Ray Bradbury
Suatu sore di bulan September aku berjumpa dengan Pria Bertato untuk pertama kalinya. Saat itu, aku tengah menelusuri sebuah jalan beraspal di hari terakhir sebuah tur singkat di Wisconsin. Setelah sepagian berjalan kaki, sore harinya aku berhenti di sebuah restoran untuk menyantap babi panggang, kacang jogo, dan sebentuk donat. Aku baru saja hendak meluruskan kaki sambil membaca buku ketika si Pria Bertato melintasi area perbukitan dan berdiri di atas bukit sambil menatap langit luas.
Tepat pada momen itu aku belum tahu bahwa dia bertato. Aku hanya tahu dia bertubuh tinggi dengan porsi sedikit gemuk; meski terlihat pula bahwa dulunya ia sempat memiliki porsi tubuh kekar. Aku juga ingat betapa panjang kedua lengannya; betapa tebal kedua tangannya; dan betapa kekanakan wajahnya. Semua itu disanggah oleh tubuh yang sangat besar.
Pria itu nampaknya merasakan kehadiranku, tapi ia tak menoleh ke arahku ketika ia mengutarakan kalimat pertamanya:
“Kau tahu di mana aku bisa cari kerja?”
“Tidak,” jawabku.
“Sudah empat puluh tahun belakangan ini aku tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang langgeng,” cetusnya.
Hari itu cukup panas, namun pria tersebut mengenakan kemeja berbahan wol yang dikancing sampai leher. Lengan kemejanya juga diluruskan sampai ke pergelangan tangan. Wajahnya berkeringat, tapi ia sama sekali tidak berusaha untuk membuka kancing pakaiannya.
“Well,” katanya lagi. “Mungkin sebaiknya aku bermalam di sini. Kau keberatan?”
“Aku masih punya makanan kalau kau lapar,” kataku.
Pria itu segera duduk sambil melenguh. “Nanti kau pasti menyesal sudah berbaik hati padaku,” katanya. “Semua orang selalu menyesal. Itu sebabnya aku tak pernah diam di satu tempat. Di saat seperti sekarang, di awal bulan September, saat karnaval dilangsungkan menyambut perayaan Hari Buruh—seharusnya aku bisa bekerja di karnaval mana saja yang kuinginkan. Tapi nyatanya aku di sini tanpa ada kejelasan.”
Pria itu melepas sepatu yang ia kenakan. Sepatu itu berukuran cukup besar, dan dia menatapnya lekat-lekat. “Biasanya aku hanya mampu bertahan selama sepuluh hari dalam satu pekerjaan. Setelah itu, pasti ada sesuatu yang terjadi dan aku langsung dipecat. Sekarang tak ada satu pun karnaval yang mau mempekerjakanku.”
“Memang apa masalahnya?” tanyaku.
Untuk menjawab pertanyaanku, pria itu membuka kancing kerah kemejanya perlahan-lahan. Dengan mata tertutup, ia lanjut membuka kancing-kancing lain pada kemejanya dengan gerakan menurun. Kemudian ia menyelipkan sebelah tangan ke bawah lapisan kemeja, tepat di atas dadanya.
“Aneh,” katanya dengan mata masih terpejam. “Aku tidak bisa merasakannya, tapi aku tahu mereka masih ada di sini. Aku selalu berharap suatu hari aku akan menatap tubuhku dan tidak melihat jejak mereka sama sekali. Aku berjalan kaki di bawah sinar matahari yang menyengat sampai kulitku terpanggang karena berharap keringat yang membasuh tubuhku akan membasuh mereka tanpa sisa. Namun begitu matahari terbenam, mereka masih ada di sini.” Ia memiringkan kepalanya sedikit ke arahku dan menunjukkan dadanya. “Apakah mereka masih ada?”
Setelah beberapa saat, aku menghela napas. “Ya,” kataku. “Mereka masih ada.”
Bukan tato biasa, melainkan serangkaian gambar dengan nilai seni tinggi.
“Salah satu alasan aku mengancing baju sampai leher”—kata pria itu, kini dengan mata terbuka—“adalah untuk melindungi anak-anak kecil. Mereka selalu mengikutiku di mana pun aku berada, terutama di kampung-kampung. Semua orang ingin melihat gambar-gambar ini, dan semua orang juga takut terhadap gambar-gambar ini.”
Pria Bertato melepas kemeja yang ia kenakan dan menggumpalnya di tangan. Seluruh tubuhnya penuh dengan gambar—dari lingkaran tato biru di leher sampai ke garis pinggangnya.
“Tidak hanya di bagian-bagian yang terlihat saja, seluruh tubuhku penuh gambar,” kata Pria Bertato seolah membaca pikiranku.
“Lihat,” katanya. Pria Bertato membuka tangannya. Di atas telapak tangan ada gambar bunga mawar segar yang baru saja dipetik. Di antara kelopaknya yang ranum terdapat titik-titik embun jernih. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh bunga itu. Namun bunga itu tak lebih dari sekadar ilustrasi saja.
Pria Bertato tidak bercanda ketika dia menyatakan bahwa sekujur tubuhnya telah habis digambar. Aku sempat duduk tercenung mengamati gambar-gambar yang memenuhi ruang kulitnya—dari kumpulan gambar roket sampai air mancur sampai manusia. Masing-masing gambar memiliki detil dan warna yang rumit hingga siapa saja yang ada didekatnya nyaris bisa mendengar gumam suara yang samar-samar terdengar dari ‘kehidupan’ yang memenuhi tubuhnya. Saat kulitnya berkedut, mulut-mulut mungil yang tergambar di atasnya kontan mengerlip, sementara mata mereka yang berwarna hijau-keemasan berkedip—dan tangan mereka yang berwarna merah muda ikut bergerak. Di atas tubuhnya ada hamparan padang rumput berwarna kuning, aliran sungai biru, serta rangkaian pegunungan, bintang, matahari dan gugusan planet yang tersebar di atas bidang dadanya. Di situlah Bimasakti berada. Sedangkan gambaran kelompok manusia mendiami bagian lengan, pundak, punggung, samping tubuh, dan pergelangan tangan—serta perutnya. Aku menemukan gambaran manusia yang tersembunyi di antara hutan rambut; di antara konstelasi bintik pigmen; atau mengumpat di balik lekuk ketiak dengan mata bersinar bak batu permata. Setiap manusia yang tergambar di tubuh Pria Bertato seolah memiliki keinginannya sendiri. Setiap gambar adalah sebuah potret galeri seni.
“Gambar-gambar ini indah!” seruku.
Bagaimana aku harus menjelaskan gambar-gambar ini? Jika El Greco (seorang pelukis Spanyol yang terkenal dengan karya-karya berwarna mencolok—ed.) sempat melukis obyek-obyek miniatur di masanya, tidak lebih besar dari ukuran tangan manusia, dengan detil tanpa batas, dengan warna, pemanjangan dan anatomi yang begitu mencolok, mungkin ia akan menggunakan tubuh Pria Bertato sebagai kanvas seninya. Warna-warna ini membantu gambar-gambar tersebut jadi semakin hidup dengan tampilan tiga dimensi. Seakan masing-masing ilustrasi adalah jendela dari mana kita bisa mengintip ke dalam sebuah realita. Di sini, dipadatkan ke dalam satu bidang anatomi manusia, tersemat ilustrasi kehidupan yang mencakupi seluruh alam raya. Pria ini adalah karya seni berjalan. Ilustrasi di tubuhnya bukan hasil pekerjaan seorang amatir dengan karya murahan yang senang mabuk-mabukkan. Gambar-gambar tersebut adalah karya jenius milik seorang ilustrator profesional yang tahu arti keindahan.
“Benar,” kata Pria Bertato. “Aku sangat bangga pada gambar-gambar ini hingga aku ingin membakarnya. Aku sudah mencoba mengamplas, menuang zat asam sampai mencungkilnya dengan pisau—”
Matahari mulai terbenam. Bulan menunjukkan sinar peraknya dari arah Timur langit.
“Karena ilustrasi ini bisa meramal masa depan,” katanya.
Aku diam saja.
“Di siang hari tidak ada masalah,” lanjut Pria Bertato. “Aku bisa kerja pada siang hari di karnaval manapun. Tapi di malam hari—gambar-gambar ini bergerak. Lalu mereka berubah.”
Tanpa sadar, aku tersenyum. “Sudah berapa lama tubuhmu digambar seperti ini?”
“Sejak 1900, ketika usiaku 20 tahun. Saat itu aku sedang bekerja di sebuah karnaval dan tak sengaja mematahkan kakiku. Terpaksa aku harus istirahat total di ranjang. Aku tidak mau berdiam diri terus, maka kuputuskan untuk menato tubuhku.”
“Tapi siapa yang menato tubuhmu? Apa yang terjadi pada seniman itu?”
“Dia sudah kembali ke masa depan,” ujar Pria Bertato. “Aku serius. Dia adalah seorang wanita tua yang tinggal di sebuah rumah mungil di Wisconsin—tidak jauh dari sini. Wanita itu bertubuh kecil dengan tampilan berubah-ubah. Kadang dia terlihat seolah usianya sudah seribu tahun; kadang dia terlihat seperti anak gadis berusia dua puluh tahun. Dia bilang padaku bahwa dia bisa jalan-jalan mengarungi waktu. Aku tertawa. Sekarang aku sadar dia mengatakan yang sebenarnya.”
“Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?”
Pria Bertato menjelaskannya padaku. Ia pernah melihat papan pengumuman di pinggir jalan yang bertuliskan: ILUSTRASI KULIT! Ilustrasi, bukan tato! Artistik! Maka Pria Bertato duduk semalam suntuk menunggu wanita itu menyelesaikan proses penggambaran ilustrasi pada tubuhnya dengan menggunakan jarum ajaib yang menyengat kulitnya secara sistematis seperti sengatan rayap (kasar) dan lebah (halus). Pagi harinya, ia mendapati dirinya terlihat seperti seseorang yang baru saja keluar dari mesin cetak dengan tubuh warna-warni.
“Selama lima puluh tahun, setiap musim panas, aku selalu memburu wanita itu,” kata Pria Bertato sambil menggerakkan tangan di udara. “Kalau sampai ketemu, akan kubunuh dia.”
* * *
Matahari telah sirna. Sekarang bintang-bintang bertaburan di langit gelap dan pancaran cahaya bulan menerangi padang rumput dan gandum. Gambar-gambar pada tubuh Pria Bertato berpendar layaknya batu bara yang membara atau batu permata yang berserakan—menampilkan warna-warna gemilang milik para pelukis ternama di dunia.
“Semua majikan yang pernah mempekerjakanku selalu memecatku begitu mereka lihat gambar-gambar ini bergerak. Mereka tidak suka kalau ada kekerasan yang terjadi dalam gambar-gambar ini. Setiap gambar atau ilustrasi merupakan sepotong cerita pendek. Kalau kau menatapnya lama-lama, dalam waktu beberapa menit mereka akan menceritakan sebuah dongeng untukmu. Dalam waktu tiga jam, kau bisa melihat delapan belas atau dua puluh cerita sedang bergerak pada tubuhku. Kau bisa mendengar suara-suara dan pemikiran. Semua ada di sini, menunggu untuk dilihat. Selain itu, masih ada ruang khusus di tubuhku.” Pria Bertato menunjukkan punggungnya. “Lihat? Tidak ada desain spesifik di pundak kananku, hanya kumpulan gambar acak.”
“Ya.”
“Jika aku berada di dekat seseorang untuk waktu yang cukup lama, pundak kananku akan terlihat berkabut sebelum gambar baru tercetak di sana. Jika aku bersama seorang wanita, maka gambarnya yang akan muncul di sana, di punggungku. Dalam satu jam, gambar itu akan menunjukkan seluruh hidupnya—bagaimana dia hidup, bagaimana dia mati, bagaimana rupanya saat dia berusia enam puluh tahun. Dan jika aku bersama seorang laki-laki, sejam kemudian gambarnya juga muncul di punggungku. Gambar itu akan menunjukkan bagaimana dia jatuh dari tebing atau terlindas kereta. Gara-gara itu aku selalu dipecat dari pekerjaanku.”
Selama berbicara, Pria Bertato selalu menyentuh gambar-gambar di tubuhnya dengan kedua tangan seolah hendak menyesuaikan bingkai setiap karya atau membersihkan debu yang menempel—gestur profesional seorang ahli seni atau kolektor karya seni. Sekarang dia berbaring di atas punggung, tubuhnya terlihat panjang dan besar di bawah pancaran sinar bulan. Malam itu terasa hangat. Tak ada angin, hingga mengundang penat. Kami berdua bertelanjang dada.
“Kau tak pernah menemukan wanita tua itu lagi?”
“Tidak.”
“Dan kau yakin dia datang dari masa depan?”
“Kalau tidak, bagaimana dia bisa tahu soal cerita-cerita yang bergerak di tubuhku?”
Pria Bertato memejamkan mata, lelah. Suaranya semakin lemah. “Terkadang, di malam hari, aku bisa merasakan gambar-gambar ini seperti semut yang menggerayangi tubuhku. Maka aku tahu mereka sedang bercerita. Aku tak pernah memperhatikan gerakan mereka lagi. Aku hanya ingin beristirahat. Aku jarang bisa tidur dengan tenang. Kau juga jangan memandangi gambar-gambar di tubuhku. Aku peringatkan kau. Balikkan tubuhmu ke arah lain agar bisa tidur.”
Aku berbaring tidak jauh darinya. Pria Bertato itu tidak bengis dan gambar-gambar yang tertera di tubuhnya terlihat begitu indah. Kalau keadaannya berbeda, mungkin aku tergoda untuk berlari sejauh-jauhnya dari kisah yang terdegar gila itu. Namun gambar-gambar itu…aku mencernanya dengan saksama. Mataku tak mau berpaling. Siapa saja bisa gila bila dihantui oleh gambar-gambar semacam itu di tubuh mereka.
Malam itu sangat tenang. Aku bisa mendengar napas Pria Bertato di tengah pancaran cahaya bulan. Suara jangkrik berkumandang di kejauhan dari kedalaman jurang di belakang kami. Aku berbaring dengan posisi menyamping agar bisa terus memandangi gambar-gambar itu. Setengah jam berlalu. Aku tidak tahu apakah Pria Bertato itu sudah terlelap, tapi mendadak dia berbisik, “Mereka bergerak, kan?”
Aku terdiam.
Lalu aku menjawab: “Ya.”
Gambar-gambar itu bergerak, bergilir dari satu ke yang lain, masing-masing ‘bercerita’ selama satu, dua menit. Di bawah pancaran cahaya bulan yang keperakkan, suara-suara halus itu bangkit dari setiap gambar yang ada di tubuh Pria Bertato—dan drama demi drama berangsur hidup. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi setiap cerita untuk menyelesaikan adegannya. Mungkin satu atau tiga jam. Aku hanya tahu bahwa setiap menit yang kuhabiskan memandangi gambar-gambar itu bergerak membuatku takjub; dan aku terbaring kaku sementara bintang-bintang berputar di langit.
Delapan belas gambar atau ilustrasi yang tersemat di tubuh Pria Bertato menceritakan delapan belas kehidupan. Aku menghitungnya satu per satu.
Saat ini mataku tertumbuk pada satu adegan: sebuah rumah besar yang dihuni oleh dua orang manusia. Aku melihat burung gagak yang melintas cepat di langit senja yang berwarna kemerahan. Aku melihat singa-singa berbulu kuning. Dan aku mendengar suara-suara yang seolah datangnya dari kejauhan. Ilustrasi pertama bergetar dan mulai bercerita…
Pria Bertato bergerak dalam tidurnya. Ia membalikkan tubuh, dan setiap kali ia melakukan itu, gambar lain mulai berpendar, mewarnai punggungnya, lengannya, pergelangan tangannya. Ia menjatuhkan sebelah tangan di atas rerumputan yang kering dan gelap. Jemarinya dibiarkan terbuka lurus, dan di sana—di atas telapak tangannya—sebuah ilustrasi lain bergetar dan mulai bercerita. Ia meregangkan tubuh, dan di dadanya ada ruang Bimasakti yang sarat akan bintang dan kegelapan. Jauh di dalam kegelapan itu, di antara taburan bintang, ada sesuatu yang jatuh bebas—sementara aku menatap nanar.
Pria Bertato itu membalikkan tubuhnya lagi…dan lagi…dan lagi…
* * *
Saat ini hampir tengah malam. Posisi bulan semakin tinggi, hampir sejajar lurus di atas kepala. Pria Bertato terbaring diam. Aku sudah melihat semua yang bisa kulihat. Cerita-cerita itu sudah kucerna satu demi satu. Sampai selesai.
Sekarang hanya ada satu bagian yang masih misterius bagiku: ruang kosong di punggung Pria Bertato yang dihias oleh warna dan bentuk acak. Perlahan-lahan, area itu mulai bergerak, warna dan garis dan bentuk saling beradu mewujudkan satu kesatuan gambar—hingga akhirnya ada sebentuk wajah yang terpatri di sana, menatapku dari permukaan kulit penuh warna, dengan mata, hidung dan mulut yang kukenal.
Gambar itu tampak berkabut. Aku belum melihat keseluruhannya, namun aku segera bangkit berdiri. Aku berdiri di bawah pancaran cahaya bulan, khawatir bila angin atau bintang akan membangunkan galeri seni raksasa yang terbaring di dekat kakiku. Tapi Pria Bertato tetap tak bergerak, tidur tenang.
Gambar di punggungnya membentuk sosok Pria Bertato yang sedang mencekikku, jemarinya yang tebal melingkar di leherku. Aku tidak mau menunggu sampai gambar itu semakin jelas dan tajam—hadir sebagai ilustrasi nyata.
Aku menuruni bukit, berlari ke arah jalan besar di tengah gempuran cahaya bulan yang keperakkan. Aku tidak menoleh ke belakang. Sebuah kota kecil bersemayam tidak jauh dari jalan ini. Masih tertidur. Masih gelap. Aku yakin, sebelum pagi tiba, aku akan tiba di sana… FL
2013 © Fiksi Lotus dan Ray Bradbury. Tidak untuk ditukar, dijual-belikan, ataupun digandakan.
——————
# CATATAN:
> Cerita ini bertajuk “The Illustrated Man” dan merupakan pengantar serta penutup dari koleksi cerita pendek karya RAY BRADBURY yang berjudul The Illustrated Man. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1948. Koleksi ini berisi 18 cerita pendek.
>> RAY BRADBURY adalah seorang penulis fiksi ilmiah asal Amerika Serikat yang telah menulis sejumlah novel dan kumpulan cerpen. Karyanya yang paling dikenal merupakan sebuah novel distopia berjudul Fahrenheit 451. Ia meninggal di usia 91 tahun pada bulan Juni 2012.
# POIN DISKUSI:
1. Apa kesan kalian setelah membaca cerita ini?
2. Narator dalam cerita ini tidak bernama. Apakah menurut kalian bila narator diberikan nama akan mengubah kesan yang kalian dapatkan dari cerita ini? Kenapa?
3. Pria Bertato ingin memusnahkan gambar-gambar di tubuhnya. Sementara narator terpesona akan kualitas gambar-gambar itu yang menurutnya sangat indah. Apa signifikansi dua keinginan yang bertolak-belakang ini bagi kalian?
4. Apa pendapat kalian tentang ending cerita?
1. Gambaran dalam cerita ini dituliskan dengan sangat jelas.
2. Mungkin sedikit akan mengubah kesan cerita. Dengan menampilkan nama, pembaca tidak bisa 100% mengidentifikasikan dirinya ke dalam karakter “aku”. (Wah, saya baru kepikiran. Pantas cerita dengan pov ‘aku’ seringkali tidak menampilkan nama. Atau mungkin ada alasan lain…?).
3. Pria Bertato sudah mengetahui hal-hal buruk yang mengikuti keindahan tato di tubuhnya. Sedangkan narator belum mengetahuinya.
4. Saya pernah membaca cerita di majalah Stor* tentang ‘ramalan’ yang plotnya secara umum sama. Cerita itu bagus, jadi saya pikir mungkin cerita Ray Bradbury ini, yang notabene ditulis jauh lebih awal, akan memiliki ending yang serupa: si tokoh utama akan mengetahui nasib buruknya dari hal ramal-meramal yang awalnya ia kira ‘hebat’. Tetapi rupanya masih ada kejutan: nasib buruk yang diketahui narator lewat tato itu tidak lain akan dilakukan oleh Pria Bertato itu sendiri. Berbeda dengan cerita yang sudah saya baca sebelumnya di mana tidak ada kaitan antara ‘si peramal’ dan ramalan buruk tokoh utama. Dasar, penulis hebat, ada aja kejeliannya menutup cerita!! hehe…
Mbak Maggie, bikin program mentoring menulis dong… Online juga nggak apa-apa supaya biayanya lebih terjangkau.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi Agus. Terima kasih ya atas komentarnya. Cerita ini, bila disandingkan dengan isi koleksi bukunya, lebih mengena lagi — karena masing-masing tato berkisah tentang sebuah cerita. Aku setuju dengan poin #2 kamu, ketidak-adaan nama justru bisa membuat pembaca merasa lebih dekat dengan si narator. Thanks again! Ditunggu terus komentar2 berikutnya 🙂
SukaSuka
Saya merasakan kesepian akut pria bertato. Kesepian di tengah keriuhan gambar-gambar di tubuhnya. Mungkin itulah sebabnya dia ingin menghapus tato dari tubuhnya. Bernama atau tidak bernama si narator tidak terlalu penting, karena fokus cerita ini pria bertato. Si narator dibutuhkan hanya untuk merefleksikan kesepian pria bertato. Kesepian pria bertato bahkan terasa kuat disiratkan dalam dialog-dialognya dan membuat saya terharu. Endingnya terbuka untuk ditafsirkan sehingga meninggalkan kesan lebih kuat bagi pembaca. Thanks, Maggie, cerpen telah memberi cerpen terjemahan yg menarik.
SukaSuka
Hi Aris. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi ya. Semoga suka dengan posting-posting lainnya. Aku suka tanggapanmu, “Kesepian di tengah keriuhan gambar2 di tubuhnya.”
SukaSuka
Cerita ini mengingatkan saya pada Bodhi, tokoh di novel Akar yang ditulis Dewi Lestari. Pria dengan tato. Dan bukan sekadar tato, tapi ada misteri dalam tato tersebut. Narator yang tidak bernama justru membuat saya terbawa dalam cerita, membuat saya ikut menikmati keindahan warna warni tato dan gerak gerik tato yang berkisah saat malam tiba. Ending cerita nya tidak terduga dan sependapat dengan Aris Kurniawan, justru meninggalkan kesan yang kuat bagi pembacanya.
Nice.. 😀
SukaSuka
Hi Indira. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi ya. Ditunggu komentar2 berikutnya 🙂
SukaSuka
Tokoh ini mengingatkan saya pertama pada tokoh di The Lost Symbol-nya Dan Brown. Bahkan hingga wajahnya pun ditato. Dimana tiap tato ada artinya tersendiri.
Kalau diberi nama, tentu mengubah kesan. Penulis ingin pembaca bebas berkesan apa pada tokoh tanpa nama tsb.
Dua keinginan yg berbeda, adalah mengenai persepsi yg berbeda, tergantung subjeknya di posisi mana dan seberpengalaman apa dengan objek tato tersebut. 2 orang manusia yg memandang berbeda pada 1 objek yang sama.
SukaSuka
Hi Fela. Terima kasih ya atas komentarnya. Ditunggu komentar-komentar lainnya 🙂
SukaSuka
1. kesan misterius cenderung menegangkan.
tatoo merupakan lambang seseorang bagi dirinya. tidak ada urusan dengan sistem penandaan yang berlaku umum. bersifat sangat pribadi.
2. narator tidak bernama karena narator adalah anda, saya, dia dan kita semua.
3. pria bertato adalah pikiran terdalam setiap kita yang penasaran akan masa depan. munculnya gambar2 hidup di sana adalah wujud ramalan-ramalan yang narator dambakan tanpa sadar.
dan sebagaimana sifat ramalan tidak melulu sesuai dambaan narator, melainkan jauh dari indah, mengerikan.
narator jelas tidak pernah berani membayangkannya. hanya berani mengkhayalkan yang sesuai keinginan. sungguh manusiawi.
4. ending cerita klimaks yang menegangkan.
teguran bagi narator akibat keingintahuannya yang mulai melewati batas kemampuannya menerima ramalan 🙂
sekian mbak maggie.
semoga saya tidak terjebak dalam kerangka ‘sok tauk’ inih :))
SukaSuka
Hi Reno. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Tidak ada pendapat yang dianggap ‘sok tahu’ di sini. Semuanya valid dengan poin beragam yang unik 🙂 Ditunggu komentar2 berikutnya ya.
SukaSuka
1. kesan saya; ceritanya suram, surealis, aneh sekaligus menakjubkan. (terima kasih sudah memperkenalkan Ray Bradbury). Sama kaya si indira, saya jadi teringat sama novelnya Dee ‘akar’, terutama tokoh Kell dan Bodhi. Kira2 Dee baca Ray Bradbury ga ya?
2. kalau dikasih naratornya diberi nama, akan mengurangi nuansa surealisnya #sotoy. Dengan tetap memakai aku, seolah tahu-tahu kita duduk bersama dengan si narator dan mendengarnya bercerita #sotoy lagi.
3. keinginan yang bertolak belakang itu yang menggerakkan ceritanya. bayangkan kalau si narator tidak tertarik/terpukau dengan tato itu, kemuakan si pria tidak berbalas.
4. endingnya briliant!
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi Huda Tula. Terima kasih atas partisipasinya dalam poin diskusi. Tidak ada pendapat yang #sotoy di Fiksi Lotus. Semua pendapat valid dan punya value unik 🙂 Ditunggu komentar2 berikutnya yaa! 🙂
SukaSuka
1. kesannya, cerita ini bikin perasaran dan penuh fantasi. ada ‘penjelajah waktu’nya lagi. saya suka banget sama cerita2 tentang menjelajah waktu :3 apalagi pas bagian akhir, kaget banget. sampe2 kedengeran ‘deg’ dari jantung
2. saya baru nyadar kalo gak bernama :p kalau dikasih nama pasti akan terasa kurang akrab, seperti pendapat2 di atas..
3. hmm, narator kan tidak pernah merasakan jika tubuhnya penuh tato magis, jadi ya melihatnya dengan takjub, sedangkan pria bertato itu (ada namanya gak ya? saya gak notice, tapi kayaknya gak ya?) merasakan diusir berkali2, tidak nyamanya ketika gambar2 itu bergerak,, jadi ya perbedaan posisi, perbedaan paradigma lah.
4. endingnya ya itu tadi. bikin jantung berhenti. apalagi udah melt dalam ceritanya, berasa jadi ‘aku’. terus pria bertato itu juga bilang cerita itu ramalan masa depan, wah kalo saya di sana pasti kabur juga..
peace.. ^_^ V
SukaSuka
Hi hiddenme1296,
Makasih ya partisipasinya dalam poin diskusi 🙂 Aku juga sangat suka dengan ending cerita ini 🙂 Ayo, ditunggu opininya dalam poin diskusi yg lain! 🙂
SukaSuka
1. Imajinasi yang luar biasa liar. Apalagi bila mengingat cerita ini sudah berusia hampir 3/4 abad.
2. Ya. Jika narator bernama, dia akan tampil sebagai “orang asing” bagi pembaca. Saya merasa seolah-olah menjadi narator saat menikmati cerita ini. Merasakan menjadi narator yang menyaksikan tato hidup di tubuh lelaki asing yang berbaring di sisi saya. Ide meng-anonim-kan narator adalah upaya meleburkan pembaca dalam cerita yang brilian, saya kira.
3. Pria Bertato ingin memusnahkan gambar-gambar di tubuhnya. Sementara narator terpesona akan kualitas gambar-gambar itu … ini mengingatkan saya pada pepatah yang pertam kali saya dengar di pelajaran bahasa Indonesia kelas 3 SD: hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri ^_^ Seseorang selalu bisa melihat kebaikan dari hal-hal “tak biasa” yang terjadi pada diri orang lain, bahkan ketika seseorang yang lain itu menganggapnya bencana.
4. Saya menyukai endingnya. Seseorang, seringkali–entah sebaiknya atau tidak–akan lebih mudah percaya pada apa yang dilihatnya, tinimbang apa yang didengarnya. Ketika Sang Pria Bertato bercerita betapa tidak sukanya orang lain pada dirinya–karena ia tampak begitu berbahaya, sang Aku masih bisa melihat kebaikan dalam diri pria itu. Sampai ia melihatnya sendiri. Ending yang sangat membelajarkan.
Terima kasih untuk cerita yang luar biasa ini, Mbak Maggie. A huge gratittude for your hardwork ….
SukaSuka
Hi Anya. Terima kasih juga untuk partisipasinya dalam poin diskusi serta kunjungannya ke Fiksi Lotus 🙂 Aku suka dengan jawaban kamu di Poin #3. Semoga kamu suka dengan cerita2 lainnya ya. Ditunggu komentar2nya 🙂
SukaSuka
1. Saya terkesan dgn cara Ray Bradbury menggunakan tato sbg medium untuk bercerita. Jika selama ini tato membiaskan kesan negatif di pemakainya dengan stigma-stigma urakan, ray memberi kesan halus pada pria bertato ini (khususnya di bagian alasan kenapa ia bertato, karena mengisi waktu luang setelah kena musibah dan dampak tato itu yang membuatnya selalu berganti pekerjaan). Saya cukup simpatik dgn si Pria Bertato, tapi kesan itu dibanting begitu saja oleh penulis di akhir melalui ramalan “cekikan” itu. hehehe.
2. narator tidak diberikan nama, menurut saya karena si narator mewakili sikap umum dari orang-orang lain yang sebelumnya telah bertemu si Pria Bertato. Mereka menolak untuk dekat dan mengenal lebih jauh si Pria Bertato, setelah mengetahui kemampuannya. Nama pada akhirnya jadi tidak begitu penting, karena “narator” sudah jadi bagian dari kerumunan….
3. Keinginan menghilangkan tato (tokoh utama) dan menyaksikan tato (narator) jadi bahan perenungan utama saya di cerita ini. Di sini tato punya peran yang sangat ironis : bagi si narator (dan orang-orang lain), tato itu adalah alasan utama mereka untuk tertarik dengan si tokoh utama. Tanpa tato, si pria tidak ada bedanya dgn orang-orang lain. Di sisi lain, bagi si tokoh utama, justru tato itu yang pada akhirnya mencerabut orang-orang yang tadinya tertarik padanya. Tato menjadi hal yang pahit, ia membuatmu memiliki sesuatu, tapi di saat yang sama, ia pun merenggut sesuatu itu dari dirimu.
4. Saat sekilas membaca, endingnya jujur terkesan biasa saja. Tapi ending ini membuat saya merenung. Saya jadi membayangkan si pria bertato berpikir begini :
“hey, jangan lari dulu. Saya benar-benar ingin ngobrol banyak denganmu SAAT INI. Kalaupun saya akan mencekikmu, itu nanti, di MASA DEPAN. Bukan saat ini! Toh banyak orang bilang kalau masa depan itu tidak pasti. Aku belum tentu mencekikmu seperti gambar di tatoku. Kenapa kau lebih mempercayai tato dibandingkan aku?? Kalau aku mau, sudah sejak tadi aku mencekikmu…”
Ah, saya terlalu banyak bicara dan mengkhayal di sini mbak Maggie…
: )
SukaSuka
1. sudah 40 tahun pria bertato tidak mendapatkan pekerjaan yang langgeng, ia ditato sejak umur 20 tahun pada 1900, dan 50 tahun dia memburu wanita yang menato dirinya. Logika matematikanya, pria bertato ini berusia 70-80 tahun. Tapi ilusi yang tercipta oleh narasi “aku” membuatnya terlihat menjadi pria yang berusia jauh lebih muda. Entah masalah usia yang tersirat sekilas ini disengaja atau tidak oleh penulis, tapi ini sendiri menarik. Secara umum, mindset orang-orang terhadap pria bertato cenderung negatif -apalagi di tahun 40an-. Hubungannya, pria bertato meski tua masih terlihat muda dan berandalan.
2.Masalah narator bernama atau tidak, jelas merupakan masalah sudut pandang. Kalau bernama, maka kemungkinan besar sudut pandang penceritaan akan menjadi sudut pandang orang ketiga dan struktur keseluruhan, termasuk taste cerita akan berbeda sama sekali.
3. Justru kalau si aku tidak penasaran, tidak akan ada cerita ini. konflik ceritanya ada di titik ini.
4. Kalau saya yang menulis atau diberi kesempatan berdiskusi dengan Ray Bradbury secara langsung. Saya akan sarankan beliau, agar pada akhir ceritanya, si narator mencekik pria bertato sebelum ia mencekik si narator. Alasannya sederhana. Ending cerita sebenarnya sudah terjadi ketika si aku melihat ramalan ilustrasi di punggung pria bertato, sehingga seharusnya untuk menciptakan ending menggantung dengan jangkar yang lebih kuat maka “hop!” cerita berhenti di adegan ketika si aku melihat ramalan kematiannya sendiri. Jika ingin ditambahkan lagi satu ending maka pilihan sang pengarang kurang jeli/tepat, sebab pada akhirnya bukan menciptakan rasa penasaran malah anti klimaks. Semua pembaca sudah tahu, aku akan mati di tangan pria bertato. Nah, unik bukan kalau si aku malah mencekik leher pria bertato, kesempatannya pun terbuka lebar saat itu.
SukaSuka
Ceritanya kereeen… memang penulis jempolan itu kl bikin cerita bisa meninggalkan “jejak” pada pembaca. Saya masih merinding setelah membaca endingnya. Sepertinya ini jg berarti kalau yang menerjemahkan ga kalah jempolan 🙂
Saya merasa janggal saat si pria bertato mengaku merasa tak nyaman dengan tatonya, bahwa tatonya menakuti orang-orang, namun dia dengan santai menunjukkan gambar-gambar itu pada si tokoh aku. Makanya dia tidur bolak balik, seolah sengaja menunjukkan tato itu pada tokoh aku secara keseluruhan. Sepertinya si pria bertato sebenarnya merasa bangga dengan tato itu dan suka dengan perhatian yang didapatkannya dari sana. Namun disisi lain dia mendambakan hubungan personal dengan orang lain, yg tidak mungkin didapatkannya jika dia masih bertato.
Saya merasa si pria bertato ini semacam artis, yg suka masuk berita gosip namun enggan kehilangan privasi. Hehe mungkin kalau dihubungkan kesana sedikit ngaco sih
Endingnya kejutan, engga nyangka kalau dia akan melihat si pria bertato membunuhnya. Tapi mungkin itu bukan ramalan, bagaimana kalau memang seperti itu gambar yang dilihat orang lain. Pria yang melihat dirinya jatuh dari tebing, bisa jadi dia melihat si pria bertato mendorongnya. Atau yang terlindas kereta, bisa juga dia melihat si pria bertato penyebabnya. Si pria bertato sendiri tidak tahu apa-apa karena gambar itu berada di punggungnya. Jadi kalau saya pribadi sih tidak percaya si pria bertato akan membunuh tokoh aku. (Mungkin karena pada dasarnya saya ga suka sad ending sih, hehe)
SukaSuka
Secara keseluruhan..
Point yg bs saya petik dari cerita ini adalah, menceritakan kegelisahan manusia2 pecinta seni tatto (dalam dunia nyata sekarang). Yang kebanyakan tidak diterima di dunia formal!
Narasi yang tidak bernama mencerminkan masyarakat umumnya terhadap pandangan mrk pada orang yang bertatto.. Termasuk kita!?
Sementara ending yg sebenarnya yang ingin disampaikan sepertinya berupa pandangan negatif terhadap org bertatto yang kesemuanya di cap sebagai “PENJAHAT”.. Sehingga mereka dijauhi, dikucilkan dan di tinggalkan..
Pesan moral yang sangat disembunyikan dalam cerita ini sungguh NYATA..
Heheh.. Salam
SukaDisukai oleh 1 orang
Hai Dpate! Thanks ya sudah ikut partisipasi dalam Poin Diskusi. Tanggapan kamu menarik. Saya malah tidak terpikir soal orang-orang pecinta seni tato, karena kalau dari bacaan saya cerita ini murni hasil imajinasi yang mengarah pada pertanyaan “bagaimana jadinya bila tato bisa bergerak?” — tapi berkat komentar kamu sekarang saya bisa melihat cerita ini dari sudut pandang yang berbeda. Ditunggu ya komentar-komentar selanjutnya!
SukaSuka
halo Maggie Tiojakin,, (bapak,ibu,om,tante,kakak, atau adik) gak tau mau manggil nya apa
kebetulan baru mampir nih
1.Judul nya yang menarik rasa penasaran saya untuk membaca lebih detail lagi sampai selesai
2.narator tak bernama itu menempatkan dirinya sebagai si pembaca,jadi kesan nya kayak si pembaca yang langsung bertemu dan ngobrol langsung dengan si tokoh tersebut
3.menurut saya karna si pria bertatto itu lebih merasakan efek bencana yang datang itu seakan tak lekang oleh waktu,bayangin aja dari umur 20 tahun sejak ada nya tatto itu menempel di tubuh nya itu gak dapet kerjaan yang langgeng,berkali-kali di pecat hanya karna tatto,bukan “korupsi” loh
bukankah itu suatu bencana sampai saat si penulis pun menuliskan nya,dan sampai saya pun membaca nya bencana itu terus terjadi,dan itu akan berlanjut terus
“nantikan episode berikutnya” hahahahahaaa terbawa arus nih
4.ngebahas tentang ending,pesan moral nya dapet banget
karna di dunia nyata pun hal itu juga terjadi,dimana sang pemilik tatto di tubuh nya selalu di pandang sebelah mata
padahal yang punya tatto bukanlah seorang kriminal,mereka itu manusia juga
kok harus di pojokin,di kucilkan,bahkan di jadi kan bahan fitnah
mereka hanya pecinta seni yang mengaplikasikannya di tubuh mereka itu sendiri
dan kembali ke “lalptop” si narator mengagumi keindahan seni yang ada di depan mata nya,sekalipun keindahan yang akan mendatangkan bencana juga terhadap dirinya sampai dia kabur…!!!!
nah yang terakhir ini mungkin jadi alasan kenapa si tokoh bertatto selalu di pecat dan ingin menghapus nya
saya rasa itu mungkin gara-gara tatto di punggung nya itu kan bisa melihat masa yang akan datang
mungkin si BOS nya juga ngeliat akan terjadi hal yang tidak di ingin kan .
Cukup sekian dari saya,terima kasih. 🙂
SukaSuka