O. Henry

Seorang polisi melangkah menyusuri jalan, postur dan gerak tubuhnya menandakan bahwa ia adalah orang kuat dan penting. Namun sesungguhnya, ia selalu bergerak dengan pola yang sama tanpa memperdulikan apa pandangan orang. Lagipula hanya ada segelintir warga yang masih berkeliaran di jalan-jalan. Saat itu hampir pukul sepuluh malam, dan udara terasa sangat dingin. Angin berembus cukup kencang dan mengantarkan sedikit rintik hujan.

Sang polisi berhenti di tiap pintu kedai atau toko yang ia lewati, menggoyangkan pegangan pintu sekadar memastikan semua sudah terkunci. Sesekali ia berhenti dan membalikkan tubuh seraya menyisir jalanan kota dari ujung ke ujung dengan pandangannya. Lelaki itu memang cocok jadi polisi, matanya selalu awas, menjaga keamanan dan kedamaian semua warga.

Penduduk yang bermukim di area tempat sang polisi bertugas memang cenderung pulang sore. Sesekali ada saja toko atau kedai yang lampunya masih menyala di malam hari; namun sebagian besar sudah tutup sejak sore hari.

Mendadak sang polisi memelankan langkahnya. Di dekat pintu sebuah toko dengan cahaya remang-remang terlihat seorang lelaki asing tengah berdiri tegap. Sang polisi berjalan mendekati lelaki tersebut; dan tanpa banyak basa-basi lelaki itu pun langsung angkat suara.

“Tidak ada apa-apa, Pak,” kata si lelaki. “Aku sedang menunggu seorang teman. Dua puluh tahun lalu kami berjanji bertemu di tempat ini. Mungkin kedengarannya aneh, ya? Biar aku jelaskan, supaya Bapak tidak banyak curiga. Sekitar 20 tahun lalu toko ini adalah sebuah restoran. Nama restoran itu ‘Big Joe’.”

“Restoran itu tutup lima tahun lalu,” ujar sang polisi.

Si lelaki yang berdiri di dekat pintu toko memiliki kontur wajah segiempat dengan kompleksi pucat, tetapi matanya bersinar cemerlang dan di dekat mata sebelah kanan ada sebercak titik putih tanda lahir. Ia juga mengenakan batu permata besar di atas dasinya.

“Dua puluh tahun lalu di malam yang sama,” lanjut si lelaki, “aku makan malam di sini bersama Jimmy Wells. Dia sahabat saya dan orang terbaik di dunia. Kami sama-sama menghabiskan masa kecil dan remaja di New York, layaknya kakak-adik. Waktu itu, usiaku baru 18 tahun; sementara Jimmy 20 tahun. Keesokan paginya, aku berangkat ke Chicago. Di sana aku berencana mencari kerja dan menjadi orang sukses. Sayang, Jimmy tidak mau keluar dari New York. Dia pikir kota ini satu-satunya tempat hebat di dunia.

Kami berjanji di malam itu bahwa dalam waktu 20 tahun kami akan bertemu lagi di sini. Kami yakin dengan rentang waktu sepanjang itu kami pasti sudah menemukan jati diri masing-masing, dan masa depan apa yang akan kami bangun.”

“Menarik,” celetuk sang polisi. “Menurutku jarak antara satu pertemuan dan lainnya sungguh terlalu lama. Apa kau sudah sempat mendapat kabar dari sahabatmu sejak kau berangkat ke Chicago?”

“Ya, kami sempat saling menyurati,” jawab si lelaki. “Tapi satu-dua tahun setelah itu, kami berhenti. Chicago adalah kota yang sangat luas. Aku pindah-pindah terus dan jarang tinggal di satu area untuk waktu yang lama. Namun, aku yakin Jimmy akan datang menemuiku malam ini kalau memang tidak ada halangan berarti. Aku bisa pegang kata-katanya. Dia orang jujur. Tak akan pernah lupa. Aku sendiri harus melewati ribuan kilometer untuk sampai di sini sekarang. Itu baru akan terbayar setelah aku melihat sahabatku.”

Si lelaki yang sedang menunggu sahabatnya mengeluarkan sebentuk jam yang sangat mewah, dikelilingi oleh manik-manik berlian.

“Tiga menit sebelum pukul sepuluh,” ujar si lelaki. “Kami berpisah di sini, di depan pintu restoran dua puluh tahun lalu tepat pada pukul sepuluh malam.”

“Kau berhasil membuat dirimu jadi orang sukses di Chicago, ya?” tanya sang polisi.

“Tentu saja! Aku harap Jimmy setidaknya bisa meraih setengah kesuksesan yang berhasil aku raih. Dia orangnya agak lamban soalnya. Aku harus berjuang keras untuk mendapatkan kesuksesanku. Di New York, orang sulit berubah. Di kota seperti Chicago, semua orang harus bertarung hebat untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.”

Sang polisi mengambil satu atau dua langkah untuk pergi.

“Aku sebaiknya melanjutkan patroli malam,” kata sang polisi. “Semoga sahabatmu datang menemuimu. Kalau dia belum datang pada pukul sepuluh, kau akan pergi?”

“Tentu tidak!” seru si lelaki. “Aku akan menunggu setidaknya setengah jam setelah lewat pukul sepuluh. Jika Jimmy masih hidup, aku yakin dia akan datang. Selamat malam, Pak Polisi.”

“Selamat malam,” balas sang polisi seraya beranjak pergi, kembali menggoyang tiap gagang pintu kedai atau toko yang ia lewati.

Tak lama, hujan turun dan embusan angin terasa semakin kencang. Beberapa orang warga yang masih berada di jalan terlihat terburu-buru sembari berusaha menghangatkan tubuh. Sementara di pintu sebuah toko seorang pria terus berdiri tegak, setelah menempuh perjalanan sejauh ribuan kilometer menunggu kedatangan sahabat. Pertemuan itu tidak menjanjikan apa-apa sebenarnya. Tapi tetap saja si lelaki menunggu dengan sabar.

Sekitar dua puluh menit kemudian, seorang laki-laki jangkung dalam balutan jas hujan panjang datang dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiri si lelaki yang masih berdiri di depan pintu toko.

“Bob, itu benar kau?” tanya si laki-laki penuh keraguan.

“Kau kah itu, Jimmy Wells?” teriak si lelaki dari pintu.

Laki-laki yang baru datang segera menjabat tangan si lelaki yang telah menunggu lama di pintu toko. “Kau memang Bob! Aku yakin pasti bertemu denganmu malam ini kalau memang kau masih hidup. Dua puluh tahun adalah waktu yang sungguh lama. Restoran yang dulu sudah tak ada lagi, Bob. Seandainya saja restoran itu masih beroperasi, maka kita bisa makan malam di tempat yang sama. Gimana kabar Chicago?”

“Aku menemukan semua yang kuinginkan di sana. Kau banyak berubah, Jimmy. Aku tak menyangka kau sejangkung ini.”

“Oh, tubuhku sedikit meninggi setelah melewati usia dua puluh.”

“Bagaimana denganmu? Kau sukses juga di New York, Jimmy?”

“Lumayan. Aku pegawai negeri yang bekerja untuk pemerintah daerah di sini. Ayo, Bob. Aku punya tempat langganan di dekat sini, kita bisa duduk di sana dan mengenang masa lalu.”

Kedua lelaki itu berjalan beriringan, lengan saling terpaut. Si lelaki asal Chicago sibuk menceritakan perjalanan hidupnya; sementara yang lain, dengan kerah jas hujan yang diangkat menutupi leher, sibuk mendengarkan dengan penuh perhatian.

Di sebuah sudut jalan ada toko yang memancarkan sinar lampu neon sangat terang. Begitu kedua lelaki itu mendekati bangunan toko tersebut, keduanya saling menatap wajah satu sama lain.

Si lelaki asal Chicago segera berhenti berjalan dan menarik lengannya jauh-jauh.

“Kau bukan Jimmy Wells,” katanya. “Dua puluh tahun mungkin waktun yang lama, tapi tidak selama itu sampai bentuk hidung seseorang bisa berubah.”

“Waktu juga bisa mengubah orang baik jadi orang jahat,” kata si laki-laki jangkung. “Sudah sepuluh menit belakangan ini kau ditahan, Bob. Unit kepolisian di Chicago sudah curiga kau akan datang ke New York. Mereka memperingati kami untuk mengantisipasi kedatanganmu. Apa kau akan ikut aku ke kantor polisi tanpa memberontak? Sebaiknya begitu. Sebelumnya, aku punya pesan untukmu. Kau boleh membacanya di sini, di dekat jendela toko. Ini catatan dari seorang polisi bernama Wells.”

Si lelaki asal Chicago membuka lipatan potongan kertas kecil yang diberikan si laki-laki jangkung kepadanya. Tangannya mulai gemetar saat ia membaca kata demi kata yang tertera di atas kertas.

“Bob: aku sudah tiba di tempat yang sama sejak pukul sepuluh malam. Aku melihat wajah lelaki yang sedang dicari oleh departemen kepolisian Chicago. Aku tidak tega menangkapmu. Jadi aku minta petugas lain untuk datang menangkapmu.

JIMMY.” FL

 

Juni 2019 © Hak cipta Fiksi Lotus dan O. Henry. Tidak untuk digandakan, dijual ataupun ditukar.


#CATATAN:

> Karya ini berjudul After Twenty Years karya O. HENRY dan diterbitkan dalam antologi berjudul The Four Million di tahun 1906.

>> O. HENRY adalah cerpenis asal Amerika Serikat yang bernama asli William Sydney Porter. Ia dikenal dengan karya-karya yang menghadirkan twist ending. Di masa hidupnya, ia dikenal sebagai penulis yang sangat aktif, menghasilkan tak kurang dari 500 cerpen yang diterbitkan oleh berbagai surat kabar, seperti Houston Post, McClure dan New York World Sunday Magazine.

>>> Ketika ditanya oleh The New York Times di tahun 1902 tentang inspirasi atau ide yang melandasi karya-karyanya, O. Henry mengaku bahwa ia senang duduk-duduk di lobi hotel dan berbicara dengan para pengunjung hotel.


#POIN DISKUSI:

  1. Apa pendapat kalian tentang ending cerita ini?
  2. Apakah kalian sempat menduga bahwa polisi yang membuka cerita adalah sahabat yang ditunggu si lelaki asal Chicago?
  3. Pesan apa yang kira-kira ingin disampaikan penulis?
  4. Momen mana dalam cerita ini yang paling menarik buat kalian?
  5. Kalau kalian bisa menulis ulang ending cerita ini, kira-kira seperti apa?

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

26 Comment on “Sahabat Lama

Tinggalkan balasan