Manuel Payno
Sudah lama Alfredo tidak mengunjungiku; lalu tiba-tiba saja, entah dari mana, dia muncul di kamarku. Wajahnya yang pucat; rambut panjangnya yang tergerai menutupi pipinya yang tirus; matanya yang memancarkan kesedihan; serta tanda-tanda penyakit serius yang tersebar di sekujur tubuhnya membuatku sangat waswas. Aku sampai tidak tega menanyakan apa penyakit yang dideritanya; ataupun sebab penyakitnya.
“Aku berada dalam kondisi ini gara-gara hal konyol, gara-gara pemikiran yang dipenuhi oleh impian,” kata Alfredo. “Kalau mau disingkat, penyebabnya hanya satu: cinta terpendam.”
“Apa mungkin?”
“Akan kuceritakan,” lanjut Alfredo. “Aku takkan menyebutkan secara spesifik siapa-siapa saja yang terlibat dalam cerita ini, namun kurasa kau pasti bisa mengerti isi ceritanya. Cerita semacam ini selalu meninggalkan kesan mendalam pada diri seseorang. Goresan luka yang bahkan tak bisa dihapus oleh waktu.”
Nada bicara Alfredo sarat akan rasa simpati. Ia bercerita dengan khusyuk, meski aku merasakan ada sedikit teror di dalam balutan kata-kata yang terlontar. Anehnya, aku jadi ikut tersentuh; dan aku segera memintanya untuk menceritakan kisah cinta terpendam itu. Alfredo pun melanjutkan:
“Kau pernah bertemu dengan Carolina?”
“Carolina! … Wanita muda dengan wajah ceria, pinggang mungil dan kaki kecil?”
“Benar, itu dia.”
“Ya, aku pernah melihatnya. Aku sangat terkesan olehnya … tapi … “
“Wanita muda itu,” lanjut Alfredo. “Aku mencintainya dengan sepenuh hati, sebagaimana anak manusia mencintai ibunya atau seorang malaikat. Sayangnya, nasib menghalangi jalanku dan tidak mengijinkanku untuk menunjukkan cinta dan hasrat ini yang aku yakin bisa membuat aku dan dia sangat bahagia.
“Aku pertama kali melihatnya di malam pesta dansa, dia begitu ringan menggerakkan tubuh dan kakinya, seolah melayang di udara. Ia berdansa seperti peri dalam dongeng. Wajahnya cerah dengan senyum amat lebar. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama—dan aku berusaha menembus keramaian untuk bertemu dengan wanita muda itu. Dia tampak seperti malaikat: indah dan suci. Maka aku mendekatinya dengan napas memburu, alisku juga berkeringat dingin saking gugupnya… Ah, cinta. Cinta adalah wabah yang mematikan. Oh ya, sampai mana tadi? Aku menghampiri wanita muda itu dan berusaha untuk mengutarakan beberapa kata—aku bahkan tidak sadar apa yang kuucapkan. Pokoknya, setelah itu dia mengajakku duduk. Dia sangat ramah terhadapku. Begitu kami duduk, dia membuka mulutnya dan mulai berkomentar tentang cuaca dan hal-hal yang tak penting. Meski begitu bagiku suaranya bagaikan lantunan lagu merdu; dan semua yang terlontar dari bibirnya terdengar begitu indah hingga aku masih mengingatnya sampai saat ini. Bila saat itu dia mengatakan di telingaku, ‘Aku mencintaimu, Alfredo’—atau bila dia menggenggam tanganku yang dingin seperti es dengan tangannya yang mulus dan meremasnya erat; atau bila dia mengijinkan aku untuk mengecup dahinya yang halus … oh, andai saja! Aku pasti menangis sesenggukkan penuh haru. Atau mungkin aku akan langsung gila. Atau mungkin aku akan mati kegirangan.
“Tidak lama setelah itu, seorang pria parlente datang mengajak Carolina dansa. Pria itu dengan kejam menarik Carolina dari sisiku. Oh, malaikatku, cintaku, permata hatiku! Semalaman itu Carolina berdansa, lalu berbincang dengan teman-temannya, sambil tersenyum ke arah pria-pria parlente lain yang ada di sana. Namun aku? Aku yang begitu memujinya tak diperhatikan sama sekali. Ia bahkan tak melihatku. Akhirnya, aku pun menarik diri. Aku merasa ditolak. Rasa cemburu menguasai hatiku dan aku mengutuk pesta dansa tersebut. Setibaku di rumah, aku segera menghempaskan diri ke atas ranjang dan menangis sejadi-jadinya.
“Pagi harinya, hal pertama yang kucari tahu adalah tempat tinggal Carolina. Tapi pencarian itu sempat tak membuahkan hasil. Suatu malam aku melihatnya di teater. Seperti biasa, dia tampak cantik dan menawan. Bibirnya mengulas senyum indah dan matanya memancarkan sinar keceriaan. Sesekali Carolina tertawa mendengar lelucon para aktor di atas panggung; dan di saat lain ia tampak sedih menyaksikan adegan-adegan menyentuh. Di waktu istirahat, dia memandangi bagian orkestra dan tempat duduk utama, mengagumi model-model pakaian terbaru yang dikenakan penonton wanita; serta jam saku dan pin dasi yang dikenakan para penonton pria. Ia juga melambaikan kipas tangannya di udara ke arah orang-orang yang dikenalnya seraya tersenyum. Mereka kemudian mulai berbincang. Namun untukku … dia tak menawarkan apa-apa. Dia bahkan tidak sekali pun menoleh ke arah tempat dudukku—meski mataku yang basah oleh airmata selalu mengawasi gerak-geriknya. Malam itu juga aku tidak bisa tidur—dihajar demam tinggi dan jantung berdebar hingga tak kuasa melakukan apa-apa kecuali berbaring di ranjang.
“Akhirnya aku harus mengambil keputusan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengetahui tempat tinggal Carolina serta segala hal tentang keluarganya. Aku juga mengetahui kehidupan macam apa yang telah dia jalani selama ini. Lantas bagaimana mungkin aku bisa masuk ke dalam lingkungan itu? Bagaimana aku bisa menawan hati seorang wanita muda yang terpandang di lingkungannya—yang menghabiskan hari-harinya bersantai di atas sofa berlapiskan bahan sutra, bercermin dan naik kereta kuda menghadiri acara-acara sosial kelas atas? Ah, jika saja para wanita kaya tahu makna cinta yang murni dan sejati; yang berkobar dalam dada kita. Jika saja mereka bisa melihat ke dalam jiwa kita yang selalu dibalut oleh cinta. Jika saja mereka sadar bahwa laki-laki seperti kita yang tak punya harta kekayaan seyogyanya dianugerahi hati yang tak pernah surut kasih sayang dan selalu setia. Wanita adalah harta yang tak terukur, dan oleh sebab itu kita selalu memperhatikan mereka layaknya bunga lily putih yang hidup di dalam vas mutiara. Oleh sebab itu, mereka akan membalas cinta kita dengan kelembutan. Namun … wanita takkan pernah bisa mencintai jiwa kita. Karakter wanita selalu cenderung jatuh hati pada pria pesolek daripada pria berhati jujur. Mereka lebih memilih pria dengan jam emas atau dasi daripada pria beritikad baik.
“Inilah siksaanku. Mengikuti seorang wanita muda yang selalu bepergian kesana-kemari dari satu pesta ke pesta lain di Mexico City. Aku mengikutinya dengan hati hancur dan perasaan terkoyak. Bila Carolina pergi ke teater, maka aku akan mengikutinya ke sana. Suatu kali, Carolina berjalan kaki di sebuah jalan yang dihimpit pepohonan rindang di taman Alameda: aku pun ada di sana, duduk di atas kursi taman berwarna gelap. Kemana pun dia pergi, Carolina selalu mengantarkan nuansa ceria dan keberuntungan; sementara aku memancarkan kesedihan. Jiwaku penuh dengan kepahitan dan hatiku perih.
“Aku memutuskan untuk menulis surat kepadanya. Kuberikan suratku kepada salah seorang kacungnya; dan malam berikutnya aku pergi ke teater dengan penuh harap. Siapa tahu malam itu Carolina akan melihat ke arahku dan memperhatikan wajahku yang pucat, lalu jatuh kasihan terhadapku … bagiku ini sangat berarti: setelah ia jatuh kasihan padaku, akan tumbuh rasa cinta terhadapku—maka aku akan jadi orang paling bahagia di dunia. Oh harapan yang sia-sia! Semalaman itu Carolina tak memandangku barang sekali pun. Seminggu kemudian aku tahu kenapa: kacungnya tak menyampaikan suratku kepadanya. Aku tak putus asa. Akhirnya, aku berhasil membujuk salah seorang temannya untuk menyampaikan surat yang kutulis untuknya dengan penuh cinta dan kelembutan. Tapi nyatanya setiap hari Carolina menerima lusinan surat bernafas serupa dari berbagai pria. Setiap hari ada saja orang yang menyatakan cinta kepadanya serta memuji kecantikannya—dari orangtua sampai para pembantu dan kacung-kacungnya. Maka ia enggan membaca surat dariku dan justru mengembalikannya tanpa mencari tahu siapa yang mengirim surat itu.
“Apakah kau pernah tahu rasanya saat cintamu ditolak? Apakah kau mengerti pengorbanan yang dibutuhkan untuk hidup dalam ilusi cinta—mengejar si pujaan hati tanpa lelah meski mereka tak menyadari kehadiran kita?
“Penderitaan itu berlangsung selama lima bulan. Dan meski aku merasa tersiksa, namun aku tak berhenti mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya. Pandangan yang kudapati selalu sama: Carolina tertawa renyah, senang, sambil menonton pertunjukkan dengan menggunakan kekeran; sementara aku yang tengah memendam cinta hanya bisa memandangi orang-orang di sekelilingku yang dibanjiri oleh cahaya remang teater.
“Seribu wanita melewatiku, ada yang wajahnya pucat, ada yang menarik, dan ada juga yang penuh semangat dengan pipi mengkilap. Ada wanita yang bertubuh gempal, ada yang berpinggul ramping, dan ada juga yang berkaki kecil; sementara wanita lain memiliki postur tubuh kasar dan atletis. Ada pun wanita yang memiliki ekspresi muram atau romantis; dan ada yang memiliki ekspresi penuh tawa bahagia—tapi tak satu pun dari wanita-wanita itu yang menyentuh hatiku dan memenuhi pikiranku. Mereka tampak biasa saja bagiku. Carolina adalah satu-satunya cintaku. Namun bagi Carolina … Ah, seperti kata seorang penyair, wanita hanya tersentuh hatinya saat melihat pengemis atau orang yang terluka, namun mereka tak merasakan apa-apa saat ada pria yang mengatakan: ‘Aku mencintaimu, aku memujamu, dan cintamu sangat berharga bagiku layaknya matahari bagi tetumbuhan, udara bagi burung, dan air bagi ikan.’ Edan! Carolina tak menyadari cintaku, seperti yang sudah kukatakan padamu berkali-kali, dan bagiku itu lebih buruk daripada benci.
“Terakhir kali aku melihatnya adalah di sebuah pesta topeng. Ia menyamarkan dirinya dengan kostum satin hitam berpola domino; namun aku yakin bahwa di balik kostum itu ada permata hatiku. Aku mengikuti dia sampai pintu masuk teater, serta sampai ke tempat duduk khusus. Aku juga mengikuti dia sampai ke bar, dan ke mana saja dia pergi. Malaikat yang kucintai, hanya bersama dia aku ingin menghabiskan seumur hidupku dalam bahtera rumah tangga—dan melihatnya berada di tengah hiruk-pikuk kehidupan malam, serta dikuasai oleh keinginan untuk terus berdansa, penuh kegirangan dan mabuk akan pujian! Oh, bila aku boleh memiliki hatinya, aku akan memanggilnya dan dengan nada bujukan lembut, aku akan mengatakan: ‘Carolina, cintaku, kau sedang berjalan menuju kehancuran; pria yang bijaksana takkan pernah memilih wanita yang berada di tengah keramaian prostitusi dan kepuasan seksual: Demi Tuhan, tinggalkanlah perkumpulan ini! Nafas orang-orang yang kau sebut teman ini justru mencoreng kecantikanmu. Kepuasan mereka merupakan noda bagimu. Cintailah aku seorang, Carolina—dan kau akan menemukan hati yang tulus di mana kau bisa menumpahkan segala rasa dalam dada: cintailah aku, karena aku takkan pernah menghancurkanmu atau membiarkanmu menangis. Aku takkan pernah mengotori hati dan jiwamu.’ Aku siap mengucapkan seribu janji lain; namun Carolina tak mau mendengar. Dia justru mengusirku dan dengan tawa menggelegar menggandeng lengan pria lain yang justru menawarkan beragam janji palsu. Ini yang dielu-elukan para wanita! Janji palsu! Oh, Carolina! Malangnya dirimu! Aku sangat mencintainya, dan oleh sebab itu aku ingin sekali diberi kekuatan untuk menariknya dari kerumunan para pendosa di sekitarnya.
“Aku melihat seorang pemuda parlente yang bermulut manis tengah berbincang dengan Carolina. Aku mengenali pemuda itu sebagai orang tak bermoral dan tanpa talenta yang sering dipuji masyarakat. Demi melindungi malaikatku, maka pada kesempatan pertama aku segera menarik pemuda itu keluar dari ruangan dan menghinanya habis-habisan. Kutantang dia untuk bertarung sampai mati. Tapi sambil tertawa pemuda itu justru berkata: ‘Memang apa hubunganmu dengan wanita itu?’ Aku berpikir sesaat, lantas dengan suara parau aku berkata: ‘Tidak ada.’ ‘Nah, kalau begitu…’ pemuda tersebut lanjut tertawa. ‘Aku punya hubungan khusus dengan wanita itu, coba kau lihat sendiri.’ Pemuda itu menarik sebentuk ikat pinggang dari sakunya, juga seikat rambut, sebentuk foto dan beberapa lembar surat di mana Carolina memanggilnya sebagai pangeran dan permata hatinya. ‘Sekarang kau lihat kan,’ lanjut si pemuda sambil melangkah pergi, ‘Carolina mencintaiku, tapi meski begitu aku harus meninggalkannya malam ini, karena aku punya banyak koleksi surat cinta lain yang harus kuperhatikan. Masih banyak gadis-gadis lugu dan suci yang menuntut perhatianku. Sementara Carolina sudah sering gonta-ganti pacar.’
“Mendengar pernyataan itu, kurasakan jiwaku pergi meninggalkan tubuhku; hatiku mengerut, dan tenggorokanku menyempit gara-gara dirundungi kesedihan mendalam. Aku jatuh ke atas kursi, pingsan, dan tak lama kemudian aku tersadar dan menemukan seorang teman tengah membasahi bibirku dengan anggur.
“Tiga hari kemudian aku mendapat kabar bahwa Carolina sedang terserang demam tinggi dan para dokter yang merawatnya mengatakan bahwa nyawanya ada dalam bahaya. Pada saat itu, tak ada satu hal pun yang bisa menahanku. Aku segera pergi ke rumahnya, bertekad untuk menyatakan cintaku padanya, sekaligus menyadarkannya bahwa jika dia merasa telah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hura-hura, dan bila kini hatinya sekarat karena tak pernah menemukan pasangan hidup yang sungguh-sungguh mencintainya—aku akan selalu ada di sampingnya. Aku akan menangisi makamnya, dan cinta terpendam yang selama ini membara dalam jiwaku akan terus mengisi relung hatiku sepanjang masa. Oh, tentu janjiku itu akan menenangkan jiwanya yang kalut, yang kini tengah sekarat berhadapan dengan maut—dan aku yakin dia memikirkan Tuhan di saat seperti ini; agar ia pergi dengan tenang layaknya seorang malaikat.
“Tapi apa gunanya membicarakan cinta pada seorang wanita yang tengah sekarat menunggu ajal, saat para pendeta sibuk membacakan ayat-ayat Alkitab di ujung ranjang; saat keluarganya, dengan penuh airmata, sibuk menyalakan lilin yang telah diberkati untuk mengantar kepergian Carolina? Oh, aku sudah hilang akal—aku juga berada di dekat ajal. Jiwaku terjangkit demam tinggi. Betapa bodohnya kita para lelaki!”
“Lantas apa yang terjadi?”
“Pada akhirnya, Carolina meninggal,” jawab Alfredo. “Dan seperti yang sudah aku niatkan, aku pun mengikutinya ke liang kubur, sama seperti aku mengikutinya selama ini ke teater dan pesta topeng. Begitu tanah merah menimbun sisa tubuh yang sebelumnya begitu cantik, ceria dan senang hati—maka satu-satunya harapan yang kumiliki untuk masa depan juga ikut sirna.”
Lalu Alfredo meninggalkan kamarku tanpa pamit.
2012 © Fiksi Lotus dan Manuel Payno. Tidak untuk dijual, digandakan atau ditukar.
———–
#CATATAN:
> Cerita ini berjudul Amor Secreto karya MANUEL PAYNO dan pertama kali diterbitkan oleh El Museo Mexicano pada tahun 1843.
>> MANUEL PAYNO adalah seorang petugas pemerintah, jurnalis dan penulis fiksi asal Meksiko yang sempat menuai reputasi baik dalam sejarah politik Meksiko. Ia juga dianggap sebagai pahlawan revolusi saat terjadi perang teritorial antara Meksiko dan Amerika Serikat di abad ke-19.
#POIN DISKUSI:
1. Apa kesan kamu setelah membaca cerita ini?
2. Apa tanggapan kamu tentang Carolina? Apakah Alfredo menjabarkan karakter dia dengan wajar?
3. Alur cerita ini linear, tapi sudut pandang yang digunakan antara pencerita pertama (aku) dan kedua (Alfredo) sangat menarik dan dinamis. Apakah alurnya mudah dinikmati menurut kamu?
4. Apa pendapat kamu tentang ending cerita?
T_T membosankan.. endingnya juga gak nendang.. Karakter Carolina malah gak begitu kuat dijabarkan Alfredo. Dia cuma menuturkan kisah patah hatinya. Saya gak begitu menikmati alur dimana Alfredo nyerocos terus.
tapi, terima kasih ya.. jadi bisa baca cerpen klasik dari Mexico. 🙂
SukaSuka
Hahahhaa… Memang cerita ini tergolong sebagai contoh tulisan yang populer di jaman Romantisme — jadi fokus sentralnya lebih pada perkembangan kondisi psikologis Alfredo terhadap wanita yang jadi obsesi dia. Jadi berbanding terbalik ya sama “Dering Telepon”-nya Dorothy Parker yang sudah masuk ke jaman Komedi/Satir Realisme. Mungkin bisa aku jelaskan kenapa cerita ini dipilih (meski bukan berarti harus disukai, lho … hahaha…) Pertama kali aku baca juga sama, nampaknya tidak ada yang spesial dari cerita ini, namun setelah dibaca ulang aku menemukan benang merah yang unik, yaitu obsesi. Di tengah maraknya “nafas cinta” di jaman Romantisme, Manuel Payno justru mengetengahkan bentuk cinta yang obsesif dan akhirnya menyesatkan. Bertolak belakang dengan pandangan awal dia terhadap cinta. Anehnya lagi, untuk cerita yang ditulis di tahun 1800an oleh seorang penulis laki-laki — nafas cerita ini sangat mengedepankan tokoh perempuan (Carolina) sebagai sosok yang lebih bebas daripada sosok laki-laki (Alfredo) yang malah terkesan puritan 😀 Oleh sebab itu, sebagai studi kultur (mengingat semangat machismo-nya pria Amerika Latin) — cerita ini tergolong progresif dan berperan cukup besar dalam membantu proses kelahiran jaman berikutnya: realisme :)) Tapi aku juga setuju dengan pendapatmu, Alfredo terkesan sebagai pengeluh di sini 😀 Makasih ya sudah mampir! 🙂
SukaSuka
Mbak Maggie, tolong jelaskan dong apa perbedaan jaman romantisme dan komedi/satir realisme.
SukaSuka
Hi Agus,
Jaman romantisme cenderung kalimat dan bahasanya berbunga-bunga dan mendayu-dayu untuk menjabarkan hal-hal yang indah. Jaman komedi/satir realisme itu bertolak-belakang dengan jaman romantisme: di mana pencerita bertujuan mengkritik praktek umum masyarakat atau juga politik, dan menghadirkan “dunia” dengan apa adanya.
SukaSuka
1. Muram
2. Carolina adalah gadis pujaan dan saya kira Alfredo cukup baik menjabarkan karakternya.
3. Alur cerita ini, menurut saya mudah dinikmati.
4. Alfredo dalam ending cerita ini dapat diasumsikan sebagai arwah penasaran yang bercerita kepada ‘Aku’.
SukaSuka
Hai Nailal,
Terima kasih atas partisipasinya dalam diskusi cerita + atas kunjungannya ke FL. Semoga menikmati posting2 lainnya juga ya.
SukaSuka
1. Dibanding cerita-cerita sebelumnya, Cinta Terpendam lebih sendu. Mungkin karena dari awal diberikan gambaran Alfredo yang begitu, ya? Jadi begitu membaca cerita jadi langsung jatuhnya sendu.
Tapi di saat bersamaan, juga terasa cepat dan berkobar-kobar. Apalagi saat Alfredo menjabarkan rasa cintanya pada Carolina.
2. Tidak 😀
Mungkin karena terkesan obsesif, Alfredo jadi seperti melebih-lebihkan Carolina. Juga mungkin karena Carolina berkebalikan kepribadiannya dengan Alfredo, jadi pria itu tampak begitu memujanya 🙂
3. Saya tidak bisa menikmatinya, walau saya juga masih penasaran bagaimana ending cinta Alfredo yg bertepuk sebelah tangan itu. Rasanya kesal, karena kok ada, cowok yg suka mengeluh semacam ini?
4. Soal pertanyaan keempat, pendapat saya sama seperti Nailal Fahmi. Alfredo seperti hantu, yang muncul tiba-tiba dan pergi begitu saja. Hm…kalau disejajarkan dengan tema cinta, mungkin serupa. Bukankah cinta juga sering datang dan pergi tanpa kata? :))
SukaSuka
Halo!
Terima kasih ya atas partisipasi diskusinya. Semoga menikmati cerpen2 lainnya juga 🙂
SukaSuka
1. Cerita yang… datar dan terlalu stereotip dalam mengisahkan cinta terpendam. Gaya berceritanya juga terkesan aneh, seperti orang mabuk. Tapi ya justru itulah menurutku cara si pengarang menghadirkan atmosfer mabuk cinta bagi pembacanya.
2. Kupikir Alfredo sedikit tidak adil tentang Carolina. Ia hanya melihat Carolina dari sudut kesempurnaannya di matanya sendiri. Tapi, mengapa pula ia tak pernah memikirkan kiranya hal apa yang membuat Carolina memilih menjalani kehidupan seperti itu. Dalam gambaran Alfredo seakan Carolina hanya boneka cantik tanpa perasaan apapun yang mungkin terpendam di balik kepalsuan hidupnya.
3. Secara keseluruhan alurnya sangat mudah dinikmati.
4. Menurutku, ketika Alfredo mengatakan bahwa ia akan mengikuti Carolina ke liang kubur, tak berarti ia akan mati. Tetapi cintanyalah yang akan mati dan mengikuti Carolina selamanya. Dan selamanya Alfredo tak akan pernah bisa jatuh cinta lagi. Jadi kini kehidupan Alfredo terasa hampa dan tak bernyawa. Tepat sebagaimana perasaan seseorang yang baru saja merasakan patah hati begitu mendalam.
SukaSuka
Halo!
Terima kasih atas partisipasinya dalam diskusi cerita. Semoga menikmati cerita-cerita lainnya ya!
SukaSuka
setelah baca ceritanya, kayaknya si tokoh utama “aku” itu orang yg kesepian dan egois, soalnya keliatan dia cuma menonjolkan perasaan yg dialaminya selama itu, sementara temannya itu sebatas menjadi pendengar
SukaSuka
Hi Kurnia,
Menurutku tokoh “aku” adalah orang yang terobsesi dan setelah mati baru bisa melihat obsesinya secara obyektif. Terima kasih atas partisipasinya dalam diskusi cerita ya 🙂 Semoga menikmati posting-posting lainnya 🙂
SukaSuka
agak bosen bacanya, tapi karakter tokoh utama itu kuat banget, dia kayaknya semacam tokoh yg terlalu melankolis,
SukaSuka
Hi Kurnia,
Thx ya buat komentarnya 🙂 Ditunggu komentar pada cerpen2 lainnya juga 🙂
SukaSuka
Kata Mbak Maggie, enggak ada yang salah dan benar dalam diskusi. Jadi setelah pikir-pikir beberapa saat. Akhirnya kuputuskan untuk nekat saja.
1. Apa kesan kamu setelah membaca cerita ini?
Sempat deg-degan menunggu kejutan di endingnya. Ternyata tidak ada. Di bagian tengah kupikir nanti Carolina bakal dibunuh atau diculik (Mungkin aku terlalu banyak menonton sinetron). Aku terus membaca karena ingin tahu apa yang terjadi dengan Carolina dan Alfredo.
2. Apa tanggapan kamu tentang Carolina? Apakah Alfredo menjabarkan karakter dia dengan wajar?
Carolina sebenarnya biasa-biasa saja. Samar-samar aku merasakan dia putri kaya manja yang senang mempermainkan hati laki-laki. Aku mendapat kesan ini dari kalimat yang menunjukan dia tidak membaca surat dan senang dikelilingi laki-laki.
Saat Alfredo melukiskan Carolina, aku berusaha mencari apa yang spesial dari Carolina. Tidak ada. Kusimpulkan, Carolina sempurna karena Alfredo menganggapnya begitu.
3. Alur cerita ini linear, tapi sudut pandang yang digunakan antara pencerita pertama (aku) dan kedua (Alfredo) sangat menarik dan dinamis. Apakah alurnya mudah dinikmati menurut kamu?
Dari segi alur, sangat mudah dinikmati. Aku bisa membayangkan Alfredo berbincang-bincang dengan temannya sekaligus membayangkan kilas balik saat bertemu Carolina.
4. Apa pendapat kamu tentang ending cerita?
Seperti yang aku katakan tadi di bagian awal. Aku menunggu kejutan seperti di cerpen Lotere-nya Shirley Jackson. Dan membaca penjelasan Mbak Maggie membuatku manggut-manggut. Ternyata membaca cerpen klasik harus dikaitkan juga dengan kondisi sosial di masa itu. Jadi baru terasa apa yang spektakuler dari cerpen klasik ini.
SukaSuka
Hi Purba,
Asiik! Senang membaca partisipasi diskusi cerita dari kamu! 🙂 Jangan sungkan untuk mengikuti diskusi di cerpen2 lainnya ya!!! :)))
SukaSuka