Zakaria Tamer

Othman al-Maddan dan Bakri al-Ghabshi adalah sepasang sahabat yang tinggal satu lingkungan. Keduanya juga merupakan pemilik toko kelontong yang sama. Sejak kecil, mereka tak pernah berselisih paham tentang apapun. Namun istri Othman, Naila, dan istri Bakri, Ferial, selalu berselisih paham sejak pertama bertemu di tempat pemandian, ketika Ferial menangkap lirikan Naila yang mencemooh payudaranya karena tak lagi kencang. Naila menyarankan kepada Ferial untuk mengencangkan payudaranya lewat operasi plastik, bahkan meyakinkannya bahwa semua wanita melakukannya secara diam-diam. Lama-lama, Ferial mengetahui bahwa Naila sudah mengumbar gosip perihal payudaranya yang tak lagi kencang kepada semua orang, baik tua maupun muda, sambil mengumpamakan payudara Ferial laksana sepasang kaus kaki kosong. Sekarang ada kebencian yang tak bisa dibendung di antara kedua wanita itu, dan mereka telah mencanangkan permusuhan abadi dengan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan lawan. Maka masing-masing dari kedua wanita itu pun mulai mengumbar gosip untuk menjatuhkan reputasi satu sama lain.

Suatu malam, Ferial berkata kepada Bakri, “Hari ini, istri dari rekan kerjamu yang sangat kau agungkan itu datang menemuiku dan menuduhku menikahi seorang laki-laki yang tak lagi jantan, sementara dia menikahi laki-laki yang bisa bercinta tiga kali semalam.”

Bakri menyahut, terkejut, “Apa! Tiga kali?”

Ferial tertawa penuh dendam dan berkata, “Dan empat kali setiap Kamis malam.”

Lalu wanita itu terdiam sesaat, memperhatikan kerut-kerut yang terlihat di dahi suaminya dan berkatan, “Kau tahu apa yang dia sarankan padaku? Menceraikanmu. Dia bilang suaminya yang menyarankan bahwa wanita manapun dalam posisiku punya hak untuk berselingkuh dan menceraikan sang suami.”

Wajah Bakri sekonyong-konyong berubah gelap, dan sejak saat itu ia merasakan kebencian mendalam terhadap Othman. Keesokan harinya, mereka mulai berselisih paham dan pertengkaran itu terus memuncak hingga mereka memutuskan untuk menjual toko kelontong yang telah mereka kelola bersama selama bertahun-tahun. Mereka membagi keuntungan penjualan dan setuju untuk putus hubungan. Namun Bakri belum puas dan masih ingin membalas dendam terhadap mantan rekan kerjanya itu. Maka ia mengumbar gosip buruk tentang Othman, keluarganya, orantuanya, bahkan sampai kakek-neneknya. Ketika Othman mendengar tudingan-tudingan tersebut, ia berkata dengan nada sendu, “Tiada kuasa yang lebih hebat dari kuasa Tuhan.”

Tapi hal tersebut justru semakin membuat Bakri kesal, dan ia memutuskan untuk semakin menjatuhkan reputasi Othman. Suatu hari, Bakri tersadar bahwa semua usahanya untuk mencemarkan nama baik Othman tak dianggap serius oleh siapapun. Ia menyusun strategi: pencemaran itu harus datang dari orang-orang yang dapat dipercaya dan yang memiliki pengaruh besar dalam komunitas tempat tinggal mereka. Maka Bakri pergi mengunjungi Sheikh Saleh al-Mandali di kediamannya seraya berpura-pura hendak memberi sumbangan bagi keluarga fakir miskin.

Sheikh itu adalah seorang imam di masjid utama di lingkungan tersebut. Ia memiliki murid, pengikut, juga umat, dan perkataannya, serta penilaiannya, tak pernah dibantah siapapun. Sang sheikh menerima uang yang disumbangkan oleh Bakri dan berkata, dengan nada seolah ia sedang menyampaikan kabar gembira, “Kebaikanmu akan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.”

Bakri pun menyahut dengan nada penuh kerendahan hati, “Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali pengampunan-Nya dan belas kasih-Nya.” Kemudian matanya menyapu lantai, dan dalam diam ia menunjukkan keresahannya. Sang sheikh bertanya apa yang mengganggu pikirannya, dan Bakri menjawab dengan suara gemetar, “Aku bukan orang yang suka menjatuhkan orang lain, tapi di saat bersamaan, aku tidak sanggup melihat reputasi orang baik seperti Anda (semoga Tuhan menghadirkan lebih banyak orang seperti Anda!) telah dicemarkan.”

Lantas ia menyampaikan kepada sang sheikh bahwa mantan rekan kerjanya, Othman al-Maddan, telah menyebarkan gosip kepada semua orang bahwa sang sheikh seringkali memimpin salat umat tanpa melakukan wudhu. Mendengar itu, sang sheikh merespon dengan amarah, “Bohong, dasar pembohong! Itu hanya pernah terjadi sekali. Dan itu juga karena aku benar-benar khilaf — siapa kecuali Tuhan yang tak pernah khilaf?”

Bakri lalu melanjutkan perkataanya dan menyampaikan kepada sang sheikh bahwa mantan rekan kerjanya juga diam-diam menyantap daging babi. Sang sheikh berteriak jijik, “Apa-apaan ini? Seorang Muslim berani makan daging babi?”

Bakri menekankan bahwa mantan rekan kerjanya tak hanya makan daging babi sendirian, ia juga telah menyuruh istrinya melakukan hal serupa, hingga istrinya lama-lama menikmati daging babi dan terus-terusan minta dibelikan daging babi. Sang sheikh tentunya semakin jijik mendengar hal tersebut. Walau  hanya ada mereka berdua dalam ruangan itu, Bakri kemudian menoleh ke kiri dan kanan sebelum berbisik, “Othman juga mengatakan sesuatu yang aku sulit untuk percaya keluar dari mulutnya, sesuatu yang bahkan aku sendiri malu untuk mengucapkannya. Dia bilang Anda diam-diam menyimpan kebiasaan rahasia.”

Sang shiekh berkata, “Pembohong! Seribu kali kukatakan dia pembohong! Bagaimana mungkin aku lakukan itu sementara sudah dua tahun, tiga bulan, dan lima hari ini istriku sudah kuperlakukan seperti adik sendiri?”

Bakri menggenggam tangan sang sheikh seolah hendak memberi dukungan moral kepada imam itu, seraya berkata, “Betapa jauh jarak antara bumi dan bintang di langit? Anda lebih tua dan lebih agung dari Othman. Jangan perhatikan perkataannya, karena dia adalah manusia tanpa harga diri yang tak punya kekuasaan hukum untuk mencanangkan apa yang dia anggap baik dan tidak baik. Dia tidak puas dengan kasih sayang yang dicurahkan istri dan ibunya, hingga dia memperdaya para bocah lelaki. Aku memergokinya secara tidak sengaja. Aku jadi mengkhawatirkan reputasiku, dan memutuskan untuk mengakhiri persahabatanku dengannya.”

Kerut-kerut pada dahi sang sheikh terlihat semakin dalam ketika ia mencetuskan kemarahannya, suaranya bergetar hebat, “Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari kutukan Iblis! Tuhan akan menyelamatkan kita dari kutukan Iblis! Memang benar bahwa Iblis memiliki pengikut yang hidup di antara kita untuk menyebarkan kejahatan.”

Beberapa hari kemudian, Sheikh Saleh berjalan tergopoh-gopoh dengan bantuan sebatang tongkat. Ia tengah menyusuri gang kecil menuju rumahnya ketika Abul ‘Ala, lelaki paling tangguh di lingkungan itu, menghadang jalannya dan mencium punggung tangannya dengan penuh hormat dan kerendahan hati. Ia memohon kepada sang sheikh untuk mendoakannya, dan agar Tuhan selalu membimbingnya agar menjauh dari jalan hidup yang tak benar.

Namun sang shiekh tiba-tiba menceletuk, “Bagaimana aku bisa mendoakanmu sementara hatiku sendiri dibebani oleh kekhawatiran, kesedihan dan kemarahan? Doa takkan pernah dijawab kecuali ia dipanjatkan dari hati yang murni.”

Abul ‘Ala berkata, “Aku akan membunuh siapa saja yang telah membuat imam agung kami begitu marah! Beritahu aku nama orang itu, lalu ucapkan syahadat pembuka dalam kitab suci untuk mendoakan jiwanya.”

Sheikh Saleh bersandar pada dinding sebuah bangunan rumah tinggal seolah untuk menahan beban tubuhnya agar tidak terjatuh, lantas ia berkata dengan nada sedih dan pahit, “Nak, Tuhan adalah saksi tunggalku. Sepanjang hidupku aku selalu merawat dan mengasihi semua orang, baik yang kaya maupun miskin. Namun perbuatan Othman al-Maddan sungguh bertolak-belakang dengan hukum akherat dan ajaran Nabi kita, dan perbuatan itu sungguh membuatku marah. Aku sangat benci terhadap lelaki itu, yang tak bermoral, liar, berhati jahat, dan tak ber-Tuhan.”

Betapa terkejutnya Abul ‘Ala mendengar hal itu. Lantas ia berkata, “Tapi sepengetahuanku, Othman adalah lelaki yang rajin sembahyang, rajin puasa, dan rajin bersedekah. Ia juga sudah dua kali naik haji.”

Sheikh Saleh tertawa mencemooh dan menyahut, “Kau nampaknya sudah lupa, Nak, bahwa pada awalnya Iblis adalah seorang malaikat.”

Sheikh Saleh mendesah penuh kesedihan dan melanjutkan, “Adalah kewajiban bagi setiap orang Muslim untuk melawan orang-orang yang tidak ber-Tuhan. Setiap umat yang berhasil membebaskan dunia dari pengaruh orang-orang tak beriman akan masuk ke Surga.”

Sekali lagi, Abul ‘Ala mencium tangan sang sheikh dan berkata dengan nada halus, serta suara gemetar, “Semoga kita semua akan masuk surga.”

Beberapa hari kemudian, tubuh Othman al-Maddan ditemukan mati karena luka tusuk yang bertubi-tubi. Para saksi yang terakhir melihat Othman dalam keadaan hidup mengatakan bahwa sebelum tubuh laki-laki itu ditemukan dalam kondisi mengenaskan, ia tengah bersembayang di masjid lingkungan, posisinya tepat di belakang Sheikh Saleh al-Mandali. Setelah selesai sembahyang, Othman jalan kaki pulang ke rumahnya, tidak jauh dari lokasi masjid.

Namun lelaki tersebut tak pernah tiba di rumah. Istrinya, Naila, menangis hingga kedua matanya bengkak. Ia mengenakan pakaian hitam-hitam dan bersumpah bahwa ia takkan melepasnya seumur hidup.

Sementara itu, istri Bakri, Ferial, kembali menyebar gosip bahwa Naila tengah berduka atas kucingnya yang belum lama mati terlindas mobil. FL

Februari 2016 © Hak cipta Fiksi Lotus dan Zakaria Tamer. Tidak untuk dijual, digandakan, atau ditukar.


#CATATAN:

> Cerita pendek ini berjudul “13” karya ZAKARIA TAMER dan pertama kali diterbitkan dalam koleksi cerita pendek karya penulis yang sama, berjudul تكسير ركب (Taksīr Rukab) atau Breaking Knees pada tahun 2002. Dalam koleksi ini, rangkaian cerita pendek yang terdapat di dalamnya tidak diberi judul, namun hanya nomor urut saja.

>> ZAKARIA TAMER (lahir 1931) adalah seorang penulis asal Damaskus, Suriah dan merupakan salah satu penulis paling besar di dalam khasanah kesusastraan Arab. Pada tahun 2009, ia menerima Blue Metropolis Montreal International Literary Prize, penghargaan pertama yang menganugerahkan penghargaan sastra bagi penulis internasional (dan dalam bahasa yang tidak terpaku pada Bahasa Inggris). Zakaria juga adalah seorang jurnalis lepas yang rajin menulis kolom satir di surat-surat kabar berbahasa Arab.

#POIN DISKUSI:

1. Apa kesan kamu terhadap cerita ini?

2. Zakaria Tamer adalah penulis cerita pendek yang terkenal dengan gaya cerita seperti dongeng. Adakah elemen-elemen dongeng yang kamu temukan dalam cerita ini?

3. Apa kira-kira yang hendak disampaikan Zakaria lewat cerita ini?

4. Apa pendapatmu tentang karakter Bakri?

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

12 Comment on ““13”

Tinggalkan balasan