Veridiana

Mata Sisi yang bulat dan indah kecoklatan berbinar menatap boks mungil berlogo oranye yang kuulurkan. Disambutnya boks itu dengan dua tangan. Sudah kuduga, Sisi langsung mengendus tepi boks. Matanya terpejam.

Senyum yang kutunggu-tunggu itu merekah di bibir mungil berlipstik merah jambu. Kue klappertaart dari Toko Klappertaart Aletta memang selalu membuat Sisi melupakan segalanya.

Sisi membuka mata. Ia mengelus logo berwarna oranye yang dikelilingi awan-awan biru. Dibukanya boks dan plastik yang membungkus ketat cangkir klappertaart. Inilah salah satu keistimewaan klappertaart buatan Ibu Aletta: keharuman klappertaart menembus plastik pembungkus dan boksnya.

“Mana sendoknya, sayang?” Ia menoleh padaku.

Hatiku lega mendengarnya. Berarti, sudah melunaklah hati kekasihku; mencair bersama harum kacang kenari panggang yang berpadu dengan kelapa muda, susu, kayu manis, rum, dan entah apa lagi yang terbaur dalam kelembutan tekstur klappertaart. Kuulurkan sebuah sendok plastik transparan padanya.

Sisi menyodorkan cangkir itu di depan hidungku. “Mau?”

“Buat kamu saja, sayang. Aku kenyang,” kataku berbohong. Aku tak pernah keberatan Sisi menikmati kue itu sendirian, karena menatapnya saat menyantap klappertaart—menyendok dengan hati-hati, dengan bola mata sepenuhnya mengikuti gerakan sendoknya, menyesapnya dengan mata separuh terpejam, dan akhirnya mengeluarkan sendok yang sudah licin tandas, demikian berkali-kali–bagiku sudah melebihi kenikmatan klappertaart itu.

Selama ini, hanya sifat pelupaku yang sering menyebabkan Sisi ngambek. Semakin numpuk pekerjaanku di kantor, aku semakin pelupa. Padahal, separuh bagian otakku tak pernah melepaskan Sisi dari ingatan. Tetapi ada kalanya aku lupa membeli titipan martabak ayahnya; lupa mengambilkan pesanan madu ayahnya selama berhari-hari; lupa menjemput ibunya; serta berbagai lupa lainnya yang membuat ayah Sisi merajuk—hingga akhirnya membuat Sisi ikut pula merajuk.

Usiaku yang terpaut jauh dengan Sisi mendorongku untuk selalu mengalah. Bagaimana pun, Sisi membuat hari-hariku tak pernah membosankan, meski hanya dengan memikirkannya. Ia lebih manis dibandingkan secangkir klappertaart yang sesekali kuantarkan untuk meredakan ngambek dan cemberutnya.

“Kuberi tahu ya, Mas Gani,” kata Sisi sambil meletakkan cangkir aluminum foil yang sudah licin tandas, “sensasi klappertaart ini membuatku ringan seperti awan-awan ini,” lanjut Sisi sambil menunjuk gambar awan di boks kue.

“Oya?” Aku ingin mencium bibirnya.

“Lelehannya di lidah membalut diriku dengan ingatan pada masa kanak-kanak, kegembiraan ulang tahun, dan cinta. Manis, asin yang samar, gurih, wangi-wangian yang harmonis, sejuk, menyatu dan meresap lembut. Kenapa ya bisa begitu?” Sisi mendesah sambil mengulum senyum.

Aku hanya menggeleng. Kuusap tengkuknya yang jenjang dan halus.

“Mungkinkah aku bosan, kalau sudah bisa makan kue ini setiap hari?” sambung Sisi sambil terkekeh.

“Mungkin saja,” jawabku cepat, menutupi rasa rendah diri yang mendadak muncul. Membeli kue ini setiap hari pasti akan menjadi beban tambahan bagi anggaran biaya hidupku yang membengkak sejak Sisi menjadi kekasihku.

“Belum ada rasa baru?”

Aku menggeleng.

Kami duduk bersisian dalam diam. Sisi mengetuk-ngetukkan sendok pada cangkir klappertaart. Tatapannya menerawang, sementara aku mengelus jari-jarinya dan merapikan anak rambutnya yang terhembus angin.

“Mas Gani,” mendadak wajahnya berubah serius, “maukah kau berjanji?” Ia menatapku lekat-lekat. Perasaanku mendadak tak enak.

“Janji apa?”

“Bawakan aku klappertaart yang lebih enak lagi.”

“Katanya belum bosan dengan klappertaart Ibu AlIetta.”

“Belum. Tapi, pasti Ibu Aletta bisa bikin yang lebih enak lagi dari ini,” jawab Sisi tegas.

“Kapan-kapan akan kutanyakan,” jawabku cepat-cepat. Aku waswas Sisi mulai bosan pada klappertaart Ibu Aletta. Dengan apa lagi aku melumerkan keras hatinya.

“Jangan hanya bertanya. Cari. Di atas langit pasti ada langit. Tak mungkin hanya Bu Aletta yang bisa bikin klappertaart yang enak.” Wajah manis itu kini terlihat gusar.

“Cari ke mana?”

“Pokoknya cari. Keliling Jakarta. Aku tak mau hanya sampai di awan-awan ini,” katanya sambil menunjuk boks kue. “Di atas awan ini ada langit menuju—” ia berhenti dan terlihat ragu “—surga.”

“Surga?” Aku terkekeh.

Sisi bergeming. Wajahnya semakin serius.

“Hmmm. Klappertaart rasa surga ya.”

“Ya, rasa surga. Pasti ada.”

Kucari-cari kilatan iseng dalam matanya. Aku merinding. Yang kutemukan hanya tatapan tak puas dan penuh gejolak nafsu. Bukan padaku, tentunya. Pada suatu rasa yang tak kumengerti.

Aku terkesiap. Mendadak aku curiga Bu Aletta mencampurkan narkotika ke dalam kuenya. Sisi melengos, menghindari tatapanku. Hatiku ciut.

“Akan kucari,” kataku. Tiba-tiba, aku merasa bagai samurai pengemban tugas suci.

Mendadak Sisi tampak kembali riang. Jari-jemari Sisi yang lentik bergerak gemulai menyisir rambutku yang semakin menipis, seperti gerak tarian Jawa yang diajarkannya pada murid-muridnya di sanggar.

Tiga hari berturut-turut aku terkapar kelelahan sepulang dari bekerja lembur. Gaji yang hanya naik sedikit tahun ini kuterima disertai dengan tepukan di bahu dan senyum lebar bosku, ketika sebuah tambahan tugas diserahterimakan padaku dari seorang staf administrasi yang mengundurkan diri.

Akibat kesibukanku itu, Sisi merajuk lagi karena keteledoranku: lupa membawakan jamu anti rematik yang dipesan ayahnya dari tukang pijat langganan. Kata adiknya, semalaman seisi rumah tak dapat tidur nyenyak karena ayah mereka mengerang-erang; minta digosok balsam, dipijat, diusap-usap, karena rematiknya kambuh. Sampai-sampai, ibu mereka juga kambuh sakit maagnya.

Sabtu siang, setelah satu jam lebih Sisi mendiamkanku di teras rumahnya, aku pamit pulang. Sebenarnya aku tidak pulang, melainkan memacu motorku menuju Toko Klappertaart Aletta.

Dari yang aku dengar, Toko Klappertaart Aletta tak pernah sepi pengunjung, tetapi juga tak pernah terlalu ramai sampai tamu lama menunggu untuk dilayani. Bagai sungai yang tak pernah tergesa-gesa, katanya rejeki mengalir tak henti di toko kecil bercat ungu muda itu. Padahal, letaknya dari jalan raya agak menjorok ke dalam, terjepit di antara toko gorden di sisi kiri dan sebuah toko perlengkapan bayi yang besar di sebelah kanan. Juga tanpa nomor telepon.

Aku menapaki sebuah tangga rendah di depan pintu berangka putih yang separuh bagiannya membingkai sebentuk kaca bulat bening. Awning bergaris-garis ungu dan putih melengkung menaungi anak tangga. Aku selalu tak lupa membunyikan lonceng kuningan yang berkilap di depan pintu. Patung keramik berbentuk anak perempuan sedang memegang payung menghias bagian atas lonceng itu.

Pintu tak berderit saat dibuka, tanda pemilik toko rajin meminyaki engselnya. Musik instrumental mengalun dari dalam toko. Semerbak harum kayu manis menyergap hidungku.

Seorang anak perempuan berambut keriting duduk merentangkan pahanya lebar-lebar di lantai. Ia asyik menyendok dari cangkir klappertaart. Di meja makan mungil di sisi kanan, seorang wanita muda melamun sambil menatap klappertaart bertabur keju di tangannya; mungkin ia sedang mengira-ngira resepnya. Di seberangnya, seorang kakek sedang menyendok klappertaart dengan perlahan.

Ibu Aletta sedang membaurkan semangkuk besar daging buah kelapa muda—yang terlihat segar, putih dan licin—dengan adonan di dalam sebuah wajan. Lalu ia menuangkan mentega cair sambil mengaduk adonan.

Badan Ibu Aletta yang tinggi besar tampak kurang serasi dengan tokonya yang mungil. Rambutnya yang tersasak rapi seolah di-highlights karena sebaris uban. Andeng-andeng besar bak kismis di atas klappertaart bertengger di dagunya yang bulat berdaging. Mungkin itu yang orang bilang: tahi lalat hoki.

Aku membalas senyum Ibu Aletta. Dia menatapku bersemangat dengan matanya yang bulat di atas pipi yang kemerahan.

“Halooo,” suaranya yang besar dan mengalun adalah bagian penting suasana toko ini.

“Halo.”

“Nyong mau ambil rasa apa hari ini?” Dia selalu memanggilku Nyong, sebutan untuk pria dalam bahasaManado, dalam logat daerahnya yang khas.

“Adarasa baru, Bu? Yang lebih enak lagi.”

Sekilas Ibu Aletta tertegun.

“Belum ada rasa baru, Nyong.”

“Tidak apa, Bu. Rasa asli dengan taburan kismis dan kacang kenari.”

“Berapa cangkir?”

“Saya beli dua.” Anggaplah merayakan kenaikan gaji, pikirku.

Ibu Aletta mengambil dua cangkir klappertaart dari showcase berpendingin. Dibungkusnya cangkir keperakan itu dengan cekatan ke dalam boks. Ia mengulurkan kantung plastik berisi kue dan mengangguk padaku sambil tersenyum. Aku merogoh saku pantalonku dan menyerahkan padanya uang yang sudah aku siapkan.

“Jangan lupa, makan dingin-dingin. Lebih enak rasanya.”

Aku hanya mengangguk menanggapi saran standarnya itu.

Di rumah Sisi, kudapati Ronald dan Donald, sepupu kembar Sisi, sedang bermain di ruang tamu. Karena itu, dengan sembunyi-sembunyi, aku mengulurkan boks klappertaart pada kekasihku.

Ia menatapku tajam. “Masih rasa yang sama?”

“Ya. Tetapi semua orang bilang ini masih tetap klappertaart yang terenak se-Jakarta.”

“Aku ingin coba yang lebih enak lagi.”

“Aku bawa dua cangkir.”

“Taruh saja di kulkas,” katanya acuh tak acuh.

Ronald dan Donald menoleh mendengar suara Sisi. Mata mereka berbinar menatap boks kue di tanganku.

“Apa itu? Kue?!” teriak Ronald.

“Mbak Sisiii! Boleh buatku?” tanya Donald penuh harap.

“Buatku juga!” Ronald tak mau kalah.

Aku tak rela.

“Boleh, tapi hanya satu saja. Berbagi separuh-separuh. Jangan bertengkar,” kata Sisi tegas.

“Dua-duanya ya?” Ronald memandang Sisi dengan memelas.

“Kubilang satu saja.”

Ronald dan Donald merebut boks dari tanganku, langsung berlari mengambil sendok di atas meja makan.

Sisi kembali duduk memunggungiku sambil nonton televisi. Aku gemas menyaksikan bocah-bocah gendut yang tak sopan itu berebut kue. Sisi tak mau bicara hingga dua jam kemudian.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk kembali ke toko Ibu Aletta. Ibu Aletta sedang mengeluarkan nampan besar dari dalam oven sambil bersenandung kecil. Lalu ia menyambutku sambil melepaskan sarung tangannya.

“Ibu, tolonglah buat rasa yang baru.”

Ibu Aletta berdecak tak sabar. Lalu, ia mengelus dada sambil tersenyum dipaksakan. “Sebenarnya, Nyong mau rasa apa?”

“Rasa yang paling enak di antara semua jenis yang Ibu buat.”

Ibu Aletta mengelus-elus tahi lalat besar di dagunya.

“Adayang rasa… surga?” aku berbisik ragu-ragu, dan sedikit malu.

Ibu Aletta tampak terkejut. “Dari mana Nyong tahu, saya coba buat klappertaart rasa surga?” ia membisikkan kata surga lebih lirih daripada diriku.

“Percayalah, bukan dari mana-mana, Ibu.”

Pandangannya mendadak lesu. “Saya sudah bosan bikin rasa yang itu-itu saja. Sudah coba membuat rasa baru berulang-ulang. Saya ingin bikin klappertaart dengan rasa yang fantastis. Tak terlupakan.”

“Yang bagaimana maksudnya, Ibu?”

“Kalau dimakan, rasanya tidak dapat dilupakan. Biar sudah seminggu, sebulan, setahun, sepuluh tahun…orang yang makan tidak akan pernah lupa rasa itu.”

“Apa yang akan terjadi setelah itu, Ibu?”

“Pelanggan saya cuma akan beli satu kali. Tak pernah lagi menuntut rasa yang baru. Ketidakpuasan mereka akan berakhir. Jadi saya bisa pensiun dengan tenang.”

“Kalau sudah ada, kasih tahu saya, Ibu. Biarpun mahal, saya pesan dua.”

Tetapi, tampaknya Ibu Aletta tak mendengar. Tatapannya menerawang, tenggelam dalam lamunannya tentang klappertaart rasa surga. Seketika ia terlihat tua dan letih.

Lonceng di pintu masuk bergemerincing. Angin berhembus dari pintu toko yang dibuka. Seorang kakek yang pernah kulihat di toko ini berjalan masuk.

“Adarasa baru, Bu Aletta?”

2011 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Verdiana. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.

___________________________________

# CATATAN:

> Cerpen ini belum pernah diterbitkan sebelumnya, karya Veridiana.

>> VERIDIANA adalah seorang entrepreneur dan penulis muda serta pembuat klappertaart yang tinggal di Jakarta. Karyanya sudah pernah diterbitkan di media massa sebelumnya.

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

5 Comment on “Klappertaart

Tinggalkan balasan