SUATU KETIKA, DI masa lampau, semua binatang yang hidup di alam liar memutuskan untuk berkumpul. Si Kangguru Merah adalah binatang yang paling ramah dan senang bersosialisasi — dialah yang mencetuskan ide agar mereka semua berkumpul.
“Menyenangkan bukan, bila kita bisa mengenal lebih dekat satu sama lain,” kata si Kangguru Merah. “Kita bisa berbincang tentang keluarga kita, makanan apa yang biasa kita santap, tempat tinggal kita, dan pokoknya senang-senang.”
Si Kangguru Merah mengalami kesulitan mengumpulkan semua binatang di alam liar karena ada yang lebih senang keluar di malam hari, dan ada yang lebih senang keluar di siang hari. Akhirnya, mereka setuju untuk berkumpul di waktu senja, tepat di perbatasan antara Siang dan Malam.
Perkumpulan itu berjalan lancar di awal. Semua saling menyapa dan berbincang panjang saat mereka berhenti untuk menikmati camilan. Si Koala sibuk mengunyah salad daun eukaliptus, sementara si Numbat sibuk menyantap gumpalan tanah yang kaya akan rayap. Pada saat itulah terjadi perselisihan.
Si Setan Tasmania berbaik hati menghidangkan sup bagi semua yang hadir dalam pertemuan itu. Ketika si Buaya meminta si Kelelawar Pengisap Darah untuk mengoper hidangan tersebut, si Kelelawar tidak mendengar. Si Buaya berpikir bahwa si Kelelawar sengaja mengabaikan permintaannya, meski setelah si Kelelawar minta maaf dan berkata bahwa ia sungguh tidak mendengar ketika si Buaya memintanya untuk mengoper hidangan sup.
“Well, aku sulit percaya bualanmu,” desis si Buaya, meski dengan nada cukup tinggi hingga si Kelelawar bisa mendengarnya — karena kelelawar terkenal bertelinga panjang. Bahkan yang lain pun ikut mendengar komentar tersebut.
Si Kelelawar Pengisap Darah balas mencetus, “Ya, setidaknya aku tidak menunggu sampai makananku membusuk sebelum menyantapnya.”
Si Buaya kontan marah mendengar ucapan itu. Sudah lama sekali ia dan kawanannya berusaha menepis rumor yang menyatakan bahwa para buaya hanya akan menyantap makanan yang sudah busuk; dan ia yakin si Kelelawar tahu rumor tersebut salah.
“Kau salah besar, dan kau tahu itu!” teriak si Buaya, geram.
Si Tikus Dibbler dan si Wombat dengan cepat membela si Kelelawar Pengisap Darah karena mereka sama-sama bertelinga besar. Mereka lantas mengumandangkan ejekan masa kecil yang biasa mereka lontarkan bagi para buaya: “Buaya dan anak-anaknya selalu sibuk makan makanan busuk!”
Setelah itu, semua binatang yang hadir dalam pertemuan tersebut ikut berteriak. Si Walabi diejek dengan sebutan “kaki besar” oleh si Ekidna [babi duri]; dan gara-gara itu, si Walabi mengejek si Ekidna dengan sebutan “anjing kecil”. Lantas Dingo, si anjing liar, tak sengaja mendengar ada di antara mereka yang mengolok-olok bau napasnya, maka ia balas berteriak membela diri, mengumumkan pada semua binatang di sana bahwa kawanannya tidak sama dengan anjing biasa. Setelah itu, Dingo yang mengira ejekan itu datangnya dari si Burung Emu, segera mendorong burung tersebut ke dalam balong. Kemudian binatang lain pun ikut saling mengatai satu sama lain dengan ejekan-ejekan yang tak enak didengar, hingga si Kangguru Merah tidak tahu bagaimana cara menyudahinya.
Maka senja itu, baik Siang maupun Malam jadi geram.
Menatap ke bawah, dari kedudukan mereka yang tinggi, Walu, sang matahari, merasa sangat kesal dengan persiteruan yang ia saksikan. Ia bersembunyi di balik gumpalan awan agar pengelihatannya dikaburkan, agar ia tak perlu lagi menyaksikan sifat buruk tiap-tiap binatang di bawah sana.
Lantas Namarrkun, si pembawa petir, mendadak muncul dari kedalaman langit dan menyulut gemuruh hebat dengan cara mengayun kapak-kapak batu yang terkait di siku lengan dan lutut kakinya ke arah gumpalan awan. Setiap kali para binatang bertengkar, Namarrkun akan mendesis hebat dan mengeluarkan suara berderak yang sangat keras hingga mereka berhenti. Sesekali, ia akan melempar tombak-tombak petir ke arah bumi untuk menarik perhatian mereka. Hal itu membuat para binatang berlarian kocar-kacir ke tempat persembunyian mereka masing-masing, berkawan dengan sepi, sambil memikirkan semua hal buruk yang mereka utarakan kepada sesama binatang.
Oleh sebab itu, setiap kali kalian mendengar suara Namarrkun menghantam gumpalan awan di langit dengan kapak batunya, atau melempar tombak petir ke permukaan bumi, kalian tahu bahwa seseorang di suatu tempat pasti sedang mengejek sesamanya. FL
Maret 2016 © Hak Cipta Fiksi Lotus. Tidak untuk ditukar, dijual atau digandakan.
#CATATAN:
> Cerita rakyat ini berjudul Crocodile and Ghost Bat Have a Hullabaloo dan berasal dari budaya kaum aborigin di AUSTRALIA.
Masih belum bisa menangkap maksud paragraf terakhir. Saya juga bingung apa kaitannya dengan pertengkaran binatang-binatang dalam tulisan ini. Tapi, tetap asyik dibaca ^^
SukaSuka
Jika saya tak salah menafsirkan, bahwa setiap makhluk hidup ini terikat oleh apapun yang ada di alam semesta ini. Keadaan yang buruk sekalipun akan di rasakan oleh makhluk yang ada berjauh jutaan kilo sekalipun. Sang Pencipta telah menghubungkan alam dengan makhluk yang ada dimanapun agar merasakan satu sama lain. Walaupun cendrung saat ini, saya pun jarang ‘merasakan’ hal tersbut. Heheh
SukaSuka
Menurut saya, pesan dari dongeng ini adalah kita diingatkan untuk jangan sampai saling bertengkar hanya karena perbedaan. Juga jangan saling mengejek agar tidak terjadi perselisihan.
SukaSuka
Ini dongeng terjadinya petir… Hehe.. Lucu lucu.. Asyik.. Makasih.. 😀
SukaSuka
Ahhh sepaka! Ini dongeng terjadinya petir.
SukaSuka
Meski rada njelimet, akhirnya bisa dipahami
SukaSuka
pesan yang ketangkep adalah “dengan sesama, jangan saling ejek”
ngertilah.. walaupun sedikit rumit dan alurnya buru-buru
SukaSuka
Reblogged this on :Debbit.
SukaSuka
Membaca cerita ini, saya jadi teringat Musyawarah Burungnya Fariduddin Attar. Dengan cerita ini sama-sama berkisah tentang pertemuan para binatang. Hanya pada Attar terbatas pada bangsa burung. Itulah bedanya. Persamaannya menurut saya adalah bahwa semua makhluk yg bernama binatang dengan segala jenis speciesnya hendaknya kita lestarikan. Karena mereka adalah sumber kebahagian yg tak ada habisnya. Mereka bisa berfungsi seperti kuda beban dan pemberi daging dan susu. Juga bisa jadi sumber cerita dan pengajaran karena karakter khas yg mereka miliki. Maka mari kita lestarikan lingkungan hidup kita secara konsisten dan konsekwen.
SukaSuka
Dengan makhluk hidup sesama kita tidak boleh saling ejek dan tidak boleh merasa paling hebat.
SukaSuka
Dengan sesama makhluk jangan saling ejek”,walaupun sedikit rumit
SukaSuka
Menurut saya buaya itu salah sangka padahal kelalawar itu tidak mendengar nya terus buaya menyangka bahwa kelalawar mengambai kan nya
SukaSuka
Menurut saya cerita itu sangat menarik dan banyak pelajaran yang bisa kita pelajari
SukaSuka
Dengan makhluk hidup sesama kita tidak boleh saling ejek.
Terimakasih
SukaSuka
Keributan besar selalu dimulai dengan perselisihan kecil,
SukaSuka
Fenomena alam ada keterkaitan dengan perilaku manusia. Kalau terjadi bencana, berarti ada yang salah dengan diri manusia. Biasanya seperti itu.
SukaSuka
Mungkin setiap penduduk bumi saling mengejek, maka penduduk langit menjadi gaduh, Tuhan tidak suka (^^)
SukaSuka