Ernest Hemingway
Suatu hari, setelah mengikuti perayaan Hari Kemerdekaan di pusat kota, Nick berkendara pulang bersama Joe Garner dan keluarga dengan cara menumpangi sebuah kereta kuda. Mereka melewati sembilan orang dari suku Indian yang tengah mabuk di pinggir jalan. Nick ingat benar ada sembilan orang, karena Joe Garner, yang mengemudikan kereta kuda di tengah gelapnya malam, sempat berhenti, turun dari kereta kuda, dan melenggang ke tengah jalan untuk menarik satu orang Indian yang tengah tertelungkup di atas alur roda kereta. Orang Indian itu nampaknya tertidur dengan wajah terkubur di pasir. Joe menarik orang tersebut ke pinggir, di antara semak belukar, sebelum kembali naik ke atas kereta kuda.
“Sudah sembilan orang yang kita singkirkan,” kata Joe. “Padahal kita belum terlalu jauh berkendara dari kota.”
Nick duduk di bagian belakang kereta bersama dua anak laki-laki keluarga Garner. Dari bukaan di belakang kereta, Nick melihat orang Indian yang tadi diseret Joe ke tepi jalan.
“Apakah orang itu Billy Tabeshaw?” tanya Carl.
“Bukan.”
“Karena celananya mirip dengan milik Billy.”
“Semua orang Indian mengenakan celana serupa.”
“Aku bahkan tidak melihatnya sama sekali,” celetuk Frank. “Pa turun dari kereta dan kembali ke kereta dalam waktu singkat. Kukira dia sedang membunuh ular.”
“Pasti banyak orang Indian yang akan membunuh ular malam ini,” kata Joe Garner.
“Dasar Indian,” ujar Mrs. Garner.
Mereka terus berkendara. Jalanan yang mereka lewati berkelok dari ruas jalan utama dan mulai menanjak menuju area berbukit. Sulit sekali bagi Joe Garner dan kuda-kudanya untuk menarik beban kereta yang terlalu berat, maka ketiga remaja laki-laki yang duduk di belakang akhirnya turun dan berjalan kaki. Jalan yang mereka lewati cukup berpasir. Dari atas bukit, Nick menoleh ke belakang, ke arah gedung sekolahnya. Ia melihat lampu-lampu yang menerangi daerah Petoskey, serta nun jauh di seberang Little Traverse Bay, lampu-lampu yang menerangi daerah Harbour Springs. Setelah jalanan yang mereka lalui kembali berada dalam posisi datar, ketiga remaja tadi diminta naik ke atas kereta.
“Harusnya jalanan itu ditaburi kerikil,” keluh Joe Garner. Kereta yang mereka tumpangi kini melintasi jalan kecil yang membelah hutan. Joe dan Mrs. Garner duduk berdempetan di kursi depan. Nick duduk di antara kedua remaja keluarga Garner. Jalanan yang mereka lalui kini tiba di bukaan hutan.
“Pa pernah menabrak seekor sigung di sini.”
“Bukan di sini, lebih jauh lagi.”
“Tidak penting tempatnya di mana,” kata Joe tanpa menoleh ke belakang. “Semua tempat sama layaknya untuk menabrak seekor sigung.”
“Semalam aku melihat dua ekor sigung,” ujar Nick.
“Di mana?”
“Di dekat danau. Mereka sedang mencari ikan mati di pinggir pantai.”
“Mungkin yang kau lihat itu raccoon,” kata Carl.
“Menurutku mereka sigung. Kurasa aku tahu seperti apa bentuk binatang sigung.”
“Seharusnya kau tahu,” sahut Carl. “Pacarmu kan orang Indian.”
“Jangan bicara seperti itu, Carl,” tegur Mrs. Garner.
“Ya, tapi kan bau mereka sama.”
Joe Garner tertawa.
“Hentikan tawamu, Joe,” kata Mrs. Garner. “Aku tidak suka Carl bicara seperti itu.”
“Memangnya kau benar punya pacar orang Indian, Nickie?” tanya Joe.
“Tidak.”
“Dia bohong, Pa,” kata Frank. “Prudence Mitchell itu pacarnya.”
“Bukan, kok.”
“Setiap hari mereka selalu bertemu.”
“Tidak setiap hari,” sanggah Nick. Terjepit di antara Carl dan Frank, Nick merasa begitu hampa sekaligus senang karena digoda perihal Prudence Mitchell. “Dia bukan pacarku.”
“Dengarkan saja nada bicaranya,” kata Carl. “Aku selalu melihat mereka berduaan setiap hari.”
“Sementara Carl tidak bisa mencari pacar,” cetus ibunya. “Bahkan perempuan jalang tak mau jadi pacarnya.”
Carl terdiam.
“Carl tidak bisa apa-apa jika dihadapkan dengan anak gadis,” kata Frank.
“Diam kau.”
“Jangan khawatir, Carl,” ujar Joe Garner. “Wanita tak bisa membuat hidupmu lebih maju. Lihat saja ayahmu ini.”
“Sekarang kau bicara begitu,” kata Mrs. Garner, bergerak lebih dekat ke arah suaminya saat kereta yang mereka tumpangi terhentak. “Dulu pacarmu banyak sekali.”
“Pasti Pa tak pernah pacaran dengan perempuan jalang.”
“Jangan pikir macam-macam,” ujar Joe. “Jaga pacarmu baik-baik, Nick.”
Mrs. Garner berbisik di telinga suaminya dan membuat Joe tertawa.
“Kalian menertawai apa?” tanya Frank.
“Jangan kau beri tahu,” ancam istrinya. Joe tertawa lagi.
“Nicki boleh punya pacar seperti Prudence,” kata Joe Garner. “Aku sudah cukup puas dengan satu istri.”
“Jaga bicaramu,” kata Mrs. Garner.
Kuda-kuda itu bersusah-payah melewati jalan berpasir. Joe menarik tali kekang mereka sambil terus melambaikan pecutnya di tengah kelamnya malam.
“Ayo, tahan,” kata Joe kepada kuda-kudanya. “Besok kalian harus bisa bekerja lebih baik dari ini.”
Kuda-kuda itu berderap menuruni bukit panjang, membuat kereta yang mereka tumpangi terhentak berkali-kali. Di sebuah rumah pertanian, semua penumpang turun dari kereta. Mrs. Garner membuka pintu rumah, masuk ke dalam, dan keluar lagi seraya menenteng sebentuk lampu petromaks. Carl dan Nick mulai mengeluarkan muatan kereta dari belakang. Frank duduk di kursi depan untuk mengendarai kereta ke dalam lumbung dan mengikat kuda-kuda itu di kandang masing-masing. Nick menaiki anak tangga dan membuka pintu dapur. Mrs. Garner tengah menyalakan api di tungku masak. Ia membalikkan tubuhnya sambil menuang minyak tanah ke atas tumpukkan kayu bakar.
“Sampai jumpa, Mrs. Garner,” kata Nick. “Terima kasih sudah mengajakku ke kota.”
“Tak perlu berbasa-basi, Nickie.”
“Aku sungguh menikmati perayaan tadi.”
“Kami senang bisa mengajakmu jalan-jalan. Kau tak mau makan malam bersama kami?”
“Sebaiknya aku pulang. Ayah pasti sudah menunggu.”
“Kalau begitu lebih baik kau tak berlama-lama, agar tidak kemalaman. Tolong panggil Carl supaya masuk ke rumah, ya.”
“Baiklah.”
“Selamat malam, Nickie.”
“Selamat malam, Mrs. Garner.”
Nick keluar ke pekarangan rumah dan melangkah ke lumbung. Joe dan Frank tengah memerah susu.
“Selamat malam,” kata Nick. “Aku senang sekali sudah diajak ke kota.”
“Selamat malam, Nick,” ujar Joe Garner. “Kau tak mau tinggal sebentar untuk makan?”
“Tidak, aku tidak bisa lama-lama. Boleh titip pesan untuk Carl dan sampaikan bahwa ibunya mencarinya?”
“Baiklah. Selamat malam, Nickie.”
Nick berjalan kaki, tanpa alas, melalui jalan setapak yang melintasi area padang rumput di bawah undakkan lumbung. Jalan setapak itu mulus dan jejak embun terasa sejuk di telapak kakinya. Ia menaiki pagar di akhir padang rumput, menyusuri turunan ngarai, dan dengan kaki basah gara-gara terendam lumpur, ia memanjat area perbukitan hutan pohon beech hingga matanya tertumbuk pada lampu-lampu yang menerangi sebuah pondok kecil. Ia memanjat pagar yang membatasi pondok itu dan melangkah menuju beranda utama. Lewat jendela pondok tersebut, Nick bisa melihat ayahnya yang sedang duduk di meja seraya membaca di dekat lampu besar. Nick membuka pintu dan menjejakkan kakinya di dalam pondok.
“Well, Nickie,” sapa ayahnya. “Bagaimana harimu?”
“Aku senang, Yah. Perayaannya lumayan meriah.”
“Kau lapar?”
“Lapar sekali.”
“Sepatumu mana?”
“Kutinggal di kereta keluarga Garner.”
“Ayo, kita makan di dapur.”
Ayah Nick menenteng lampu petromaks. Ia berhenti dan mengangkat tutup kotak es. Nick masuk ke dalam dapur. Ayahnya membawa sepotong ayam di atas piring dan satu pitcher susu ke dalam dapur, lalu meletakkannya di atas meja makan, di hadapan putranya. Ia juga meletakkan lampu petromaks yang ada di tangan.
“Masih ada pie juga,” katanya. “Kau mau?”
“Tentu saja.”
Ayah Nick duduk di sebuah kursi di sisi meja makan yang dilapisi kain perlak. Bayangan tubuhnya yang besar tampak gelap dan misterius di dinding dapur.
“Siapa yang menang pertandingan baseball?”
“Petoskey. Lima-tiga.”
Ayahnya menatap Nick melahap santapan malam itu seraya menuangkan susu ke dalam gelas. Nick meneguk isi gelas dan menyeka mulutnya dengan selembar serbet. Ayahnya mengulurkan tangan ke arah lemari makanan dan mengambil sepiring pie. Ia memberikan potongan besar untuk Nick. Pie itu berperisa buah frambos, atau huckleberry.
“Apa yang kau lakukan seharian ini, Yah?”
“Tadi pagi Ayah pergi memancing.”
“Apa yang Ayah tangkap?”
“Hanya ikan kakap putih.”
Ayah Nick menatap putranya melahap potongan pie yang ia sediakan.
“Lantas apa yang Ayah lakukan sore tadi?” tanya Nick.
“Ayah iseng jalan-jalan ke perkemahan Indian.”
“Ada orang di sana?”
“Semua orang Indian pergi ke kota untuk minum-minum.”
“Ayah tidak melihat siapapun?”
“Ayah lihat temanmu, Prudie.”
“Di mana?”
“Di dalam hutan, bersama Frank Washburn. Ayah tak sengaja berpapasan dengan mereka. Mereka tampaknya sedang asyik berdua.”
Ayah Nick mengalihkan pandangannya ke sekeliling dapur.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Nick.
“Entahlah. Ayah tidak memperhatikan.”
“Tapi Ayah pasti tahu apa yang mereka lakukan.”
“Ayah tidak tahu. Ayah cuma dengar suara mereka yang sedang bermain di tengah hutan.”
“Ayah tahu dari mana kalau itu mereka?” desak Nick.
“Karena Ayah melihat mereka.”
“Tadi katanya Ayah tidak lihat.”
“Oke. Ayah melihat mereka dengan cukup jelas.”
“Siapa yang Ayah lihat ada bersama Prudie?” tanya Nick.
“Frank Washburn.”
“Apakah mereka—”
“Apa?”
“Bahagia?”
“Ayah rasa, cukup bahagia.”
Ayah Nick beranjak dari meja makan dan melangkah keluar dapur lewat pintu kasa. Ketika ia kembali, Nick sedang menatap piring makannya. Remaja itu tampak habis menangis.
“Mau lagi?” tanya ayahnya seraya mengambil sebilah pisau untuk memotong pie.
“Tidak,” jawab Nick.
“Mungkin sebaiknya kau makan sepotong lagi.”
“Aku tidak mau.”
Ayahnya lantas membereskan meja makan.
“Ayah melihat mereka ada di bagian hutan mana?” tanya Nick.
“Di belakang perkemahan Indian.” Nick menatap piring makannya lagi. Ayahnya berkata, “Sebaiknya kau pergi tidur, Nick.”
“Baiklah.”
Nick pergi ke kamar tidurnya, melepaskan pakaian dan membaringkan tubuh di atas ranjang. Ia mendengar suara langkah kaki ayahnya yang berderap di sekitar ruang keluarga. Nick membenamkan wajahnya di atas bantal.
“Aku patah hati,” pikirnya. “Kalau ini yang kurasakan, hatiku pasti hancur.”
Tak berapa lama kemudian, Nick mendengar ayahnya meniup lampu petromaks dan beranjak ke kamar tidurnya sendiri. Ia juga mendengar desau angin yang mengusik pepohonan di luar, sebelum berembus masuk ke dalam kamar lewat jendela. Ia terbaring di atas ranjang untuk waktu yang cukup lama, dengan wajah tertanam di bantal. Namun setelah beberapa jam, ia lupa terhadap Prudence dan akhirnya tertidur. Ketika ia terbangun di tengah malam, ia mendengar suara angin yang bergemuruh di antara pepohohan hemlock, di luar pondok mereka, dan suara ombak yang pecah di tepi danau. Kemudian ia tertidur lagi. Ketika pagi tiba, angin berembus kencang dan ombak bergulung tinggi di perairan danau dan Nick terjaga untuk waktu yang lama sebelum dia teringat soal hatinya yang hancur. FL
————-
#CATATAN:
> Kisah ini bertajuk “Ten Indians” karya ERNEST HEMINGWAY dan pertama kali diterbitkan di dalam koleksi “Men Without Women” pada tahun 1927.
>> ERNEST HEMINGWAY adalah seorang sastrawan asal Amerika Serikat yang telah memenangkan Penghargaan Nobel di tahun 1954. Ia merupakan seorang cerpenis handal dan novelis dengan karya-karya mendunia, seperti The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, The Oldman and the Sea, serta For Whom the Bell Tolls.
#POIN DISKUSI:
Halo Mbak Maggie, saya coba jawab ya.
1. Setelah membaca cerita ini, muncul kesan sepi/kesepian yang mesti ditanggung sendiri.
2. Apa ya? Belum tahu.
3. Mungkin pemberian pie itu mengesankan kesamaan perasaan yang dialami Nick dan ayahnya. Entah kenapa, saya kok jadi merasa mereka tinggal berdua saja tanpa ibu Nick.
4. Tidak tahu
SukaSuka
1. Kesal, sedih
2. Menurut saya, sepuluh indian itu = 9 indian pemabuk + prudence. Prudence dikelompokan bersama 9 indian itu ( yg dianggap sampah masyarakat), krn Nick marah akibat pengkhianatan prudence.
3. Sepotong pie = kasih sayang khas seorang ayah terhadap anaknya, yg walau sdh beranjak remaja msh dianggap anak kecil
4. simbol lain mungkin sepatu yg ditinggalkan Nick di rumah keluarga garner. Barangkali arti simbol sepatu adalah topeng yang dipakai nick dlm memandang suku indian. Ktk bersama keluarga garner, nick tdk terlihat berpihak pd suku indian. Namun sebenarnya ia dan ayahnya terkesan cukup familiar bergaul dgn suku indian. Slh satunya adlh pacaran dgn prudence.
Mohon dikoreksi kl ada yang kurang tepat ya….krn saya sangat ingin bljr ‘membongkar’ cerpen2 klasik….thanks..
SukaSuka
1. Kesan : sedih, nelangsa
2. Sepuluh Indian= Sembilan Indian yang mabuk + Prudence. Nick menempatkan Prudence sekelompok dengan 9 Indian pemabuk yang notabene dianggap ‘sampah masyarakat’, karena Nick marah akan pengkhianatan Prudence, jadi seolah Prudence tak ada bedanya dengan ‘sampah masyarakat’ itu.
3. Sepotong pie = simbol kasih sayang khas dari seorang ayah pada anaknya, yang walau sudah beranjak remaja namun masih dianggap sebagai anak kecilnya.
4. Simbol lain:
a. Sepatu yang ditinggalkan Nick di rumah keluarga Garner: simbol topeng sikap yang dipakai Nick terhadap suku Indian. Ketika bersama keluarga Garner, Nick seolah malu menyatakan kedekatannya pada suku Indian. Tetapi ketika pulang ke rumah, ketika ia tak mengenakan sepatu, ia bebas mengakui pertemanan spesialnya dengan Prudence
b. Pemilihan setting waktu ketika hari kemerdekaan Amerika, dimana secara ironis suku Indian yang adalah penduduk pertama benua Amerika, malah makin jauh dari ‘kemerdekaan’ bangsanya ; ditunjukkan dengan banyaknya yang bermabuk-mabukan .
Mohon koreksi kalau kurang tepat ya Mbak Maggie….dan mohon bagi ilmunya juga dong tentang ‘membongkar’ simbol-simbol dalam cerpen….thank you…
SukaSuka
Saya pernah baca cerpen ini dan sekaligus ulasannya. Hehehe.
Untuk menikmati cerpen Hemingway, sampai sekarang, saya masih butuh membaca ulasan setelah membaca cerpennya.
SukaSuka
1. Kesan saya setelah membaca cerita ini, saya jadi merasa kasihan kepada Nick. Dia tidak berani berterus-terang dengan perasaannya, hingga akhirnya ia harus patah hati karena gadis yang ia sukai berpaling kepada lelaki lain (Frank yang terlihat berjalan bersama prudence, bukan Frank keluarga Garner kan’?). Sebenarnya Mrs.Garner tahu apa yang dilakukan prudence, perhatikan saja apa yang Joe ucapkan setelah dibisiki sesuatu oleh istrinya. Namun mereka memilih diam, mungkin mereka ingin Nick mengetahui sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Entah mengapa saya merasa konflik cerita ini seperti konflik cinta remaja yang sering terjadi, namun dengan pembawaan yang khas dan setting yang unik.
2. Sepuluh indian… ada sembilan indian yang mabuk, mungkin dikatakan sepuluh indian jika Prudence disamakan dengan sembilan indian mabuk tersebut. Orang mabuk selalu terlihat senang tanpa memperdulikan orang lain, mungkin kiasan itu cocok untuk Prudence yang sedang mabuk cinta.
3. Arti sepotong Pie, saya menduga bahwa Pie tersebut telah ayah Nick persiapkan untuk menghibur anaknya. Potongan Pie tersebut mengisyaratkan rasa empati ayah Nick kepada anaknya yang patah hati.
4. Saya baru baca dua kali, jadi simbol yang saya temukan selain Pie… sepatu yang ditinggalkan Nick di kereta keluarga Garner, menyimbolkan bahwa Nick dekat dengan keluarga tersebut dan sering bepergian ke kota bersama mereka(karena mungkin Nick hanya menggunakan sepatu jika akan pergi ke kota). Ayah Nick yang menunggu Nick di luar rumahnya, selain mengkhawatirkan anaknya, artinya ada sesuatu yang ingin segera ia sampaikan kepada Nick (tentang Prudence). Lalu Nick yang selalu terbangun di saat tidurnya, walaupun telah berusaha melupakan Prudence, Nick selalu ingat gadis indian itu dan rasa sakitnya. Itu mempunyai arti bahwa rasa cinta Nick kepada Prudence begitu dalam.
tolong dikoreksi jika ada kesalahan, terima kasih. situs yang sangat menarik.
SukaSuka
Hehe, nyoba-nyoba beropini juga ah
1. Apa kesan kalian setelah membaca cerita ini?
Kesal. Kenapa Nick tidak berterus terang saja menyatakan perasaan sayangnya ke Prudence? Akhirnya ketika dia tahu Prudence dekat dengan lelaki selain dia, baru kerasa kan gimana sakitnya hati? Haha
Disini, saya anggap, sebenarnya Prudence tidak pacaran dengan Nick, dan Prudence juga tidak pacaran dengan Frank.
2. Apa signifikansi dari judul cerita ini?
Prudence adalah Indian kesepuluh yang mengganggu perjalanan Nick. Ya, 9 orang dalam perjalanan pulang ke rumah, lalu 1 Indian yang “mengganggunya” sesampainya di rumah. Mengganggu hari Nick, mengganggu perasaan Nick, sampai2 ga bisa tidur nyenyak.
3. Apa arti simbol potongan pie yang ada dalam cerita ini?
Pie itu adalah alat untuk memediasi percakapan Ayah dan anak. Ayah Nick menggunakan Pie itu sebagai alat untuk sedikit meredam “tekanan” yg akan dirasakan Nick setelah mendengar cerita tentang Frank dan Prudence.
Coba bayangkan kalau cerita itu langsung diucapkan oleh Ayah Nick tanpa basa-basi Pie? Pasti Nick akan lebih depresi dan langsung menangis meraung-raung. Haha
4. Apakah ada simbol lain yang kalian temukan?
Ga tahu ada simbol apa lagi.
Mungkin simbolnya adalah Sigung. Menyimbolkan betapa kentalnya sikap diskriminatif keluarga Non Indian terhadap keluarga Indian.
Lalu, simbol 9 Indian mabuk yang mengganggu perjalanan pulang keluarga Garner. Begitu sulitnya kehidupan seorang Indian sekarang ini, makin terkucilkan dan terpinggirkan.
SukaSuka
Salam kenal, mba maggie!
Saya coba jawab seadanya dan mohon koreksinya…
1. Setelah membaca, saya mendapat kesan yang membuat sedih namun dikelilingi oleh perasaan bahagia.
2. menurut saya, 10 indian adalah hal yang mesti terlupakan,misal; 9 indian pemabuk yg terbaring ditengah jalan, disingkirkan oleh joe dan tinggalkan + 1 prudence (gadis yang disukai nick), yang lebih memilih lelaki lain daripada nick, ia harus merelakannya dan hal inilah yang membuat hatinya hancur.
3. Potongan pie, sebagai bentuk empati ayah nick untuk menghiburnya.
4. Ada 2 poin;
a. Meninggalkan sepatu
b. Melompati pagar
SukaSuka
4. Ikan kakap putih.
Ernest sangat apik dalam menyisipkan simbol-simbol.
SukaSuka
keren dan sederhana dalam menyampaikan gagasannya
SukaSuka
Ernest Hemingway menulis kisah ini sepulang minum kopi di sebuah cafe di Madrid. Ia menulis kisah ini hanya dalam sekali tulis, dan begitu selesai, ia memutuskan untuk tidur karena perasaan nya yang teramat sedih. Seperti puncak gunung es, apa yang tertulis hanya bagian kecil dari apa yang dapat dirasakan oleh kita sebagai pembaca. Kolonialisme bangsa Eropa dan kekejaman mereka pada suku-suku asli Indian American saat itu memang selalu mengundang rasa empati semua orang pada korban dan kebencian kita terhadap berbagai bentuk pelanggaran HAM. Ernest Hemingway merasakan hal ini begitu dalam, sehingga dapat dibayangkan bagaimana kecamuk perasaan nya saat-saat menulis paragraf terakhir. Dan kecamuk perasaan yang sama melandaku pula sebagai pembaca…pilu…Kisah ini sungguh sarat simbol dan makna…Thankyou, Mr. Ernest.
SukaSuka
Bingung
SukaSuka
Tak lengkap bila tak membaca komenkomen yang ada. Baru ada gambaran maksud ceritanya setelah mencerna penjelasan di komen.
SukaSuka
terus terang saya masih awam dengan cerpen, saya baru niat membaca dari 3 hari yang lalu untuk baca cerpen karena berawal dari membaca ulasannya yang terkesan rumit. Saya masih bingung tentang cerpen. Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan.
1. Apakah cerpen itu bukan sekedar cerita biasa ?
2. Jika cerpen bukan sekedar cerita , mengapa penulis harus menyiratkan maksud/ lambang/ simbol dalam cerita ? , apakah cerpen tidak sesederhana cerita film ? (misalnya saja pada Film RURONI KENSHIN)
3. Apakah seni cerpen itu terletak pada kesulitan para pembaca dalam mengungkap makna/simbol/lambang cerpen ?
4. Apakah cerpen tidak dapat ditulis sebagai cerita biasa tanpa mengedepankan maksud tersembunyi?
5. Apakah mungkin seorang cerpenis menulis cerpen begitu saja tanpa menghiraukan pesan dibelakangnya (misal : pesan moral) dan akhirnya pembaca memberikan berbagai tafsiran pesan moral terhadap tulisan tersebut ?
6. Apakah kelas / kualitas cerpen sangat ditentukan oleh opini para reviewer ?
Mohon pencerahannya, terimakasih.
SukaSuka
Halo Arinata,
Saya akan coba jawab pertanyaan kamu satu-satu ya.
1. Tergantung dari definisi kamu tentang cerita biasa itu apa. Apakah sekadar cerita yang ada karakter, setting, dan mood/insiden? Tidak hanya cerpen, dongeng pun memiliki ciri-ciri yang serupa bila mau dipukul rata seperti itu. Dongeng, cerita rakyat, novel, fantasi, semua cerita biasa. Yang membuatnya tidak biasa ada pada tema dan topik, serta teknik penceritaan. Sama halnya dengan cerita pendek, menurut saya yang membedakannya adalah panjang cerita, serta sifatnya yang bisa dibaca “in one sitting” atau dalam satu sesi duduk-baca; dan karena itu lumrahnya menawarkan sesuatu yang berada di luar pakem plot-pesan (apalagi pesan moral). Seiring dengan berkembangnya teknik bercerita, masing-masing bentuk cerita juga ikut berkembang. Cerita pendek sering dikatakan sebagai cermin kehidupan, yang paling dekat dengan keseharian masyarakat.
2. Cerpen bisa sederhana, tentu. Sebagian besar cerpen sederhana. Kesederhanaan adalah motto sebagian besar penulis legenda. Hanya karena si penulis membubuhkan simbol-simbol tertentu tidak berarti cerita itu kompleks. Fungsi simbol (bagi penulis) adalah sebagai bentuk ekspresi, bukan keharusan. Kesederhanaan cerita tidak dilihat dari apakah cerita tersebut bersimbol atau tidak, melainkan dari teknik bercerita dan pendekatan untuk mencapai tujuan cerita (bukan tujuan si penulis, tapi tujuan cerita itu sendiri). Rumit tidaknya sebuah film juga tidak dilihat dari simbol-simbol ataupun special effects-nya, melainkan bagaimana film itu berusaha mencapai tujuannya lewat teknik bercerita dan juga pendekatan yang digunakan.
3. Terkait dengan jawaban no.2. Sama seperti kompleksitas sebuah cerpen tidak ditentukan oleh simbol-simbol yang ditanam penulis dalam cerita yang ia tulis, maka seni-nya juga tidak bersandar pada kemampuan pembaca dalam membaca/menyingkap simbol-simbol tersebut.
5. Kenapa tidak? Banyak cerpen ditulis tanpa pesan, tapi hampir tidak ada cerita yang ditulis tanpa tujuan.
6. Dunia sastra, sama seperti bidang seni lain, juga memiliki standar dan barometernya sendiri untuk menentukan apakah karya yang dihasilkan dalam bidang tersebut layak dianggap berkualitas atau tidak. Tapi siapa saja boleh mendebatkan opini seorang kritikus, selama pendekatan yang digunakan logis. Misalnya, ada orang yang menganggap Romeo & Juliet sebagai karya Shakespeare yang paling buruk untuk alasan (A), (B), (C) — ya itu sah-sah saja.
Semoga jawaban-jawaban di atas berguna 🙂
Salam,
Maggie
SukaSuka
Jawabannya sangat membantu, tidak hanya membuat saya tertarik untuk membaca cerpen tetapi juga untuk mencoba belajar menulisnya. Terimakasih Mbak Maggie.
SukaSuka
terus terang saya masih awam dengan cerpen, saya baru niat membaca dari 3 hari yang lalu untuk baca cerpen karena berawal dari membaca ulasannya yang terkesan rumit. Saya masih bingung tentang cerpen. Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan.
1. Apakah cerpen itu bukan sekedar cerita biasa ?
2. Jika cerpen bukan sekedar cerita , mengapa penulis harus menyiratkan maksud/ lambang/ simbol dalam cerita ? , apakah cerpen tidak sesederhana cerita film ? (misalnya saja pada Film RURONI KENSHIN)
3. Apakah seni cerpen itu terletak pada kesulitan para pembaca dalam mengungkap makna/simbol/lambang cerpen ?
4. Apakah cerpen tidak dapat ditulis sebagai cerita biasa tanpa mengedepankan maksud tersembunyi?
5. Apakah mungkin seorang cerpenis menulis cerpen begitu saja tanpa menghiraukan pesan dibelakangnya (misal : pesan moral) dan akhirnya pembaca memberikan berbagai tafsiran pesan moral terhadap tulisan tersebut ?
6. Apakah kelas / kualitas cerpen sangat ditentukan oleh opini para reviewer ?
Mohon pencerahannya, terimakasih.
SukaSuka