ALICE MUNRO adalah seorang penulis cerita pendek asal Ontario, Kanada yang sangat dihormati dan digemari karyanya. Dia termasuk penulis yang sangat prolifik dengan reputasi tinggi. Pada bulan Oktober 2013, ia menerima Penghargaan Nobel Sastra untuk karya-karyanya yang dianggap “menguak tabir kemanusiaan”. Seperti Anton Chekhov, Alice tidak pernah menulis novel utuh—namun setiap ceritanya mengandung elemen-elemen novel yang membuatnya terkesan ‘penuh’. Karya-karyanya antara lain berjudul: Friend of My Youth, Runaway, Too Much Happiness dan Dear Life.
Berikut ini adalah penggalan wawancara yang pernah dilakukan The Paris Review: The Art of Fiction #137.
Selamat membaca.
~ Tim Fiksi Lotus
———————————————-
PEMBACA PERTAMA
Saya tidak pernah menunjukkan karya yang masih dalam tahap penyelesaian kepada siapapun.
PENGALAMAN DIEDIT
Saat cerita pendek saya diterima oleh jurnal The New Yorker, di situlah saya mendapatkan pengalaman pertama dalam hal pengeditan serius. Sebelumnya saya hanya berurusan dengan masalah copyediting dengan sedikit sekali usulan—tidak banyak pokoknya. Karena harus ada kesepakatan antara si editor dan saya tentang apa-apa saja yang perlu diganti, dikeluarkan serta ditambahkan ke dalam sebuah karya. Editor saya yang pertama di The New Yorker bernama Chip McGrath dan dia adalah seorang editor handal. Saya sangat terkejut mendapati betapa besar komitmen yang dia berikan terhadap karya saya. Terkadang kami tidak melakukan perubahan besar, tapi ada juga saat di mana dia memberikan arahan yang cukup signifikan kepada saya. Suatu kali saya pernah menulis ulang sebuah cerita pendek berjudul The Turkey Season yang sudah ia beli untuk diterbitkan di The New Yorker. Saya pikir dia akan menerima perubahan yang saya berikan begitu saja, tanpa banyak protes. Namun saya salah. Katanya, “Ada beberapa hal dalam revisian ceritamu yang saya suka dan ada juga hal lain yang menurut saya lebih menarik dalam versi draft sebelumnya. Kita lihat saja nanti ya.” Dia tidak pernah memberikan kepastian yang mutlak, karena sebuah cerita selalu punya potensi untuk dikembangkan. Saya rasa metode pendekatan seperti itu cukup manjur dalam menghasilkan versi akhir yang lebih menarik.
IDE CERITA
Dalam cerita pendek saya yang berjudul Thanks for the Ride, saya mengambil sudut pandang seorang pemuda kota yang sombong. Di dalam cerita, pemuda itu mengajak jalan seorang gadis miskin dan akhirnya menidurinya. Pemuda tersebut kemudian merasakan konflik emosi, antara daya tarik terhadap gadis tadi serta kejijikan terhadap kondisi ekonomi gadis itu. Cerita ini saya tulis saat kehidupan saya sudah cukup mapan. Semua diawali dengan kunjungan teman suami saya di musim panas, ketika saya tengah mengandung anak pertama saya. Teman suami saya menginap di rumah kami selama seminggu. Dia bekerja di Badan Pengkajian Film Nasional, dan saat itu dia sedang ditugaskan untuk mengawasi proses syuting film di Kanada. Dia banyak cerita di rumah kami—anekdot ini-itu tentang kehidupan. Salah satu ceritanya adalah tentang pengalamannya berada di sebuah kota kecil di Georgian Bay dan bagaimana dia mengencani seorang gadis lokal di sana. Pengalaman itu sangat singkat: tentang hubungan antara seorang pemuda kelas menengah ke atas dan seorang gadis dari kalangan menengah ke bawah. Karakter gadis ini sangat familiar buat saya, tapi tidak familiar untuk teman suami saya. Maka saya merasa teramat dekat dengan karakter gadis itu serta keluarga dan situasinya. Saya menulis cerita Thanks for the Ride tidak lama setelah kunjungan itu.
JADWAL MENULIS
Ketika anak-anak saya masih kecil, saya selalu menyempatkan menulis setelah mereka berangkat sekolah. Bisa dibilang saya bekerja sangat giat di masa tersebut. Suami saya dan saya memiliki sebuah toko buku, dan bahkan jika giliran saya tiba untuk jaga toko, saya takkan berangkat dari rumah sampai pukul dua belas siang. Seharusnya saya membereskan rumah, tapi saya justru banyak menghabiskan waktu menulis. Beberapa tahun kemudian, saat saya tidak lagi bekerja di toko buku, saya akan menulis sampai keluarga pulang untuk makan siang, dan disambung lagi saat mereka keluar rumah sehabis makan siang—sampai sekitar pukul 2.30 siang. Setelah itu saya akan minum secangkir kopi dan membereskan rumah sebelum anak-anak dan suami saya pulang.
Sekarang saya menulis setiap pagi, tujuh hari seminggu. Saya mulai menulis pukul 8 dan selesai pada pukul 11. Setelah itu saya akan melakukan hal lain selama seharian penuh. Kecuali saya sedang menyelesaikan draft terakhir sebuah cerita atau saya sangat terdorong untuk menulis sesuatu—pada saat itu saya akan bekerja seharian, dengan sedikit sekali waktu istirahat.
KERANGKA CERITA
Dalam menulis sebuah cerita, saya jarang sekali mengetahui detail plot yang akan terjadi. Bagi saya cerita yang baik selalu mengalami perubahan saat masih dalam proses penulisan. Contohnya: saat ini saya sedang memulai sebuah cerita. Saya menulisnya setiap pagi dan buat saya cerita ini sudah tampak cukup rapi. Tapi saya belum begitu menyukainya; dan saya berharap, entah kapan, saya akan mulai menyukainya. Biasanya saya harus mengenal cerita yang hendak saya sampaikan sebelum saya mulai menuliskannya. Ketika saya tidak punya jadwal menulis yang tetap, saya terbiasa memikirkan cerita yang ingin saya sampaikan di kepala—maka saat saya menulisnya, saya sudah mengenal betul setiap elemen dalam cerita itu. Sekarang saya menuliskan hal-hal tersebut di sebuah buku catatan. Saya punya banyak sekali buku catatan berisi tulisan yang semrawut. Saya tidak perduli apa yang saya tulis di dalamnya, karena intinya saya hanya ingin menulis bebas. Saya bukan penulis yang bisa menulis kilat dan menyelesaikan sebuah cerita hanya dengan satu draft saja. Biasanya saya akan melintasi jalur yang salah, sebelum akhirnya saya harus kembali ke titik awal dan memulai perjalanan cerita itu kembali.
MENGENALI POTENSI CERITA
Saya bisa saja menulis lancar suatu hari dari pagi sampai malam dan menghasilkan lebih banyak tulisan dari biasanya. Tapi kemudian keesokan harinya saya sadar bahwa saya tidak suka apa yang saya tulis sehari sebelumnya. Sistem ukur saya adalah: jika saya merasa enggan mendekati cerita yang sedang saya tulis, atau jika saya harus memberikan dorongan ekstra pada diri saya sendiri untuk melanjutkan cerita tersebut, maka pasti ada yang salah dengan cerita itu. Biasanya setelah menuliskan tiga-perempat isi cerita, saya tiba pada titik di mana saya merasa cerita yang sedang saya tulis lebih baik ditelantarkan. Kalau sudah begitu saya pasti rewel selama satu, dua hari. Lantas saya akan memikirkan hal lain yang ingin saya tulis. Antara saya dan proses menulis ada hubungan yang tidak jauh berbeda dengan percintaan. Mengenali potensi cerita itu sama dengan mengenali potensi pasangan. Terkadang kita menghabiskan banyak waktu dengan orang yang tidak begitu kita sukai dan akhirnya mendulang kekecewaan dan kesedihan—tapi kita tak sadar di mana kesalahan kita. Namun setelah itu saya juga cenderung menemukan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan cerita yang sudah saya telantarkan. Sayangnya, jalan keluar itu baru terpikir setelah saya menyerah.
RESENSI BUKU
Pendapat atau kritik tentang karya kita bisa penting, bisa juga tidak. Sebagai penulis, tak ada yang bisa kita pelajari dari kritik pembaca; tapi kita bisa menuai perasaan sakit hati dengan mudah dari kritik. Bila karya kita dinilai tidak bagus, kita cenderung merasa dipermalukan di depan umum. Meski kita meyakinkan diri bahwa tidak ada kritik yang perlu untuk diperhatikan, namun ujung-ujungnya kita selalu berusaha untuk mencari tahu. Jadi…
KEPERCAYAAN DIRI
Dalam menulis, saya selalu punya rasa percaya diri yang tinggi—tapi saya juga punya kekhawatiran bahwa rasa percaya diri itu tumbuh di tempat yang tidak seharusnya. Menurut saya, rasa percaya diri yang saya miliki datangnya dari kebodohan saya sendiri. Karena karya saya bukan karya populer, saya tidak pernah tahu bahwa profesi menulis seringkali dianggap tabu bagi kaum wanita ataupun mereka yang datang dari kelas menengah ke bawah. Bila kita tahu kita bisa menulis dengan baik di tengah lingkungan di mana orang-orangnya bahkan merasa kesulitan membaca, tentu saja kita berpikir bahwa bakat yang kita miliki sangatlah spesial.
2013 © Hak cipta. Fiksi Lotus dan The Paris Review. Tidak untuk dijual, ditukar ataupun digandakan.
Seru banget segmen baru ini. Sangat menginspirasi membaca proses kreatif berbagai penulis. Gak sabar nunggu dari penulis lainnya. Bravo, Fiksi Lotus!
SukaSuka
Hi Oddie. Terima kasih atas komentar dan kunjungannya ya. Ditunggu edisi berikutnya! 🙂
SukaSuka
request proses kreatif penulis lain donk 🙂
1. Arthur Conan Doyle
2. Agatha Crhistie
3. Haruki Murakami
5. Jorge Luis Borges
6. Virginia Woolf
7. John Grisham
8. Erle Stanley Gardner
9. Rei Kimura
10. Simon Winchester
Aihhhh…. kebanyakan, ya? Kalau bisa dijadiin sebuah buku aja 🙂
Thanks
SukaSuka
Hi Hume.
Kami akan menghadirkan beberapa penulis dalam daftar kamu untuk segmen proses kreatif. Ditunggu ya! Terima kasih atas kunjungannya 🙂
SukaSuka
bikin saya ga ngerasa kesepian karena ternyata bila proses menulis kita ga selesai-selesai , kita tak boleh menyerah dalam menulis. Great job fiksi lotus!
SukaSuka
Hi Fe. Terima kasih ya untuk komentarnya. Yep, jangan pernah menyerah. Terus menulis! Thanks for visiting 🙂
SukaSuka
Saya member baru disini, ini anugerah buat saya bisa menemukan ini.
Terimakasih, untuk ilmu-ilmu kepenulisannya. 😀
SukaSuka
Hi V. Selamat bergabung! Terima kasih juga atas kunjungannya ke Fiksi Lotus ya 🙂
SukaSuka
Judul proses kreatif # 1 menjanjikan seri tulisan berikutnya. Senang banget fiksi lotus menampilkan edisi proses kreatif (atau menampilkan kembali, jika sebelumnya sudah ada). Saya kadang berpikir, betapa kering rasanya tulisan tentang tips/trik/cara/metode menulis jika sudah disodori tulisan mengenai proses kreatif seperti yang kali ini ditampilkan.
Saya juga request dong, proses kreatif Truman Capote dan salah satu terjemahan cerpen Paris Review yang gratis dibaca. Terima kasih sebelumnya, Mbak Maggie.
SukaSuka
Hi Agus. Makasih ya untuk komentarnya. Nanti akan diusahakan mengkompilasi proses kreatif Truman Capote. Salam kreatif!
SukaSuka
Maaf Mbak Maggie, boleh tanya? Apa cerpen Gooseberries dari Anton Chekhov sudah ada terjemahannya? Terima kasih.
SukaSuka
Hai Agus. Kalau tidak salah sudah pernah diterjemahkan dalam bentuk koleksi, tapi aku lupa siapa yang menerbitkan. Nanti kalau ketemu akan dikabari ya. Tapi cerpen itu memang sudah ada dalam daftar antrian di Fiksi Lotus 🙂 Makasih yaaaa komentarnya :))
SukaSuka
Fiksi Lotus punya cerpen-cerpen Alice Munro ga yang bisa disuguhkan di situs ini? di indonesia ada ga ya bukunya? ato harus beli e-booknya dari web luar y? baca ini jadi penasaran pengen baca karya2 Alice Munro nih 🙂
SukaSuka
Hi Katumbiri. Sebenarnya ada beberapa cerpen Alice Munro yang sudah kami siapkan, tapi kami belum dapat ijin dari penulis/penerbit — dan masih diusahakan. Semoga bisa terbit secepatnya di sini ya 🙂 Terima kasih atas kunjungannya.
SukaSuka
mba maggie, tlisan mngenai harper lee ga?
SukaSuka
Hi Willy,
Ada nanti itu termasuk dalam antrean 🙂
SukaSuka
Suka banget jadi makin semangat buat lnjutin cerita yg udah berbulan2 gga selesai, semangat semangat 😀
SukaSuka
Suka banget,jd mkin termtivasi
SukaSuka
Hai mbak Maggie, thanks banget atas artikel2 yg disuguhkannya. Sangat bermanfaat.. 😀 Kehadiran FIksi Lotus bagaikan menara bagi penulis2 lainnya, yang selalu mengilhami dan memberi semangat, khususnya buat saya, untuk makin kreatif di dalam berpikir, bertutur dan menulis. Mbak Maggie, usul proses kreatif penulis Mo Yan, penerima Nobel Sastra thn 2012. Thanks mbak Maggie. Salam kreatif.
SukaSuka
Hai, sebelumnya salam kenal, saya Tazkia – pengunjung baru situs ini. Sungguh, untuk saya yang masih dalam tahap belajar menulis, situs ini benar-benar membantu.
Hmm, saya sangat suka dengan artikel seperti ini. Saya termasuk orang yang belum mengetahui banyak tentang penulis-penulis mancanegara, dan begitu membaca serta mengetahui tentang proses kreatif penulis (terutama Alice Munro) yang disajikan di Fiksi Lotus, saya jadi lebih termotivasi.
Saya juga sering merasa bosan di tengah-tengah proses penulisan cerpen (atau fanfiksi) saya karena masalah ide. Tidak jarang saya juga berpikir untuk apa dilanjutkan; kesannya benar-benar membosankan. Terlebih, saya juga sudah kelas 9. Tidak banyak waktu bagi saya untuk menulis karena harus fokus ujian.
Tapi, Ibu saya sering bilang tidak masalah jika tidak dilanjutkan, asalkan jangan sampai dihapus dari draft. Tulisan-tulisannya bisa dilanjut saat saya sudah merasa siap, kendati harus merombak ide, begitu kata Ibu saya.
Untuk Mbak Maggie, terima kasih karena sudah mengelola Fiksi Lotus ini. Saya jadi bisa belajar banyak. Semangat! 🙂
SukaSuka
Terimakasih, saya senang.
SukaSuka
Reblogged this on basoakbar07.
SukaSuka