleleh.

Sang Letnan mendongak ke atas. Tadinya wajah Sang Letnan berwarna kecoklatan, namun karena diguyur hujan terus-terusan, kini wajahnya berubah pucat. Hujan juga telah membasuh warna matanya yang kini tampak putih, seputih giginya, seputih rambutnya. Dia tampak putih dari ujung kepala sampai kaki. Bahkan seragamnya juga berubah warna jadi putih dengan sedikit noda hijau yang berasal dari jamur.

Sang Letnan merasakan guyuran hujan di pipinya. “Berapa juta tahun sejak hujan berhenti turun di Venus?”

“Jangan gila,” kata salah satu di antara kedua laki-laki di belakangnya. “Hujan tidak pernah berhenti turun di Venus. Derai hujan terus mengguyur tanpa jeda. Aku pernah tinggal di sini selama sepuluh tahun dan hujan tidak pernah berhenti bahkan hanya untuk semenit saja.”

“Rasanya seperti hidup di bawah air,” kata Sang Letnan seraya bangkit berdiri dan mengedikkan bahu agar tali senjatanya terbentang lurus. “Ya sudah, sebaiknya kita jalan terus. Kita pasti menemukan Kubah Matahari itu.”

“Atau kita takkan pernah menemukannya,” ujar prajurit yang sinis.

“Aku yakin, jaraknya sekitar satu jam dari sini.”

“Sekarang kau benar-benar berbohong kepada kami, Letnan.”

“Bukan, aku berbohong pada diri sendiri. Ini salah satu momen di mana kita harus bisa membohongi diri sendiri. Karena aku sudah tidak tahan lagi dengan kondisi seperti ini.”

Mereka menelusuri jalan setapak dalam hutan, sambil sesekali melirik ke arah alat kompas di tangan. Kecuali apa yang tertera di atas kompas, mereka sama sekali buta arah. Langit di atas mereka tampak kelabu, dan hujan terus mengguyur tanpa henti. Di sekitar mereka ada hutan lebat dan sebuah jalan setapak; sementara jauh di belakang mereka ada sebuah roket yang telah kandas. Roket itulah yang membawa mereka kemari. Dan di dalamnya ada dua awak kapal lain yang telah mati. Roket tersebut juga terus diguyur hujan.

Keempat prajurit itu berjalan beriringan tanpa saling bicara. Mereka tiba di sebuah sungai yang menghampar datar dan berwarna kecoklatan, mengalir ke arah Lautan Tunggal. Permukaannya tercabik oleh rintik hujan.

“Oke, Simmons.”

Sang Letnan mengangguk dan Simmons segera mengambil sebentuk paket kecil dari punggungnya. Dengan sekali tekan saja, paket itu serta-merta menggembung jadi perahu karet besar. Sang Letnan memberikan perintah agar mereka segera memotong beberapa bilah kayu untuk dijadikan kayuh. Setelah itu, mereka mulai mengayuh perahu karet tersebut di atas permukaan sungai—airnya terasa halus di bawah mereka.

Sang Letnan merasakan dinginnya air hujan menghantam pipi, leher dan lengannya. Rasa dingin itu mulai meresapi dadanya dan mengganggu paru-parunya. Ia merasakan tetesan air hujan di telinga, mata dan kakinya.

“Aku tidak tidur semalaman,” ujar Sang Letnan.

“Mana ada di antara kita yang bisa tidur? Sudah berapa malam kita terdampar di sini? Tiga puluh malam, tiga puluh hari! Siapa yang bisa tidur dengan hujan yang menghantam terus-terusan begini? Seandainya aku punya topi; atau apalah untuk melindungi kepalaku. Kepalaku pening sekarang, setiap saat. Kepalaku sakit dan perih.”

“Aku menyesal sudah datang ke Cina,” ujar salah satu prajurit.

“Baru kali ini aku mendengar Venus disebut sebagai Cina.”

“Aku tidak bercanda. Ada sebuah pengobatan air dari Cina. Masih ingat metode penyiksaan jaman dulu? Mereka ikat tubuhmu di dinding. Setiap setengah jam, mereka teteskan air di kepalamu hingga kau mau gila menunggu tetesan berikutnya. Venus sama seperti itu, hanya saja dalam skala yang jauh lebih besar. Manusia bukan mahluk air. Kita tidak bisa tidur, tidak bisa bernapas dengan benar, dan kita merasa hendak gila karena tubuh kita selalu basah kuyup. Kalau kita sudah mempersiapkan diri untuk terdampar di sini, setidaknya kita bisa membawa jaket anti-air dan topi. Kita dibuat gila dengan guyuran hujan di kepala. Berat sekali rasanya. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku akan tahan berada dalam kondisi ini.”

“Duh, aku tak sabar untuk tiba di Kubah Matahari! Orang yang menciptakan fasilitas itu jenius!”

Mereka menyeberangi badan sungai, dan selama proses penyeberangan itu, mereka membayangkan keberadaan Kubah Matahari tidak jauh di hadapan mereka, bersinar di tengah guyuran hujan. Sebuah rumah berwarna kuning yang bundar dan terang seperti matahari. Sebuah bangunan dengan tinggi lima belas kaki dan diameter seratus kaki, di mana tersedia kehangatan, kesunyian, makanan dan perlindungan dari hujan. Di pusat Kubah Matahari, tentunya, ada matahari buatan. Bentuknya kecil dan rupanya seperti bola yang memancarkan api hangat. Bola itu menggantung di udara, di atas kubah bangunan, dan semua penghuni bangunan dapat mendongakkan kepala untuk melihat pijarnya sambil merokok, membaca buku, atau menikmati secangkir coklat panas yang ditaburi marshmallow. Matahari buatan itu akan mengingatkan mereka akan matahari di Bumi; hangat dan bersinar tanpa henti—dan hujan yang mengguyur Venus akan terlupakan selama mereka berdiam di sana seraya mengulur waktu.

Sang Letnan membalikkan tubuh dan melihat ke arah tiga orang prajurit yang sedang mengayuh sekuat tenaga sambil berusaha menahan dingin dengan gigi bergemerutuk. Para prajuritnya juga terlihat seputih jamur hutan, seputih Sang Letnan. Venus dengan sukses memutihkan segala hal yang ada di sekitarnya dalam jangka waktu beberapa bulan. Bahkan hutan itu tampak seperti mimpi buruk dalam film kartun. Bagaimana mungkin hutan tersebut bisa menunjukkan warna hijau abadi tanpa ada sentuhan sinar matahari? Dan bagaimana hutan bisa tumbuh sementara langit terus dirundungi hujan lebat? Hutan itu tampak putih dengan dedaunan yang pucat dan berwarna kuning seperti keju. Tanah di sekitarnya juga berwarna putih kekuningan dengan permukaan kelewat lunak; sementara batang pepohonan tampak seperti jamur yang kebesaran—semua terlihat hitam-putih. Selain itu, mereka juga jarang sekali memperhatikan tanah tempat mereka berpijak, karena mereka dikelilingi air, air dan air: genangan, sungai, danau, kali, kolam—dan laut.

“Kita sudah tiba!”

Mereka menepi di pinggir sungai dan buru-buru melompat turun dari perahu karet, memercikkan air di sekitar mereka. Perahu karet itu kemudian kembali dikempiskan dan disimpan di dalam kotak rokok. Lalu, sambil berdiri di tepi sungai yang tengah diguyur hujan lebat, para prajurit itu berusaha untuk menyulut rokok. Sekitar lima menit kemudian, mereka mencoba memantik korek api mekanik dengan posisi terbali seraya menangkup sebelah tangan untuk menahan hembusan angin. Akhirnya, mereka berhasil menyulut beberapa batang rokok. Namun baru beberapa kali dihisap, rokok di tangan mereka mendadak loyo dihantam air hujan yang terus mengguyur.

Maka mereka terus berjalan.

“Tunggu,” ujar Sang Letnan. “Sepertinya aku melihat sesuatu di depan sana.”

“Kubah Matahari?”

“Aku tidak yakin. Rinai hujan menutupi pandanganku.”

Simmons mulai berlari. “Kubah Matahari!”

“Kembali kemari, Simmons!”

“Kubah Matahari!”

Tubuh Simmons hilang ditelan hujan; sementara yang lain berlari mengikuti langkah Simmons.

Tak lama kemudian, mereka menemukan Simmons di dalam bukaan hutan. Langkah mereka terhenti sesaat, menatap ke arah Simmons dan temuannya.

Kapal roket.

Pesawat ulang-alik itu terbaring tepat di mana mereka meninggalkannya. Entah bagaimana, mereka telah mengitari rute yang mereka ambil dan kembali ke tempat semula. Bangkai kapal roket itu diselimuti oleh jamur berwarna hijau yang juga menjalar keluar dari dalam mulut dua orang awak kapal yang mati di dalamnya. Mereka terus memandangi bangkai kapal dan mayat kedua pria yang tergeletak di dalamnya. Jamur yang tersebar kemudian berbunga. Lalu kelopaknya terurai dihantam tetesan air hujan—dan jamur itu lantas mati.

“Bagaimana mungkin kita kembali kemari?”

“Sebuah badai elektrik pasti ada di sekitar sini dan mengacaukan jarum kompas kita. Aku yakin itu sebabnya.”

“Aku rasa kau benar.”

“Sekarang apa yang harus kita lakukan?”

“Mulai berjalan lagi.”

“Ya ampun, sudah berjalan sejauh ini dan kita belum kemana-mana!”

“Kita harus tetap tenang, Simmons.”

“Tenang, tenang! Hujan ini membuatku gila!”

“Kita masih punya cukup bekal untuk dua hari ke depan bila kita hati-hati menggunakannya.”

Hujan itu menari bebas di atas kulit mereka; di atas seragam mereka yang basah kuyup; serta mengalir dari hidung dan telinga, jari dan lutut mereka. Keempat prajurit itu tampak seperti batu beku di tengah hutan yang memuncratkan air mancur dari semua pori-pori tubuhnya.

Masih dalam posisi berdiri, mereka mendengar raungan di kejauhan.

Dan monster itu membelah hujan, entah dari mana asalnya.

Monster tersebut ditopang oleh ribuan kaki yang berwarna biru dan merupakan aliran listrik bertegangan tinggi. Langkahnya panjang dan luwes. Setiap kali kakinya melangkah, tegangan itu mengantarkan kekuatan berjuta wat listrik. Pohon tumbang dan terbakar. Asap mendesis di tengah gempuran hujan; kemudian dibawa pergi oleh angin. Monster itu lebarnya hampir satu kilometer dengan tinggi dua kilometer; dan tampilannya juga berubah-ubah. Terkadang, meski hanya sesaat, monster itu tampak seolah tak berkaki. Kali lain, tiba-tiba, perutnya seolah mengurai ribuan tali pecut berwarna putih-kebiruan untuk menyengat seisi hutan.

“Itu dia badai elektrik,” kata salah satu prajurit. “Itu yang mengacaukan jarum kompas kita. Dan badai itu tengah menghampiri kita.”

“Semuanya tiarap,” perintah Sang Letnan.

“Lari!” teriak Simmons.

“Jangan bodoh. Tiarap. Badai itu hanya menyambar titik-titik tertinggi. Kita masih punya kesempatan selamat. Tiarap sekitar lima belas meter dari bangkai roket tadi. Aliran listrik itu pasti lebih memilih untuk menyambar sirkuit kapal yang sudah mati dan mengabaikan kita. Merunduk!”

Para prajurit terhuyung jatuh ke permukaan tanah.

“Sudah dekat badainya?” tanya mereka pada satu sama lain, sesaat kemudian.

“Sedang dalam perjalanan.”

“Lebih dekat dari tadi?”

“Sekitar 180 meter dari sini.”

“Sekarang bagaimana?”

“Ini dia datang!”

Monster itu tiba dan berdiri mengangkangi mereka. Ia mengerahkan sepuluh hentakkan petir berwarna biru ke arah bangkai roket tadi. Kapal ulang-alik itu mengeluarkan bunyi nyaring seperti gong yang ditabuh; lalu berdering seperti logam yang dialiri listrik. Monster itu mengerahkan lima belas hentakkan petir lainnya yang menari konyol di sekitar hutan tersebut.

“Tidak, tidak!” salah seorang prajurit melompat berdiri dari tempat persembunyian.

“Tiarap, bodoh!” ujar Sang Letnan.

“Tidak!”

Petir itu menghentak bangkai roket tadi lagi dan lagi dan lagi. Sang Letnan menoleh ke belakang, ditopang oleh lengannya, dan melihat pendar cahaya biru yang sangat terang. Ia melihat batang-batang pohon yang terbelah dan hancur menjadi potongan-potongan kecil. Ia melihat gugusan awan hitam di atas mereka yang berubah warna jadi hitam dan menghujamkan ratusan batang listrik ke tanah.

Prajurit yang tadi melompat berdiri kini tengah berlari di antara pilar-pilar hutan yang menjulang tinggi. Ia berlari sekencang mungkin dengan pola zig-zag untuk menghindari serangan petir. Setidaknya selusin batang pohon berjatuhan di sekitar prajurit itu; lalu terdengar suara khas seperti lalat yang baru saja tersengat aliran listrik dari raket anti-serangga. Sang Letnan ingat betul suara itu karena dulu, waktu kecil, ia tinggal di sebuah ladang peternakan yang sarat akan serangga. Ia juga mencium bau kulit yang terbakar jadi abu.

Sang Letnan menundukkan kepala. “Jangan melihat ke atas,” katanya kepada yang lain. Ia juga khawatir bahwa rasa takutnya akan menguasai pikirannya dan membuatnya lari terbirit-birit.

Badai di atas mereka mengantar sejumlah hentakkan petir lagi sebelum akhirnya beranjak dari sana. Seiring dengan berlalunya badai, rintik hujan kembali memenuhi alam sadar mereka. Dan dalam waktu singkat hujan itu juga mengusir bau hangus yang sebelumnya sangat dominan. Kemudian ketiga prajurit yang tersisa memutuskan untuk duduk sebentar dan menenangkan diri.

Setelah itu mereka berjalan lagi. Mereka menghampiri tubuh prajurit yang tersambar petir, berharap masih bisa ditolong. Mereka tidak percaya ketika mendapati bahwa prajurit itu sudah tidak bisa ditolong lagi. Ini adalah reaksi normal bagi orang yang masih belum menerima kematian orang lain, setidaknya sampai mereka menyentuh tubuhnya dan merencanakan pemakamannya. Bila tubuh itu ditelantarkan begitu saja di atas tanah selama satu jam, maka pertumbuhan jamur akan segera menguburnya.

Mayat prajurit itu berada dalam posisi terpilin, keras seperti baja; dan dilapisi kulit terbakar. Kelihatannya seperti patung lilin yang baru saja dilempar ke dalam alat panggangan dan ditarik keluar begitu lapisan lilinnya telah mendesak masuk ke dalam tengkorak yang panas seperti batu bara. Hanya giginya yang terlihat putih; bersinar seperti kawat gigi yang menjepit lidahnya yang bengkak.

“Sudah dibilang jangan lari,” ujar ketiga prajurit yang tersisa pada saat bersamaan.

Bahkan saat mereka masih berdiri di sana, jenazah itu telah raib, ditutupi akar, tumbuhan rambat, bahkan kembang untuk orang mati.

Di kejauhan, badai itu melangkah pergi dan menyisakan cahaya biru dari kaki-kakinya yang panjang. Hilang begitu saja.

*

Mereka melintasi sebuah sungai, anak sungai dan kali dan selusin sungai lain, disambung oleh anak sungai dan kali. Di hadapan mereka sungai-sungai mengalir deras, ditimpali oleh sungai baru, sementara sungai lama berganti haluan—airnya berwarna kuning, perak dan putih susu.

Lantas mereka tiba di laut.

Laut Tunggal. Hanya ada satu benua di Planet Venus. Daratan yang mereka telusuri panjangnya sekitar 5000 kilometer dengan lebar 2000 kilometer. Perairan yang mengelilingi benua ini dinamakan Laut Tunggal. Perairan tersebut mendominasi struktur geologi Planet Venus yang terus-terusan hujan. Laut Tunggal yang tak berombak dan rajin menyambangi tepi pantai benua yang sangat pucat…

“Lewat sini.” Sang Letnan menganggukkan kepala ke arah selatan. “Aku yakin ada dua Kubah Matahari di arah itu.”

“Saat mereka membangun Kubah Matahari, kenapa tidak dibangun ratusan saja?”

“Bukankah sekarang ada seratus dua puluh Kubah Matahari di sini?”

“Seratus dan dua puluh enam, terhitung sejak bulan lalu. Mereka sudah berusaha untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada pihak Kongres di Bumi setahun yang lalu agar segera dibuatkan beberapa lusin Kubah Matahari di Planet Venus. Tapi, seperti biasa, kau tahu akhir dari cerita itu, pihak Kongres lebih memilih para prajurit mati di tengah hujan.”

Mereka beranjak ke arah selatan.

Sang Letnan dan Simmons, serta prajurit ke-tiga, Pickard, berjalan di tengah hujan yang merajam deras dari langit, lantas turun seperti gerimis; kemudian deras lagi, dan gerimis lagi; di tengah hujan yang tak mau berhenti membanjiri daratan dan lautan dan siapa saja yang ada di bawahnya.

Simmons adalah yang pertama melihatnya. “Itu dia!”

“Apa?”

“Kubah Matahari!”

Sang Letnan mengedipkan mata berkali-kali untuk mengusir air yang menghalangi pandangannya; ia juga mengangkat kedua tangan untuk melindungi matanya dari curah hujan.

Di kejauhan mereka melihat pendar cahaya kuning yang datang dari tepi hutan, tidak jauh dari perairan laut. Benar, di sana ada Kubah Matahari.

Ketiga prajurit itu tersenyum pada satu sama lain.

“Sepertinya kau benar, Letnan.”

“Keberuntungan.”

“Nah, kalau begini aku jadi lebih semangat. Ayo! Kita berlomba ke sana!” Simmons mulai berlari, sementara yang lain mengikutinya dari belakang dengan napas memburu dan tubuh lelah—tapi tetap menjaga kecepatan berlari.

“Aku mau minum satu ceret kopi panas,” kata Simmons, terengah-engah. Wajahnya dihiasi senyum lebar. “Dan senampan roti manis. Duh! Aku tidak sabar berbaring di bawah sinar matahari. Siapapun yang menciptakan Kubah Matahari harus diberikan medali penghargaan!”

Mereka mempercepat langkah. Sinar kuning itu semakin terang.

“Pasti banyak orang yang jadi gila di planet ini sebelum Kubah Matahari diciptakan. Padahal solusinya sudah sangat jelas!” Simmons menyelingi gerakan kakinya dengan pembicaraan. Napasnya kian memburu. “Hujan, hujan! Beberapa tahun lalu. Aku bertemu. Seorang teman. Di hutan. Tersesat. Di tengah hujan. Mengucap berkali-kali, ‘Aku tidak tahu, caranya, berteduh dari hujan. Tidak tahu, caranya, berteduh dari hujan. Tidak tahu—’ Begitu terus. Seperti itu. Kasihan sekali.”

“Simpan napasmu!”

Mereka terus berlari.

Mereka semua tertawa. Mereka tiba di depan pintu Kubah Matahari dengan sisa tawa di bibir.

Simmons menarik pintu agar terbuka lebar. “Hey!” teriaknya. “Mana kopi dan roti manisku?”

Tidak ada balasan.

Mereka masuk ke dalam bangunan itu.

Kubah Matahari tersebut tampak gelap dan kosong. Tidak ada bola matahari sintetis yang biasa menggantung dan mengeluarkan suara lemah seperti embusan gas di langit-langit ruangan yang berwarna biru. Tidak ada makanan. Ruangan itu terasa dingin seperti lemari besi. Dan melalui ribuan lubang yang baru saja terbentuk di langit-langit ruangan, air hujan menembus masuk dan mengalir ke lantai, membasahi karpet tebal dan perabotan modern yang melengkapi ruangan tersebut; serta jatuh seperti percikan di atas sejumlah meja kaca. Hutan itu tumbuh seperti lumut dan menyesakkan seisi ruangan; di atas rak buku dan dipan. Hujan terus turun menembus lubang-lubang tadi dan jatuh ke atas wajah para prajurit.

Pickard mulai tertawa ironis.

“Diam, Pickard!”

“Ya ampun, lihat apa yang menanti kita—tak ada makanan, tak ada matahari, tak ada apa-apa. Ini pasti kerjaan warga Planet Venus! Pasti!”

Simmons mengangguk, hujan terus membasahi wajahnya. Air mengalir di antara rambutnya yang keperakkan dan alisnya yang putih. “Sesekali warga Planet Venus keluar dari dalam laut dan menyerang Kubah Matahari. Mereka tahu bila mereka berhasil menghancurkan Kubah Matahari, maka mereka akan berhasil menghancurkan kita.”

“Bukankah semua Kubah Matahari dilindungi dengan senjata?”

“Tentu saja.” Simmons mengambil langkah ke samping, ke tempat yang sedikit lebih kering. “Tapi sudah lima tahun berlalu sejak warga planet ini berusaha menyerang manusia. Jadi pertahanan kita melemah. Mereka menghancurkan Kubah Matahari ini tanpa sepengetahuan penghuninya.”

“Lantas mana mayat korban-korbannya?”

“Warga Venus menyeret semuanya ke bawah laut. Aku dengar mereka punya metode khusus untuk menenggelamkan musuh-musuh mereka. Mereka melakukannya dalam waktu delapan jam. Luar biasa.”

“Pasti tidak ada sisa makanan sama sekali di sini,” tawa Pickard.

Sang Letnan mengerutkan dahinya ke arah Pickard, lalu menganggukkan kepalanya ke arah Simmons. Simmons menggeleng dan melangkah ke dalam sebuah ruangan di samping ruang lain yang berbentuk oval. Beberapa buah roti tampak tercecer di atas konter dapur, basah oleh air hujan. Selain itu, ada bebereapa potong daging yang telah busuk dan dilapisi jamur berwarna hijau dengan tekstur berbulu. Hujan menerjang masuk ke dalam area dapur lewat ratusan lubang di langit-langit.

“Sial,” gerutu Sang Letnan sambil menengadah ke arah lubang-lubang itu. “Kurasa tidak mungkin bagi kita untuk menambal lubang-lubang tersebut dan beristirahat di sini.”

“Tanpa makanan, Letnan?” tanya Simmons. “Aku lihat tadi mesin matahari sudah rusak total. Kemungkinan terbaik kita adalah untuk keluar dari sini dan mencari Kubah Matahari lainnya. Berapa jauh kira-kira jaraknya dari tempat ini?”

“Tidak terlalu jauh. Seingatku mereka membangun dua Kubah Matahari lain di sekitar sini. Mungkin kalau kita menunggu di sini, misi penyelamatan dari kubah lainnya akan—”

“Atau mungkin mereka sudah datang kemari dan pergi lagi beberapa hari yang lalu. Mereka akan mengirimkan kru untuk memperbaiki tempat ini enam bulan dari sekarang, begitu dananya dicairkan oleh pihak Kongres. Kurasa sebaiknya kita jangan menunggu.”

“Baiklah, kita akan menyantap sisa bekal makanan yang kita miliki dan kembali berjalan ke Kubah Matahari berikutnya.”

Pickard angkat suara: “Seandainya hujan berhenti menghajar kepalaku selama beberapa menit saja; seandainya aku ingat apa rasanya memiliki tubuh dan kepala kering.” Ia memegang kepalanya dengan dua tangan, erat. “Aku ingat semasa sekolah dulu ada seorang siswa yang biasa duduk di belakangku dan kerjanya selalu mencubitku. Seharian penuh, setiap lima menit, dia mencubitku dari belakang. Ia melakukannya selama berminggu-minggu, lalu berbulan-bulan. Lenganku sampai sakit dan memar. Kupikir cepat atau lambat aku pasti gila dibuatnya. Suatu hari, kesabaranku habis dan begitu dia mencubitku, aku berbalik dan menggunakan sebuah try square logam yang biasa kugunakan untuk kelas menggambar mekanik untuk menghajarnya. Aku nyaris membunuhnya. Aku hampir saja memenggal kepalanya. Aku hampir mencungkil matanya, ketika akhirnya aku diseret keluar dari ruang kelas sambil berteriak, ‘Kenapa dia tidak berhenti menggangguku? Kenapa dia tidak berhenti menggangguku?’ Sial!”

Pickard semakin erat memegang kepalanya, menekan telapak tangannya di bagian belakang kepala, sambil menggeleng, tegang. “Lantas apa yang bisa kulakukan sekarang? Siapa yang harus kuhajar agar siksaan ini berhenti? Hujan ini sama seperti cubitan itu yang selalu menggangguku. Hanya itu yang kudengar. Hanya itu yang kurasakan!”

“Pukul empat sore ini kita pasti tiba di Kubah Matahari berikutnya.”

“Kubah Matahari? Lihat saja kubah ini! Bagaimana kalau semua Kubah Matahari di Planet Venus telah habi dihancurkan? Lantas apa rencanamu? Bagaimana kalau semua Kubah Matahari memiliki langit-langit berlubang seperti ini? Sama saja kita diguyur hujan!”

“Kita harus mengambil resiko itu.”

“Aku lelah mengambil resiko terus. Aku hanya mau atap berteduh dan sedikit kesunyian. Aku ingin ditinggal sendiri.”

“Kalau kau mau bertahan, delapan jam lagi siksaan ini pasti berakhir.”

“Jangan khawatir, aku pasti bertahan.” Lalu Pickard tertawa, tidak lagi melihat ke arah teman-temannya.

“Ayo, makan,” kata Simmons sambil mengawasi Pickard.

*

Ketiga prajurit itu kembali mengarungi laut dan melanjutkan perjalanan mereka ke arah selatan. Empat jam kemudian, mereka terpaksa menepi ke darat dan berjalan mengitari lekuk sungai yang lebarnya sekitar satu-setengah kilometer dengan arus deras hingga tidak mungkin dilalui dengan kapal. Mereka mau tidak mau harus jalan kaki sejauh sembilan puluh kilometer menuju sebuah tempat di mana sungai berhenti mengalir dan menyisakan ampas tanah kering layaknya luka alam. Masih digempur hujan deras, mereka berjalan di atas tanah keras dan kembali mengarungi laut.

“Aku mengantuk sekali,” keluh Pickard. Pundaknya merosot. “Sudah empat minggu aku tidak tidur. Aku lelah, tapi tak bisa tidur. Aku mau tidur di sini saja.”

Langit bergemuruh dan tampak kian gelap. Malam hari di Planet Venus adalah waktu yang sangat berbahaya karena tidak ada cahaya sama sekali. Gelap gulita. Mereka bahkan tidak berani bergerak saat malam telah turun menyelimuti planet tersebut. Simmons dan Sang Letnan akhirnya jatuh berlutut juga.

“Baiklah, kita lihat apa yang bisa kita lakukan. Kita sudah pernah mencobanya sebelumnya, tapi aku tidak tahu apakah ini akan berhasil. Sejauh ini kita selalu gagal setiap kali mencoba untuk tidur,” kata Sang Letnan.

Mereka berbaring telentang di atas permukaan tanah yang digenangi air hujan, menyandarkan kepala masing-masing di atas ransel atau batu agar mulut mereka tidak kemasukan air—lalu menutup mata, bersiap tidur. Sang Letnan bergerak resah, tak bisa tidur.

Tubuhnya digerayangi dari kaki sampai leher. Pertama oleh tetesan hujan yang membentuk arus kecil di sekujur tubuhnya; membentuk aliran deras yang bisa ia rasakan di lapisan kulitnya. Lantas jamur-jamur yang tumbuh di sekitar lantai hutan juga ikut menggerayangi pakaiannya. Tanaman rambat menyelimuti tubuhnya seperti kulit mati. Ia bisa merasakan kuncup-kuncup bunga yang membuka kelopaknya satu demi satu; sementara hujan terus mengguyur tubuh dan kepalanya. Tetumbuhan itu kian gelap membekapnya, bersinar di tengah kegelapan. Ia melihat dua prajuritnya dengan tubuh yang juga dibalut tanaman rambat, seperti gelondongan kayu yang tumbang dan dibungkus oleh rumput dan tanaman. Hujan itu menghantam wajah Sang Letnan. Maka ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hujan itu menghantam lehernya. Sang Letnan membalik posisinya hingga ia berbaring tengkurap, perutnya bersinggungan dengan lumpur basah, dengan tanaman yang lentur seperti karet—dan hujan itu menghantam punggung dan kakinya.

Sekonyong-konyong Sang Letnan bangkit berdiri dan mengibas setelan seragamnya guna menyingkirkan aliran air di sekujur tubuhnya. Rasanya seperti disentuh oleh ribuan tangan asing. Dia tak menginginkan sentuhan itu. Dia tidak tahan merasakan sentuhan itu. Tubuhnya terhuyung di tengah kegelapan dan membentur sesuatu. Simmons. Prajurit tersebut juga sudah berada dalam posisi berdiri di tengah guyuran hujan. Simmons bersin karena tenggorokan dan hidungnya penuh air. Ia terbatuk dan tercekik. Lalu Pickard ikut bangkit berdiri, berteriak, berlari kecil ke sana-sini.

“Tunggu dulu, Pickard!”

“Hentikan, hentikan!” teriak Pickard. Ia menembakkan senjatanya enam kali ke arah langit pekat. Rentetan tembakkan itu menghasilkan letusan yang mengiluminasi langit kelam di atas mereka, menambah jelas bentuk tetesan hujan yang kian deras. Jarum-jarum perak itu terbias cahaya letusan mesiu—seakan tertahan di udara dan berwarna keemasan. Lima belas triliun tetesan air hujan. Lima belas triliun tetesan airmata. Lima belas triliun ornamen dan perhiasan alam—dilatari oleh bias cahaya ledakkan yang pucat. Ketika cahaya itu sirna, tetesan hujan seolah kian memburu mereka. Menyengat kulit, menusuk daging dan membuat tubuh mereka terasa semakin dingin, semakin ngilu.

“Hentikan! Hentikan!”

“Pickard!”

Namun Pickard tak lagi bersuara. Ia hanya berdiri seperti patung. Ketika Sang Letnan menyalakan sebentuk lampu senter kecil dan mengarahkan sinarnya ke wajah Pickard, ia melihat bola mata prajurit itu melebar, mulutnya terbuka dengan kepala tengadah—hingga air hujan jatuh membentur lidahnya, menenggelamkan matanya yang terbelalak, serta menggelegak di lubang hidungnya.

“Pickard!”

Prajurit itu tetap tak menjawab. Ia terus berdiri dalam posisi yang sama untuk waktu yang cukup lama; sementara tetesan air hancur berderai di rambutnya yang keputihan dan rantai hujan menetes bebas dari pergelangan tangan dan lehernya.

“Pickard! Kita harus pergi, harus jalan lagi. Ikuti kami.”

Hujan menetes dari telinga Pickard.

“Apa kau mendengarku, Pickard!”

Sang Letnan berteriak, namun tetap tak ada respon. Rasanya seperti berteriak ke dalam sumur.

“Pickard!”

“Jangan ganggu dia,” kata Simmons.

“Kita tidak bisa meninggalkan dia di sini.”

“Lantas kita harus bagaimana? Menggotongnya sepanjang jalan?” cetus Simmons. “Dia sudah tak ada gunanya bagi kita atau bagi dirinya sendiri. Kau tahu apa yang akan dia lakukan? Dia hanya akan berdiri di sini dan tenggelam dalam curahan hujan.”

“Apa?”

“Seharusnya kau sudah menyadari hal itu sekarang. Apa kau tidak pernah dengar ceritanya? Dia akan berdiri di sini dengan kepala tengadah dan membiarkan hujan memenuhi mulut dan hidungnya. Dia akan menghirup air.”

“Tidak.”

“Itu yang dilakukan Jendral Mendt dulu. Duduk di atas batu dengan kepala tengadah, menghirup air hujan. Ketika ditemukan, paru-parunya sudah penuh dengan air.”

Sang Letnan kembali menyalakan lampu senternya dan mengarahkannya ke wajah Pickard. Mata prajurit itu tak berkedip. Air yang memenuhi hidungnya mulai bergemeritik seolah tengah mengisi rongga-rongga tubuhnya.

“Pickard!” Sang Letnan menampar wajah prajurit tersebut.

“Dia tak bisa merasakan apa-apa,” kata Simmons. “Dalam waktu beberapa hari, dia akan kehilangan semua sensasi pada tubuhnya. Tangan, kaki, wajah.”

“Tapi kita tidak bisa meninggalkan dia di sini.”

“Aku tahu apa yang bisa kita lakukan.” Simmons menembakkan senjatanya.

Tubuh Pickard jatuh tertelungkup di atas permukaan tanah yang digenangi air hujan.

“Jangan bergerak, Letnan,” kata Simmons. “Pistol ini siap kutembakkan ke arahmu. Coba pikir, dia hanya akan berdiri atau duduk di tempat ini sambil menunggu sampai semua organ-organ tubuhnya digenangi air. Dengan begini, dia tak perlu tersiksa.”

Sang Letnan berkedip, menatap mayat prajurit di dekat kakinya. “Tapi kau membunuhnya.”

“Ya, karena kalau tidak dia yang akan membunuh kita. Dia hanya akan jadi beban bagi kita. Kau sudah lihat wajahnya. Dia sudah tidak waras.”

Setelah beberapa saat, Sang Letnan akhirnya mengangguk. “Baiklah.”

Mereka beranjak dari sana, menembus gerai hujan.

Di sekitar mereka, kegelapan itu seolah tak berujung-pangkal. Bahkan cahaya dari lampu senter yang mereka nyalakan hanya sanggup menjangkau jarak pandang sejauh satu meter. Setelah berjalan selama setengah jam, mereka terpaksa berhenti dan duduk menunggu datangnya fajar. Perut mereka keroncongan. Tubuh mereka pegal dan ngilu. Ketika fajar yang ditunggu akhirnya tiba, suasana di sekitar mereka berubah keabuan—dan hujan masih terus mengguyur. Mereka mulai berjalan lagi.

“Kita salah kalkulasi,” kata Simmons.

“Tidak. Sejam lagi kita pasti sampai.”

“Tolong bicara lebih keras. Aku tidak bisa mendengar suaramu.” Simmons berhenti melangkah dan tersenyum. “Ya ampun,” katanya seraya memegang kedua telinganya. “Pendengaranku mulai pudar. Hujan ini sudah mulai membuat telingaku mati rasa.”

“Kau tidak bisa dengar apa-apa?” tanya Sang Letnan.

“Apa?” tanya Simmons dengan pandangan penuh tanya.

“Lupakan saja. Ayo.”

“Kurasa sebaiknya aku menunggu di sini. Kau duluan saja, Letnan.”

“Kau tidak bisa menunggu di tempat ini.”

“Aku tidak bisa mendengarmu. Sudah, kau duluan saja. Aku lelah. Menurutku arah menuju Kubah Matahari tidak lewat sini. Dan kalaupun ada Kubah Matahari di sekitar sini, kurasa pasti kondisinya sudah rusak seperti yang sebelumnya. Aku mau duduk di sini saja.”

“Ayo, bangkit!”

“Sampai jumpa, Letnan.”

“Kau tidak bisa menyerah sekarang.”

“Aku masih punya pistol, kau lupa? Aku bisa melakukan apa saja yang kumau. Aku tidak perduli lagi soal Kubah Matahari. Aku belum gila, tapi tidak lama lagi aku akan menyusul Pickard. Dan aku tidak mau mati dengan cara itu. Begitu kau sudah tak ada dalam jarak pandangku, aku akan menggunakan pistol ini untuk menembak diriku sendiri.”

“Simmons!”

“Kau baru saja menyebut namaku. Hanya itu yang kutangkap dari gerak bibirmu.”

“Simmons.”

“Sudah waktunya, Letnan. Kalau aku tidak mati sekarang, dalam waktu beberapa jam aku juga pasti mati. Kau tunggu saja sampai kau tiba di Kubah Matahari yang kau cari—itu kalau kau bisa menemukannya—dan mendapati atapnya bolong-bolong. Kita lihat apa reaksimu nanti.”

Sang Letnan menunggu, lantas ia beranjak pergi menembus gerai hujan. Ia sempat membalikkan tubuh sekali dan memanggil nama Simmons. Namun prajurit itu hanya terduduk di atas batu sambil memegang pistol di tangan, menunggu sampai ia tak lagi ada dalam jarak pandangnya. Simmons menggelengkan kepala dan melambai ke arah Sang Letnan seolah mengusirnya.

Sang Letnan bahkan tak mendengar letusan senjata itu.

Sambil jalan, Sang Letnan mengudap bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Untuk sesaat perutnya menerima asupan itu; dan artinya bunga-bunga tersebut tidak beracun. Namun bunga-bunga itu juga tidak mengenyangkan; dan dalam waktu beberapa menit, ia memuntahkan isi perutnya karena mual.

Sang Letnan juga sempat memetik sejumlah dedaunan untuk kemudian ia jadikan topi pelindung dari hujan; namun ia sudah pernah mencobanya dan gagal—hujan dengan cepat menghancurkan dedaunan yang ia susun sedemikian rupa untuk dijadikan topi sementara. Begitu dedaunan itu dipetik, tanaman rambat yang menopangnya pun lantas mengerut dan membusuk di tangannya.

“Lima menit lagi,” gumam Sang Letnan pada diri sendiri. “Lima menit lagi dan aku akan tiba di tepi pantai. Aku akan menenggelamkan diri di laut. Manusia takkan sanggup hidup dalam kondisi seperti ini. Bisa gila lama-lama.”

Langkahnya gontai ketika berjalan di tengah lumpur setinggi lutut yang bertaburan dengan dedaunan. Lalu ia tiba di kaki sebuah bukit kecil.

Di kejauhan, ia melihat kilau cahaya kekuningan di antara gempuran air hujan.

Kubah Matahari.

Melalui celah yang terbentuk di antara batang-batang pepohonan, Sang Letnan melihat sebuah bangunan bundar, nun jauh di depan. Untuk sesaat, ia hanya bisa berdiri termangu, tubuhnya bergoyang lemas. Pandangannya tak mau lepas.

Sang Letnan segera berlari; namun tidak lama—dan akhirnya mengurangi kecepatan. Dia takut. Dia tidak memanggil siapa-siapa atau berteriak minta tolong. Bagaimana jika Kubah Matahari ini sama seperti sebelumnya? Bagaimana bila bangunan ini juga telah dipenuhi tanaman rambat dengan langit bolong-bolong dan dinding yang membusuk? Bagaimana bila matahari yang ditunggunya tak ada di sana?

Sang Letnan terpeleset jatuh. Ia menghela napas. Aku akan berbaring di sini, pikirnya; bangunan itu pasti sudah rusak. Tak ada gunanya ke sana. Aku mau berbaring di sini, melepas lelah. Minum air sebanyak-banyaknya.

Tapi Sang Letnan tetap bangkit berdiri. Ia berjalan dan menyeberangi beberapa kali kecil; sementara cahaya kuning di kejauhan itu tampak semakin silau. Sang Letnan pun mulai meningkatkan kecepatan langkahnya—setengah berlari. Lebih cepat lagi. Lebih cepat lagi. Kakinya menembus lapisan hujan. Tangannya mengayun bebas dan menebas rantai hujan.

Sang Letnan berdiri di depan pintu berwarna kuning. Jajaran huruf di atas pintu itu mengeja KUBAH MATAHARI. Ia meletakkan sebelah tangan yang sudah mati rasa ke atas pintu untuk merasakan permukaannya. Lantas ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk.

Ia berdiri di ambang pintu sambil mengawasi sekelilingnya. Di belakangnya, hujan terus mengguyur dan bergejolak di pintu. Di hadapannya, di atas sebuah meja rendah, ada sebuah ceret yang terbuat dari perak dan berisi coklat panas—mengepul. Di sampingnya ada sebuah cangkir yang dipenuhi cairan coklat panas dengan campuran bantalan marshmallow. Di sampingnya lagi ada sebuah nampan yang menyajikan sejumlah roti isi tebal dengan lapisan daging ayam, irisan tomat segar serta bawang bombay. Dan terselempang di atas sebuah batangan besi tepat di depan matanya ada selembar handuk lembut berwarna hijau; serta sebuah keranjang tempat menyingkirkan pakaian basah. Di sebelah kanannya juga ada sebuah kubikel di mana sinar panas yang berasal dari matahari sintetis dapat mengeringkan tubuh yang basah dalam sekejap. Kemudian di atas sebuah kursi telah tersedia setumpuk pakaian bersih untuk siapa saja yang membutuhkannya.

Di ruangan yang sama juga tersedia kopi panas yang disimpan dalam teko besar yang terbuat dari tembaga; serta sebuah mesin fonograf yang tengah melantunkan musik sendu. Selain itu juga ada tumpukkan buku yang dibalut dengan sampul kulit berwarna coklat dan merah. Di sisi tumpukkan buku-buku tersebut ada sebuah kasur yang lembut dan empuk tempat siapa saja boleh berbaring sambil minum, makan dan membaca di bawah naungan sinar matahari buatan.

Sang Letnan menggosok matanya. Sejumlah pria menghampirinya. Namun mereka tak mengatakan apa-apa. Sang Letnan menunggu dengan mata nanar, lantas ia menunduk ke bawah: air yang menetes dari setelan seragamnya kini telah membentuk genangan di sekitar kakinya; ia merasakan kepala, dada, tangan dan kakinya mulai mengering.

Lantas ia mendongak ke atas dan menatap bola sintetis yang menggantung di tengah ruangan.

Matahari.

Bola itu besar dan kuning dan hangat. Tak ada suara yang timbul dari bola tersebut, ataupun dari ruangan yang dinaunginya. Kemudian pintu itu ditutup dan Sang Letnan merasakan tubuhnya sedikit tergelitik. Hujan tak ubahnya sebuah memori yang sulit ia gambarkan, namun bisa ia rasakan sesekali. Matahari menggantung tinggi di bawah langit-langit ruangan yang berwarna biru. Panas, kuning, dan perkasa.

Sang Letnan melangkah lebih jauh ke dalam ruangan tersebut sambil melepas pakaiannya satu per satu. FL

2013 © Fiksi Lotus dan Ray Bradbury. Tidak untuk dijual, ditukar atau digandakan.

————–

#CATATAN:

>  Cerita ini bertajuk “The Long Rain” karya RAY BRADBURY yang pertama kali diterbitkan oleh jurnal fiksi ilmiah, Planet Stories, pada tahun 1950an.

>> RAY BRADBURY adalah seorang penulis fiksi ilmiah asal Amerika Serikat yang telah menulis sejumlah novel dan kumpulan cerpen. Karyanya yang paling dikenal merupakan sebuah novel distopia berjudul Fahrenheit 451. Ia meninggal di usia 91 tahun pada bulan Juni 2012.

#POIN DISKUSI:

1. Apa kesan utama kamu terhadap Planet Venus?

2. Dalam cerita ini, Ray Bradbury mengangkat tema kemanusiaan di tengah situasi pelik. Secara detail, ia memberikan proses yang deskriptif terhadap kondisi fisik dan psikologis masing-masing karakter dari awal hingga akhir cerita. Berdasarkan pengamatan tersebut, apa kira-kira tema yang diangkat penulis dalam cerita ini?

3. Simbol-simbol dalam cerita ini sangat jelas, bahkan cenderung repetitif, namun pada saat bersamaan juga terselubung. Simbol apa saja yang kamu perhatikan—dan apa tafsirannya?

4. Menurut kamu apa yang tersirat dari ending cerita?

5. Bila dibaca berurutan dengan cerita pendamping (tie-in) yang ditulis khusus oleh Maggie Tiojakin berjudul “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa” – apa kesan yang kamu dapatkan?

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

10 Comment on “Hujan Berkepanjangan

  1. Ping-balik: Hujan Tak Pernah Salah | Portal Berita Buku

Tinggalkan balasan