Kriteria fiksi macam apa yang dianggap ‘menjual’ oleh jurnal-jurnal ternama mancanegara? Bagaimana cara penulis bersaing dengan satu sama lain demi menarik perhatian pembaca? Di edisi terbaru Novel & Short Story Writer’s MARKET 2013 ada sedikit tips dari para EDITOR tentang cerita pendek macam apa yang menurut mereka pantas untuk diterbitkan. Penasaran kan?
Selamat membaca!
~ Fiksi Lotus
——————-
“Pertama-tama, cek ejaan, tanda baca dan penggunaan kalimat dalam tulisanmu…dan kalau kau ingin menulis fiksi, kau juga harus banyak membaca fiksi. Kalau berniat menjadi penulis cerita pendek, maka kau harus membaca cerita pendek sebanyak mungkin. Setelah itu, baca hasil tulisanmu keras-keras. Kalau ada kalimat yang terdengar ‘aneh’—segera cabut dari tulisanmu. Dan jangan pernah mengirim draft pertama tulisanmu kepada editor, karena itu adalah tulisan yang belum selesai. Kenapa kau harus melakukan semua ini? Karena semua poin-poin yang saya sebutkan menyimpulkan bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan. Kalau kau ingin ceritamu dibaca banyak orang, maka kau harus bekerja keras. Semua cerita yang ingin kau kirimkan ke editor majalah atau buku harus terbaca rapi, bersih, padat dan jelas. Setiap kalimat yang ada dalam ceritamu harus menunjukkan bahwa kau telah bekerja keras menghasilkan tulisan tersebut. Sebuah karya bisa dikatakan bagus, tapi bagus saja tidak cukup. Untuk meraih pembaca seluas mungkin, diperlukan karya yang luar biasa. Kami menerima banyak sekali kiriman cerita pendek yang bagus, tapi kami hanya menerbitkan cerita-cerita yang menurut kami luar biasa. Cerita-cerita yang tidak terlupakan, yang menyentuh kami, yang sangat kami sukai. Standar ‘cerita bagus’ terlalu rendah untuk kami. Cerita yang luar biasa akan selalu teringat di kepala pembacanya.” ~ Anthony Varallo, Editor Fiksi, CRAZYHORSE
—————
“Pembaca sangat peduli terhadap karakter dan bahkan setelah cerita selesai, mereka tetap memikirkan karakter yang mereka temui di dalam cerita tersebut. Cerita harus memiliki detail yang bisa dibayangkan jelas oleh pembaca, serta menjadi pegangan si pembaca. Dan bila ada dialog dalam cerita itu, maka dialog tersebut harus terdengar nyata, dan tidak dibuat-buat atau berlebihan. Selain itu, cerita yang kami cari harus bisa menawarkan pandangan hidup yang segar dan mendalam. Sesuatu yang punya arti serta nilai resonansi terhadap pembaca. Dan, di akhir cerita, pembaca merasa puas. Bukan berarti cerita itu harus berakhir bahagia, tapi ada perasaan bahwa sebagian dari perjalanan si karakter telah tiba di penghujung jalan.” ~ Susan Burmeister-Brown, Co-Editor, GLIMMER TRAIN STORIES
—————
“Cerita yang kami inginkan adalah cerita yang bisa mengangkat dirinya di atas cerita-cerita lain—yang menarik perhatian kami dengan cepat, bahkan di kalimat pertama, serta membuat kami terbuai setelah membaca satu, dua paragraf. Cerita yang kami inginkan akan membuat kami terpaku pada setiap kata dan kalimat hingga cerita itu selesai, dan seluruh indera kami terpicu karena begitu senang menemukan cerita yang luar biasa. Cerita seperti ini adalah cerita yang bisa kami cerna, dan juga membuat kami terpukau dan terhubung pada manusia lain. Kami mencari cerita yang bisa menarik perhatian kami lewat ritme, penggunaan kalimat serta kepribadian karakter di dalamnya. Semua karakter harus terasa hidup. Selain itu, detail yang kuat akan membuat suara si penulis dan para karakternya lebih terdengar, hingga membawa pembaca ke bawah permukaan interior atau eksterior cerita. Namun, semua elemen ini juga tidak boleh bertabrakan dengan alur narasi cerita.” Susan Mase, Editor Fiksi, NIMROD
adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.
Wow! Pengakuan editor yg sangat manis!
SukaDisukai oleh 1 orang
bagus. informasi yg berguna bwt penulis fiksi.
SukaDisukai oleh 1 orang
nice info!!
SukaDisukai oleh 1 orang
Terkait bocoran Bang Anthony bahwa penulis harus banyak baca sesuai genre yang ingin ditulis, saya ada pertanyaan, kenapa ya semakin saya banyak membaca saya malah semakin takut untuk menulis. Terlebih lagi kalau membaca dengan teliti, berusaha mencari tahu arti simbol suatu adegan, arti penting setiap adegan, urutan yang dipilih penulis, dsb, sehingga yang kemudian terbayang adalah kesulitan meraih pemahaman akan hal-hal semacam itu.
Adapun kiat dari Mbak Susan bahwa cerita yang baik harus membuat pembaca terus memikirkan karakter dalam cerita, saya punya pengalaman begini: saya pernah menulis “novel ini jelek sekali” di halaman pertama sebuah novel setelah selesai membacanya, kurang lebih satu tahun kemudian cerpen saya pertama kali diterima sebuah koran, lalu selama beberapa tahun saya tak bisa menulis apa pun sehingga saya kembali membuka-buka novel-novel yang pernah saya baca hingga ketika membaca novel yang telah saya labeli jelek tersebut saya mendapati bahwa beberapa kata pertama dalam cerpen koran saya adalah kata yang ada di dalam novel itu, begitu juga dengan tema dan kecenderungan karakter utamanya (tetapi syukurlah jalan cerita berbeda). Rupanya saya begitu terpengaruh oleh cerita yang secara lahiriah saya sangkal kehebatannya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Dear Agus, Saya juga mengalami hal yang serupa. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa menulis itu adalah naluri. Setiap orang punya suara hati dan gaya bertutur yang berbeda. Maka menulislah tanpa berpikir, dalam artian lepaskan semua teori-teori itu. Saya juga yakin para penulis karya tersebut ketika menulis tidak pernah berpikir seperti yang pembaca pikirkan dan menemukan rumus-rumus menulis. Mengalirlah dan lahirkan karya! Membaca buat saya adalah untuk menemukan bahasa cerita yang dikepala saya. Kunikmati tanpa perlu kurumuskan, kecuali jika kamu ingin buat ulasan untuk buku tersebut. Demikian
SukaDisukai oleh 1 orang
Reblogged this on indri hapsari.
SukaDisukai oleh 1 orang
Reblogged this on hestipratiwia and commented:
Great Tips 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Reblogged this on Sasphire's and commented:
Greget!!
SukaDisukai oleh 1 orang