Etgar Keret

Katanya, “Jangan disentuh.” Maka aku bertanya, “Apa ini?”

“Lem,” jawabnya. “Lem khusus. Superglue.”

Dan aku tanya lagi: “Untuk apa kau beli itu?”

“Karena aku butuh,” katanya. “Ada banyak hal yang harus kurekatkan.”

“Tidak ada yang perlu direkatkan,” hardikku. “Aku tidak mengerti kenapa kau harus membeli barang-barang tak berguna macam ini.”

“Alasannya sama dengan alasanku menikahimu,” celetuknya balik. “Sekadar untuk membunuh waktu.”

Aku sedang tidak ingin bertengkar, maka akhirnya kuputuskan untuk diam saja. Dia juga melakukan hal serupa. “Memang lem ini berkualitas tinggi?” tanyaku. Dia menunjukkan foto yang tertera di atas kotak pembungkus lem, di mana figur seorang laki-laki tampak menggantung terbalik dari langit-langit ruangan. Seolah lem itu dioles di alas sepatunya.

“Mana ada lem yang bisa merekatkan orang seperti itu di langit-langit ruangan,” kataku. “Mereka pasti mengambil foto itu dengan metode terbalik. Orang itu berdiri di atas lantai yang didesain menyerupai langit-langit. Perhatikan posisi jendela ruangan dalam foto itu. Jepitan penahan tirai tampak terbalik. Ayo, lihat.” Aku menunjuk ke arah jendela dalam foto yang sama. Dia tidak menoleh barang sedikitpun. “Sekarang sudah pukul delapan,” kataku. “Aku harus berangkat.” Kuangkat tas kerjaku dan kukecup pipinya. “Aku akan pulang telat malam ini. Aku—”

“Aku tahu,” sahutnya. “Kau banyak pekerjaan.”

Aku menelepon Mindy dari kantor. “Hari ini aku tidak bisa menemuimu,” kataku. “Aku harus pulang lebih cepat dari biasanya.”

“Kenapa? Ada masalah apa?”

“Tidak ada. Hanya saja aku curiga dia sudah mulai merasakan ada yang janggal di antara kami.”

Hening itu berlangsung lama. Aku bisa mendengar deru napas Mindy di seberang saluran telepon.

“Aku tidak mengerti kenapa kau tidak meninggalkannya saja,” bisik wanita itu pada akhirnya. “Kalian toh sudah tidak ada kecocokan lagi. Kalian bahkan terlalu malas untuk bertengkar. Aku tidak mengerti kenapa kau bisa terus-terusan begini. Apa yang membuatmu begitu lengket dengannya? Aku tidak mengerti,” lanjut Mindy. “Pokoknya aku tidak mengerti…” lalu dia mulai menangis.

“Jangin menangis, Mindy,” kataku. “Dengar,” kataku berbohong. “Aku harus pergi, ada tamu yang baru saja masuk. Aku akan menemuimu besok, aku janji. Nanti kita bicarakan semua ini.”

* * *

Aku pulang lebih cepat. “Halo!” sapaku begitu melewati pintu masuk rumah tinggal kami. Namun tak ada balasan. Aku keluar-masuk setiap ruangan dalam rumah. Dia tak ada di ruangan-ruangan itu. Tergeletak di atas meja dapur, aku menemukan tabung lem yang sudah kosong. Aku coba menarik salah satu kursi meja makan sebagai tempat duduk, namun kursi itu sama sekali tak bergerak. Aku coba lagi. Masih bergeming. Dia telah mengelem kursi itu di atas lantai. Pintu kulkas juga tidak bisa dibuka. Dia sudah mengelemnya rapat-rapat. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan semua ini. Menurut pengamatanku dia masih waras. Tidak biasanya dia begini. Aku beranjak ke ruang tamu untuk menggunakan pesawat telepon. Aku menduga dia sudah minggat ke tempat ibunya. Aku tidak bisa mengangkat gagang telepon dari tempatnya. Sama, dilem juga. Kesal, kutendang meja telepon itu dan nyaris mematahkan jari kakiku sendiri. Meja itu bergeming.

Tepat pada saat itu kudengar gema tawanya. Datangnya dari atas. Aku mendongak dan menemukannya bergantung terbalik — kakinya yang tak beralas menempel kokoh di langit-langit ruangan yang tinggi. Aku menatapnya, terkejut. “Apa-apaan ini? Apa kau sudah gila?” Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Senyumnya begitu alami, dalam posisi bergantung terbalik seperti itu — seakan bibirnya ditarik ke bawah oleh kekuatan gravitasi. “Jangan khawatir,” kataku. “Aku akan menurunkanmu.”

Kuraih buku-buku yang tersimpan di rak. Kutumpuk buku-buku ensiklopedi yang tebal satu per satu di atas lantai, lalu naik ke atas tumpukkan itu. “Ini tidak akan mudah. Kau mungkin akan mengalami sedikit rasa sakit,” kataku, seraya berusaha menyeimbangkan tubuhku di atas tumpukkan buku tadi. Dia tetap tersenyum. Aku menarik tubuhnya sekuat mungkin, tapi ia tetap bergeming. Perlahan-lahan, aku melangkah turun dari atas tumpukkan buku ensiklopedi. “Jangan takut,” kataku. “Aku akan pergi ke rumah tetangga untuk menggunakan telepon mereka dan mencari bantuan.”

“Terserah,” katanya sambil terus tertawa. “Aku juga takkan kemana-mana.” Pada saat itu, aku tak bisa menahan tawaku sendiri. Dia terlihat begitu cantik dan aneh, bergantung terbalik dari langit-langit seperti itu. Rambut panjangnya menjuntai ke bawah, buah dadanya menggantung seperti sepasang airmata raksasa di balik lapisan kaus berwarna putih yang ia kenakan. Cantik sekali. Aku kembali menaiki tumpukkan buku-buku ensiklopedi tadi dan mencium bibirnya. Lidah kami bersentuhan. Buku-buku yang menopangku mendadak runtuh berantakan di atas lantai, dan kakiku pun menggantung bebas di udara — seluruh tubuhku menggantung bebas di udara, tidak berpegangan pada apapun, hanya bibir kami yang saling memagut. FL

2014 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Etgar Keret. Tidak untuk dijual, ditukar ataupun digandakan.

————————

#CATATAN:

> Cerita ini bertajuk Crazy Glue karya ETGAR KERET dan merupakan salah satu cerita yang disertakan dalam buku koleksi cerita pendeknya yang berjudul The Girl on the Fridge.

>> ETGAR KERET adalah penulis Israel yang telah menghasilkan cerpen, novel grafis dan juga naskah film. Di antara karya-karyanya yang paling berpengaruh dalam dunia kesusastraan internasional adalah sebagai berikut: The Bus Driver Who Wanted to Be God & Other Stories, The Nimrod Flipout, serta Gaza Blues.

>>> Cerita ini merupakan salah satu yang paling sering diadaptasi ke dalam film pendek baik di Israel maupun negara-negara lainnya.

#POIN DISKUSI:

  1. Apa kesan kamu setelah membaca cerita ini?
  2. Menurut kamu, apa efek penggunaan satu nama saja dalam cerita ini — “Mindy” sementara dua tokoh lainnya hanya disebut dengan “aku” dan “dia”?
  3. Bagaimana kamu menginterpretasi simbol “lem” dalam cerita ini?
  4. Apa pendapat kamu tentang ending cerita?

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

16 Comment on “Alkisah Setabung Lem

  1. Ping-balik: [REVIEW BUKU] THE SEVEN GOOD YEAR – ETGAR KERET. – storyofjho

Tinggalkan balasan