EDISI SPESIAL

 

Waktu kecil, saya pernah hilang di antara kerumunan orang banyak. Kejadiannya sangat singkat. Di satu saat saya sedang berdiri berdampingan dengan ayah saya di depan etalase toko sepatu, dan di saat lainnya saya meraung di tengah arak-arakan massa yang mengiringi jalannya sepasang Ondel-Ondel. Usia saya sekitar empat, lima tahun. Pikiran saya langsung kalut. Saya yakin saya tersesat dan takkan pernah lagi menemukan jalan pulang. Tapi saya tetap berusaha. Apa hal terakhir yang saya ingat? Mobil! Logika saya saat itu, dua puluh delapan tahun lalu, berbunyi: “Bila saya menunggu di samping mobil, saya aman. Orangtua saya pasti kembali ke mobil mereka sebelum pulang.” Namun begitu saya tiba di tempat parkir, saya menemukan begitu banyak mobil berjajar dari ujung ke ujung hingga saya tak ingat lagi yang mana mobil keluarga saya. Saya hanya ingat warnanya putih. Dan warna itu ada di mana-mana. Saya melongok dari balik jendela sejumlah mobil, berharap mengenali interior di dalam. Tapi buntut-buntutnya, saya menangis lagi. Matahari bergerak semakin tinggi di atas kepala. Saya kangen orangtua dan kakak saya. Saya sedih karena yakin takkan berjumpa dengan mereka lagi. Lantas seorang satpam menghampiri, “Kenapa menangis, Dik?” Saya ceritakan kesedihan saya dengan kalimat terbata dan diulang-ulang. Dia mengulurkan sebelah tangan, “Yuk, Bapak antar ke kantor keamanan.” Di sana, saya dipersilakan duduk dan disuguhkan minum. Dalam waktu singkat, perhatian saya sudah terserap pada kegiatan di dalam kantor keamanan yang berantakan gara-gara tumpukkan barang hilang. Dompet, boneka, kantong belanjaan, bantal, buku, botol minuman, tempat makan dan banyak lainnya. Lalu saya dengar jeritan Ibu, dibarengi oleh desahan lega Kakak dan wajah pucat Ayah. Saya tersenyum lebar. Ketika saya dewasa, belasan tahun kemudian, saya sempat tanya pada Ibu apa yang dia pikirkan saat sadar saya hilang. Jawabannya polos: “Aduuh, siapa yang nanti kasih makan kamu? Kamu kan doyan makan!”

* * *

Di usia 21 tahun, di negara asing, saya pernah mencari kediaman seseorang selama empat jam. Waktu itu musim dingin dan angin beku berembus kencang di atas jam enam sore. Matahari juga sudah lama terbenam, hingga saya harus bersandar pada lampu-lampu jalan saat membaca alamat yang saya tuju di atas kertas lipat. Setiap kompleks perumahan di kota asing itu tampak senada. Pekatnya langit malam di musim dingin sungguh membuat saya ragu akan keberadaan saya. Sepinya jalan-jalan kompleks perumahan juga membuat nyali semakin ciut. Akankah saya temukan rumah yang dituju? Setiap orang yang saya temui di jalan memberi petunjuk ke arah  berbeda hingga akhirnya saya semakin jauh dari tempat tujuan. Di jam ke empat, saya menyerah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ponsel saya tidak dapat sinyal. Saya tidak tahu bagaimana caranya  kembali ke jalan besar. Bus dalam kota juga sudah berhenti melayani penumpang. Saya harus jalan kaki ke stasiun kereta. Seolah hendak mendramatisir suasana, malam itu salju turun lebat. Sekarang nyaris tak ada manusia yang berada di luar rumah. Kecuali saya. Saya ingat benar ketakutan yang menggerayangi pikiran saya. Saya mendadak kangen keluarga yang jaraknya ribuan kilometer di ujung dunia. Saya duduk lemas di tepi jalan, berusaha menghangatkan tubuh, memikirkan cara pulang. Haruskah saya mengetuk pintu rumah penduduk setempat? Apa tidak malu? Tapi apa gunanya malu dalam kondisi semacam itu? Untungnya, tiba-tiba seorang pemuda keluar dari salah satu rumah di kompleks tersebut. Saya segera menghampiri, bertanya arah terdekat menuju stasiun kereta dalam kota. Pemuda itu menawarkan tumpangan karena salju yang kian lebat menghujan. Saya beruntung tidak berakhir di atas meja bedah seorang pembunuh serial. Pemuda itu bernama Benjamin. Dia baru saja mengunjungi rumah orangtuanya dan hendak berkendara kembali ke asrama. Kami berbincang selama dua puluh menit dalam perjalanan. Ternyata stasiun kereta itu letaknya sangat jauh dari tempat saya berada. Ternyata sejak lima menit pertama menjajaki kompleks perumahan yang luas itu saya sudah salah arah. Empat jam saya habiskan mengelilingi tempat asing yang sampai saat ini tetap terasa asing. “Jangan tersesat lagi,” pesan Benjamin. Saya melambai. Kami tak pernah bertemu lagi.

* * *

Sembilan tahun lalu saya bertemu dengan jodoh saya. Dua hari kemudian, dia bertemu dengan jodohnya. Mungkin kami tersesat.

* * *

Kamu pernah tersesat?

TERBIT 15 JULI 2013

SKTLA_cover

Ikuti terus update tentang SKTLA dan proses kreatifnya di sini atau baca sedikit backstory beberapa cerita di sini.

Salam,

Maggie Tiojakin

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

11 Comment on “Selamat, Anda Tersesat!

Tinggalkan balasan