PADA SUATU MASA adalah dua gadis bersaudara tiri yang bernama Tám dan Cám. Tam adalah putri dari istri pertama ayah mereka, yang meninggal saat Tám masih sangat kecil, dan oleh karena itu sang ayah menikah lagi. Beberapa tahun setelah itu, sang ayah meninggal dan Tám pun hidup bersama ibu dan saudara tirinya.

Ibu tirinya sangat galak dan kejam. Tám dipaksa kerja sepanjang hari, bahkan sampai malam hari. Di siang hari, Tám diperintahkan untuk merawat kerbau, menimba air dari sumur untuk memasak, mencuci piring dan pakaian, serta memetik sayur-sayuran, juga dedaunan untuk santapan babi. Di malam hari, Tám menghabiskan banyak waktu mengayak beras. Namun sementara ia bekerja keras, saudara tirinya, Cám, hanya bisa bermain. Adik tirinya memang lebih disayang oleh sang ibu. Ia selalu dibelikan baju-baju modis dan selalu dibuatkan makanan lezat.

Suatu pagi, sang ibu tiri membagikan dua buah kembu [bakul tempat ikan] pada Tám dan Cám, seraya menyuruh mereka untuk pergi ke sawah guna menangkap udang dan kepiting kecil. “Ibu akan menghadiahkan sebentuk yêm [gaun dalaman] berwarna merah bagi salah satu dari kalian yang berhasil memenuhi kembu itu,” ujar wanita tersebut.

Tám hafal betul seluk-beluk sawah dan sudah terbiasa menangkap udang dan kepiting di sana, maka saat tiba waktu makan siang, kembunya sudah penuh dengan hasil tangkapannya. Sementara Cám yang sibuk menyusuri setiap petak sawah dan merendam kakinya selama berjam-jam, sama sekali tidak mendapatkan apa-apa. Dia melihat ke arah kembu milik Tám yang sudah penuh sesak dan berceletuk, “Oh, kakakku sayang. Rambutmu berlumpur. Cepatlah, cuci dulu rambutmu di kolam air, atau kalau tidak nanti Ibu pasti akan memakimu.”

Percaya pada perkataan adiknya, Tám pun bergegas pergi ke kolam untuk mencuci rambutnya. Dan begitu Tám menjejakkan kaki ke dalam kolam, Cám menuang isi kembu milik saudara tirinya dan memenuhi kembunya sendiri dengan hasil tangkapan Tám. Lantas ia segera lari pulang untuk menagih janji sang ibu, sebentuk yêm berwarna merah.

Setelah Tám selesai mencuci rambut, ia melihat kembunya sudah kosong melompong. Maka tangisnya pun meledak.

Sang Buddha, yang tengah duduk di atas bunga teratai di kediamannya di khayangan, mendengar tangisan itu dan segera turun ke bumi, lalu duduk di samping gadis itu. “Mengapa kau menangis?” tanya Sang Buddha.

Tám pun menceritakan semua yang terjadi dan Sang Buddha dengan penuh welas asih menenangkan gadis itu. “Jangan takut. Coba lihat lagi ke dalam kembu itu, siapa tahu masih ada yang tersisa.”

Tám melongok ke arah kembu di tangan dan berkata pada Sang Buddha, “Hanya tinggal seekor ikan bông kecil.”

“Ambil ikan itu dan lepaskan di kolam dekat rumah tinggalmu,” ujar Sang Buddha. “Setiap kau selesai bersantap di rumah, sisakanlah semangkuk nasi untuk memberi makan ikan itu. Dan ketika kau ingin memanggilnya untuk makan, kau harus memanggilnya dengan cara ini:

Bông sayang, bông sayang,

Naiklah dan makanlah nasi keemasanku ini,

Karena nasi lain takkan terasa senikmat ini.

Selamat tinggal, Nak. Semoga semua berjalan lancar.” Setelah itu, Sang Buddha menghilang dari pandangan.

Sesuai instruksi Sang Buddha, Tám melepas ikan itu di kolam dekat rumah dan setiap hari, setelah ia menyantap makan siang dan malam, ia akan membawa sedikit nasi ke kolam tersebut untuk jadi santapan ikan itu. Hari demi hari, ikan bông itu pun terlihat semakin gemuk, dan Tám merasa semakin akrab dengannya.

Namun sang ibu tiri curiga melihat gerak-gerik Tám yang selalu pergi keluar rumah membawa semangkuk nasi setiap mereka habis menyantap makan siang dan malam. Ia menyuruh putri kandungnya, Cám, untuk memata-matai saudara tirinya sendiri. Cám bersembunyi di balik semak-semak, tidak jauh dari kolam yang dimaksud. Lalu ketika Tám memanggil ikan bông itu ke permukaan, si gadis yang tengah bersembunyi mendengar setiap kata yang terucap dan melaporkannya kepada sang ibu.

Malam itu, sang ibu tiri memerintahkan Tám untuk membawa kerbau sampai ke medan yang cukup jauh dari tempat biasanya.

“Ini kan lagi musim sayuran,” kata sang ibu tiri beralasan. “Kerbau tidak boleh makan rumput seenaknya di desa. Besok kau harus membawanya ke medan yang jauh dari sini. Bila kau memaksa untuk mengajaknya merumput di desa ini, nanti akan ada hukumannya dari para petinggi desa.”

Keesokan paginya, Tám tak buang waktu dan segera menumpangi sang kerbau sampai ke medan yang jauh. Begitu ia pergi, Cám dan sang ibu tiri membawa semangkuk nasi ke kolam di dekat rumah dan memanggil ikan bông itu. Ikan tersebut naik ke permukaan dan sang ibu tiri dengan gesit berhasil menjeratnya. Lantas ia membawa ikan itu ke rumah, memasaknya, dan menyantapnya.

Tám baru kembali ke rumah pada malam hari, dan setelah menyantap makan malamnya, ia membawa semangkuk nasi ke kolam. Ia memanggil ikan bông itu berkali-kali, namun tak ada tanda-tanda ikan itu naik ke permukaan. Lalu, gadis itu melihat bercak darah di permukaan air dan mendadak tersadar apa yang terjadi pada ikan kesayangannya tersebut. Maka ia menangis tersedu-sedu.

Sang Buddha kembali turun ke bumi dan menghampirinya. “Mengapa kau menangis lagi, nak?”

Di tengah isak-tangisnya, Tám menceritakan apa yang terjadi. “Ikanmu telah ditangkap dan disantap. Sekarang, berhentilah menangis. Kau harus mencari tulang-tulang ikan itu dan menyimpannya di dalam empat toples. Setelah itu, kubur keempat toples di kamar tidurmu, masing-masing toples di bawah kaki ranjangmu.”

Tám mencari sisa tulang-belulang ikan bông yang telah dimasak dan disantap itu ke semua tempat, namun tak menemukan apa-apa. Ketika pencariannya semakin membuat putus asa, seekor ayam jantan menghampiri dan memanggilnya.

Kukuruyuuukkk, kukuruyuuukkk,

Segenggam nasi,

Dan tulang-belulang itu akan jadi milikmu.

Tám memberikan nasi yang diminta ayam jantan itu, yang kemudian melahapnya penuh semangat. Setelah kenyang, ayam jantan itu melangkah ke dalam dapur. Tidak butuh banyak waktu bagi ayam jantan itu untuk kembali menghampiri Tám seraya menggigit sisa tulang-belulang ikan bông yang dicari dan meletakkannya di dekat kaki gadis itu. Tám teringat akan perintah Sang Buddha, dan buru-buru menyimpan tulang-belulang itu di dalam empat toples beling, yang kemudian ia kubur di bawah masing-masing kaki ranjang di kamar tidurnya.

Beberapa bulan kemudian, sang Raja mengumumkan waktu penyelenggaraan festival besar. Semua orang di desa tempat tinggal Tám diundang untuk menghadiri festival tersebut; sementara jalan-jalan desa dipenuhi oleh para warga yang berpakaian rapi dan bersiap pergi ke ibukota. Cám dan ibunya mengenakan pakaian terbaik mereka guna mengikuti jejak para warga desa. Dan ketika sang ibu tiri melihat Tám bersiap menghadiri festival yang sama, ia segera mengedipkan sebelah mata ke arah putri kandungnya. Lantas wanita itu mencampur sebaskom beras yang belum diayak dengan sebaskom lain beras yang telah diayak Tám semalam sebelumnya.

“Kau boleh pergi menghadiri festival itu, asal kau telah memisahkan beras yang kotor dengan beras yang bersih. Bila saat kami pulang kau belum menyiapkan beras untuk ditanak, kau akan habis kupukuli,” kata sang ibu tiri.

Setelah berkata begitu, wanita tersebut dan putri kandungnya segera bergabung dengan gerombolan warga desa yang tengah bersorak-sorai menyambut ajang festival, meninggalkan Tám sendirian untuk mengerjakan tugas itu. Pelan-pelan, ia mulai memisahkan beras kotor dari beras bersih, namun belum lama waktu berlalu, ia tersadar betapa sia-sianya tugas itu. Maka ia pun terisak sedih.

Sekali lagi, Sang Buddha muncul di sisinya. “Mengapa airmata mengalir di pipimu?”

Tám menjelaskan perihal beras yang harus ia pisahkan satu per satu, dan bahwa festival itu akan usai sebelum ia berhasil menyelesaikan tugasnya.

“Bawa baskom-mu ke pekarangan,” kata Sang Buddha. “Aku akan panggil burung-burung untuk membantumu.”

Seperti kata Sang Buddha, burung-burung mulai berdatangan. Mereka mematuk dan mengepak sayap hingga, dalam waktu singkat, bulir-bulir beras telah terpisahkan yang kotor dari yang bersih ke dalam dua baskom terpisah. Tidak satu bulir beras pun ada yang tertinggal, namun begitu mereka beranjak dari sana, Tám menangis lagi.

“Sekarang kenapa kau menangis?” tanya Sang Buddha.

“Pakaianku tak pantas,” isak Tám. “Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu, tapi aku tidak mungkin pergi menghadiri festival dengan pakaian seperti ini.”

“Gali dan ambillah toples-toples yang kau kubur di bawah kaki ranjang,” perintah Sang Buddha. “Maka akan kau temukan bahwa kau telah memiliki segala yang kau butuhkan.”

Tám mengikuti perintah Sang Buddha dan membuka toples-toples itu satu per satu. Di dalam toples pertama, ia menemukan gaun sutra yang indah, serta yêm dan selendang yang juga berbahan sama. Di dalam toples kedua, ia menemukan sepasang sepatu dengan desain modern yang telah disulam rapi. Lalu ketika ia membuka toples ketiga, Tám terkejut mendapati seekor kuda mini ada di dasar toples. Kuda itu meringkik sekali, dan mendadak berubah menjadi seekor kuda gagah berukuran normal. Di dalam toples ke-empat, Tám menemukan sebuah sadel berkuda serta tali kekang yang dihiasi oleh manik-manik — pas sekali saat dikenakan di punggung kuda. Tám kemudian bergegas mandi dan menyisir rambutnya hingga berkilauan. Lantas ia mengenakan pakaian barunya dan berkuda ke lokasi festival.

Dalam perjalanannya menuju festival, Tám harus memacu kudanya melintasi aliran sungai yang membelah jalan. Saat ia tengah menyeberang sungai, salah satu sepatu sulamnya terjatuh ke air dan tenggelam ke bawah permukaan. Namun karena ia terburu-buru, Tám tidak ada waktu untuk mencarinya lagi; maka ia melepas sepatu yang masih tersangkut di kaki lain dan membungkusnya dengan selendang. Setelah itu, ia meneruskan perjalanannya.

Tak lama setelah itu, sang Raja dan rombongannya, didahului oleh dua ekor gajah, tiba di tempat yang sama. Kedua gajah itu menolak untuk melintasi sungai dan justru merendahkan gading-gading mereka seraya melenguh dan mengeluarkan suara layaknya tiupan terompet. Karena tak ada yang berhasil membujuk gajah-gajah itu untuk menyeberangi sungai, maka sang Raja pun memerintah pasukannya untuk memeriksa kedalaman air. Salah satu dari mereka menemukan sepatu sulam yang terjatuh, dan segera membawanya ke sang Raja, untuk diamati lebih dekat.

Akhirnya, sang Raja berkata, “Gadis yang mengenakan sepatu seindah ini pastilah sungguh cantik rupawan. Mari kita berangkat ke festival untuk menemukan gadis itu. Gadis yang kakinya pas mengenakan sepatu ini, aku akan mempersuntingnya jadi istri.”

Ketika para wanita yang menghadiri festival mendengar titah tersebut, mereka gembira bukan kepalang. Lalu mereka menanti dengan penuh semangat giliran untuk mencoba sepatu yang tadi ditemukan teronggok di dasar sungai.

Cám dan ibunya berusaha keras untuk membuat sepatu itu pas di kaki mereka, namun tak berhasil, dan saat mereka mendapati Tám tengah menunggu sabar di dekat mereka, sang ibu tiri segera mencemoohnya. “Mana mungkin orang biasa sepertimu bisa memiliki sepatu seindah itu? Dan dari mana kau curi baju bagus yang kau kenakan? Tunggu saja sampai kami pulang nanti. Bila tak ada beras untuk ditanak, aku akan memukulmu habis-habisan.”

Tám tidak membalas, dan ketika gilirannya tiba untuk menjajal sepatu sulaman itu, semua orang ternganga mendapati bahwa sepatu itu sungguh pas di kakinya. Lantas Tám juga menunjukkan pasangan sepatu sulaman yang tadi sempat ia bungkus dengan selendang, dan semua yang hadir di sana menyadari bahwa ia-lah yang terpilih sebagai calon Ratu mereka.

Sang Raja memerintah semua pelayan untuk membawa Tám ke istana dengan menggunakan kereta tandu, dan gadis itu pun pergi dengan hati riang. Sementara adik dan ibu tirinya memandangi laju kereta dengan penuh amarah dan kecemburuan.

Tám sangat bahagia hidup di istana bersama sang Raja, namun ia tak pernah melupakan ayahnya. Ketika tiba waktunya untuk memperingati hari kematian sang ayah, Tám minta ijin pada suaminya untuk pergi kembali ke desanya guna mempersiapkan upacara sesajen bagi arwah ayahnya.

Ketika Cám dan ibunya melihat kedatangan Tám, rasa cemburu itu kembali dan keduanya segera menyusun rencana licik. “Kau harus menyuguhkan biji buah pinang bagi ayahmu,” ujar sang ibu tiri. “Pohon pinang sebelah sana buahnya bagus-bagus. Kau kan pintar memanjat pohon, jadi sebaiknya kau panjat pohon itu sampai di atas dan petik buahnya.”

Tám memanjat pohon pinang yang dimaksud dan begitu ia tiba di titik tertinggi, sang ibu tiri buru-buru mengambil kapak dan menebang batang pohon itu. Pohon tersebut bergetar dan bergoyang, dan Tám berteriak ketakutan. “Apa yang terjadi?” katanya. “Mengapa pohon ini bergoyang dahsyat sekali?”

“Ada banyak semut di bawah,” jawab sang ibu tiri. “Aku sedang mengusir mereka.”

Sang ibu tiri terus menebang batang pohon di hadapannya hingga pohon itu tumbang. Mahkota pohon pinang, termasuk Tám yang tengah berada di atasnya, segera tumbang ke dalam kolam yang sangat dalam hingga gadis itu tenggelam. Si pembunuh licik itu pun tak buang waktu untuk segera memungut pakaian Tám, menyerahkannya kepada Cám, dan menuntunnya ke istana. Di sana, ia menjelaskan perihal “kecelakaan” yang menimpa Tám kepada sang Raja dan menawarkan putrinya sendiri, Cám, sebagai pengganti. Sang Raja sungguh sedih, namun ia tak menjawab tawaran itu.

Ketika Tám meninggal, arwahnya merasuki seekor burung kepodang. Burung itu terbang ke taman istana dan di sana melihat Cám tengah membilas pakaian sang Raja di dekat sumur. Tám berkata, “Itu adalah pakaian suamiku. Keringkan pakaian itu di atas tiang, bukan di atas pagar, supaya jangan sampai robek.”

Setelah itu, Tám terbang ke jendela kamar tidur sang Raja sambil berkicau merdu. Burung itu senantiasa mengikuti kemana pun sang Raja pergi, dan karena sang Raja sangat merindukan istrinya, ia pun berkeluh-kesah kepadanya, “Oh, burung. Bila kau memang istriku, maka hinggaplah di lenganku.”

Burung itu tengah duduk di tangan sang Raja, dan serta-merta melompat ke atas lengannya. Sang Raja begitu menyayangi burung itu sampai-sampai ia lupa makan dan tidur, dan ia juga membuatkan sarang emas untuknya. Setiap siang dan malam, sang Raja hanya sibuk mengurusi burung dalam kandang emas itu, dan sama sekali tidak menghiraukan Cám.

Kesal, Cám melaporkan semua itu kepada ibunya. Wanita itu menasihati putrinya agar membunuh dan menyantap burung kesayangan sang Raja, lalu membuat alasan yang tepat bagi sang Raja. Cám menunggu sampai sang Raja meninggalkan istana sebelum melakukan apa yang diinstruksikan ibunya. Ia pun melempar bulu-bulu burung itu ke taman istana.

Waktu sang Raja kembali ke istana, ia menanyakan soal burung kesayangannya dan Cám dengan santai menjawab, “Aku sedang ingin sekali makan daging burung, jadi aku santap saja burung kesayanganmu itu.”

Sang Raja tak berkata-kata.

Bulu-bulu burung kapodang yang sebelumnya dibuang di taman istana, kini tumbuh jadi sebuah pohon besar. Setiap kali sang Raja duduk di bawahnya, maka ranting-ranting pohon itu akan membungkuk ke bawah untuk melindungi sang Raja dari silaunya sinar matahari, layaknya sebuah payung. Sang Raja pun memerintahkan pelayannya untuk membangun sebuah tempat tidur gantung di bawah pohon agar setiap hari ia bisa beristirahat di sana.

Cám sangat kesal melihat hal itu, maka ia kembali meminta nasihat dari ibunya.

“Tebanglah pohon itu diam-diam,” usul sang ibu. “Gunakan potongan kayunya untuk membangun sebuah mesin tenun, lalu katakan pada sang Raja bahwa kau melakukannya agar bisa menenun kain-kain terindah untuknya.”

Di kala badai menghajar kota tempat istana berada, Cám menumbangkan pohon itu dan menggunakan potongan-potongan kayunya untuk membangun sebuah mesin tenun. Ketika sang Raja menanyakan soal keberadaan pohon itu, ia beralasan bahwa pohon itu tumbang ditiup angin badai, dan bahwa sekarang ia akan menggunakan mesin tenun barunya — yang dibangun menggunakan batang, dahan dan ranting pohon itu — untuk menenun kain-kain indah bagi sang Raja. Ketika Cám duduk di hadapan mesin tenun tersebut, terdengar suara yang berkata, “Klik, klak, klik, klak, kau curi suamiku. Aku akan merampas matamu.”

Mendengar itu, Cám sungguh ketakutan. Ia pergi mendatangi ibunya dan bercerita tentang apa yang dikatakan mesin tenun itu kepadanya. “Bakar saja mesin tenun itu, dan buang abunya sejauh mungkin dari istana,” usul sang ibu kepada putrinya.

Cám mengikuti anjuran ibunya dan membuang abu dari hasil pembakaran mesin tenun ke pinggir jalan yang jaraknya jauh sekali dari istana sang Raja. Abu itu kemudian tumbuh jadi pohon thi yang kehijauan, dan ketika musimnya tiba, pohon itu menghasilkan satu buah yang menguarkan harum segar dan tercium jelas dari jarak jauh.

Seorang wanita tua penjual air minum di sebuah kedai minuman tidak jauh dari sana mencium harum buah itu dan segera menghampiri pohon yang tumbuh di tepi jalan. Ia berdiri di kaki pohon, menatap ke arah buah yang menggantung menggoda, membuka saku kemejanya, dan memanggil penuh rayu, “Thi sayang, jatuhlah ke sakuku. Aku takkan memakanmu, hanya ingin mengendus harummu saja.”

Dengan begitu, buah tersebut terjatuh masuk ke dalam sakunya. Benar saja, wanita tua itu tak menyantap buah tersebut, melainkan hanya menyimpannya di kamar tidur untuk diendus harumnya setiap malam.

Setiap hari, ketika si wanita tua pergi ke kedai minumannya, sosok mungil seorang gadis mendadak keluar dari buah thi yang disimpan di kamar tidur dan tumbuh besar jadi sosok Tám. Lantas Tám membersihkan rumah, merapikan isinya, menanak nasi dan membuatkan sup dari sayur-sayuran yang ia temukan di taman. Setelah itu, Tám kembali mengecil dan masuk kembali ke dalam buah thi.

Wanita tua itu pun penasaran dan memutuskan untuk mencari tahu siapa yang membantunya selama ini. Suatu pagi, ia berpura-pura beranjak pergi ke kedai minumannya dan bersembunyi di belakang pohon tidak jauh dari pintu belakang rumah. Melalui celah pintu, ia melihat Tám melenggang keluar dari buah thi dan tumbuh jadi seorang gadis jelita. Wanita tua itu sangat bahagia dan bergegas masuk ke dalam rumah dan memeluk gadis itu. Ia mengoyak kulit buah dan membuang buah itu ke tempat sampah. Tám hidup berbahagia dengan wanita tua itu dan setiap hari ia melakukan pekerjaan rumah dengan hati riang. Ia juga rajin membuat kue dan menyiapkan biji buah pinang untuk dijual di kedai minuman wanita tua tadi.

Suatu ketika, sang Raja pergi meninggalkan istananya dan menelusuri area pedesaan di pinggiran kota. Ketika ia tiba di kedai minuman wanita tua itu, ia pun berhenti. Ia mengagumi kebersihan dan kerapihan kedai tersebut. Wanita tua itu menawarkan air kepada sang Raja, juga biji buah pinang. Sang Raja melihat betapa biji buah pinang tersebut disajikan dalam bentuk layaknya kedua sayap burung elang. Ia ingat istrinya dulu sering menyiapkan camilan biji buah pinang dengan cara yang sama.

“Siapa yang menyediakan biji buah pinang ini?” tanya sang Raja.

“Putri saya,” ujar si wanita tua.

“Di mana putrimu? Biar aku temui.”

Wanita tua itu memanggil Tám. Sontak, sang Raja mengenali wajah istrinya yang sangat ia cintai, yang kini terlihat lebih muda dan lebih cantik. Sang Raja sangatlah bahagia, dan begitu si wanita tua menceritakan perihal buah thi yang dibawanya pulang ke rumah, sang Raja bergegas memanggil pelayannya untuk membawa kereta tandu termewah guna mengantar istrinya kembali ke istana.

Melihat Tám kembali di istana, Cám sangat ketakutan. Ia berusaha sebisa mungkin untuk mengambil hati kakak tirinya dengan menanyakan rahasia kecantikannya.

“Kau ingin jadi cantik?” tanya Tám. “Ayo, aku akan menunjukkannya padamu.” Tám pun memanggil pelayan istana untuk menggali lubang dan menyiapkan air mendidih di dalam panci raksasa. “Bila kau ingin cantik, kau harus masuk ke dalam lubang ini,” kata Tám kepada saudara tirinya yang licik itu.

Begitu Cám masuk ke dalam lubang, Tám memerintahkan pelayannya untuk menuangkan isi panci ke atasnya — dan dengan begitu saudara tirinya pun meninggal. Tám kemudian menyuruh juru masaknya untuk membuat mam, atau saus kaldu kaya rasa, dengan menggunakan tubuh Cám sebagai bahan kaldu, dan mengirimkan saus itu kepada ibu tirinya, seraya menitipkan pesan bahwa saus itu adalah hadiah dari putrinya yang tercinta.

Setiap hari, wanita licik itu pun mencampur saus mam dengan hidangan makanan yang ia santap, dan selalu bergumam betapa nikmatnya saus itu. Seekor burung gagak menghampiri rumah wanita licik itu, bertengger di atapnya, dan mengaok lantang, “Nikmat! Sang ibu sedang menyantap daging putrinya sendiri. Apa ada yang tersisa? Aku juga mau.”

Si wanita licik sangat murka dan segera memburu burung gagak tersebut hingga pergi dari rumahnya. Namun, suatu hari, ketika toples tempat saus mam itu nyaris kosong, ia melihat tengkorak putri kandungnya teronggok di dasar toples dan … mendadak jantungnya berhenti. Tubuhnya tumbang ke lantai dan tak pernah terbangun lagi. FL

Januari 2016 © Hak cipta Fiksi Lotus. Tidak untuk ditukar, digandakan, ataupun dijual.


#KETERANGAN:

  • Cerita ini adalah versi lain dari Cinderella, dengan plot yang lebih rumit dan melibatkan simbol-simbol lokal. Di Vietnam sendiri, versi cerita ini ada macam-macam. Ada yang tidak menyertakan bagian keji terakhir, ada juga yang lebih keji dari ini.
  • Dalam bahasa Vietnam, Tám berarti “beras kasar”, lebih murah dari beras gandum, dan biasanya jadi bahan makanan utama untuk rakyat miskin. Cám berarti “dedak”, atau sisa penumbukan/penggilingan padi, dan mengilustrasikan hubungan antara kedua saudara tiri.
  • Simbol lain yang diselipkan ke dalam cerita adalah “ikan”, yang dalam budaya Vietnam mewakili seorang dewi welas asih, atau kesuburan dalam kepercayaan jaman dahulu (dan diwujudkan oleh sosok Buddha). Ada juga “pohon dan buah”, elemen yang tidak disertakan dalam versi Barat kisah Cinderella, yang mewakili alam dan segala isinya.

#CATATAN:

> Dongeng ini berasal dari Vietnam dan berjudul Tám and Cám.

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

7 Comment on “Tám dan Cám (Vietnam)

Tinggalkan balasan