Naguib Mahfouz

Sebelum raja pertama memerintah kerajaan Mesir, lembah Sungai Nil dipecah menjadi beberapa wilayah yang memiliki dewa, kepercayaan, dan pemerintahan masing-masing. Salah satu dari wilayah tersebut, yang bernama Khnum, mempunyai reputasi sangat tersohor, tak lain karena tanahnya yang subur, iklimnya yang sejuk, dan populasinya yang padat. Namun, sayangnya, wilayah itu kemudian terpuruk setelah ditempa cobaan dan kegetiran: yang kaya kerjanya menumpuk dosa, sementara yang miskin kelaparan. Tak bisa dipungkiri lagi, kondisi mengenaskan itu: mereka yang licik semakin berkuasa karena praktik korupsi; dan, di lain pihak, warga yang lemah dan miskin hidup dihantui oleh wabah penyakit dan hama.

Lantas kemana perginya para petinggi? Orang-orang yang bertanggungjawab atas kesejahteraan wilayah Khnum—Hakim Sumer, Kepala Polisi Ram, dan Tabib Toheb—tak buang waktu untuk segera mereformasi situasi di sana. Dalam waktu singkat, mereka meluncurkan kampanye anti kejahatan dan kemiskinan yang kemudian dijadikan contoh oleh wilayah-wilayah sekitarnya, sebagai simbol kebenaran, integritas, serta moralitas.

Maka ketentraman pun kembali tercipta di wilayah Khnum selama berabad-abad ke depan.

Suatu hari, seorang asing numpang lewat di wilayah ini. Sosoknya agak ringkih, dengan kepala dan wajah yang bersih dicukur rapi, serta tubuh menjulang tinggi. Pandangannya tajam, dengan garis wajah kuat—seolah ingin menipu usia sesungguhnya—dan dari ekspresinya ia tampak cerdas serta bijaksana. Orang ini sungguh unik, hingga baru saja ia menapakkan kaki di wilayah tersebut, semua warga lantas sibuk membicarakannya, bertanya-tanya dengan nada takjub, seolah ia datang membawa berkah, “Siapa orang ini? … Wilayah mana yang berani mengusirnya? … Apa tujuannya kemari? … Dan kok bisa-bisanya dia berjalan kaki sekian jauhnya dalam kondisi tubuh renta? … Bukankah seharusnya dia istirahat sambil menunggu ajal?”

Tapi karakternya yang nyentrik seakan tak kenal batasan. Tempat-tempat yang ia tinggalkan selalu rusuh, sementara ia mengundang rasa panik di mana pun ia tinggal—dan semua lokasi yang ia kunjungi juga membawa banyak keributan. Pria asing itu berkeliling mengunjungi pasar dan kuil; ia juga datang ke pesta seenaknya meski tidak diundang; dan senang campur tangan dalam urusan yang tak ada sangkut pautnya dengan dia.

Lebih dari itu, ia takkan sungkan menghasut para wanita untuk membenci para suami, dan sebaliknya; mengompori para ayah untuk mencerca anak laki-laki mereka, dan sebaliknya; serta berargumentasi dengan para bangsawan dan para petinggi kerajaan. Dia bahkan tidak lupa memanas-manasi para budak dan pelayan untuk bangkit dan melawan orang-orang yang menekan mereka, meninggalkan rasa benci dan dorongan untuk melakukan pemberontakan besar-besaran.

Gaya hidup pria asing tersebut membuat Ram yang bertugas menjaga ketertiban bersama jadi cemas. Maka ia pun terpaksa membuntuti pria asing itu, mengamati gerak-geriknya, sementara rasa penasarannya semakin memuncak. Pada akhirnya, Ram menangkap pria asing itu dan menggiringnya ke hadapan Sumer untuk diadili. Di wilayah Khnum, Sumer yang berpredikat hakim dianggap sebagai figur tetua dengan pengalaman segudang: empat puluh tahun hidup beliau dihabiskan memerangi kejahatan dan ketidakadilan. Secara pribadi, beliau juga pernah menghukum mati ratusan pemberontak, serta memenjarakan ribuan pelaku kejahatan—tanpa lelah membersihkan seluruh pelosok wilayah Khnum dari para pengganggu kedamaian dan ketenangan.

Tapi ketika pria tua asing itu tiba di hadapannya, Sumer justru merasa terpukau dan bingung. Beliau jadi bertanya-tanya pada diri sendiri kejahatan macam apa yang bisa diperbuat seorang pria yang sudah ringkih itu—sambil menatap sang terdakwa dengan pandangan penasaran dan menanyakan, “Tuan yang terhormat, siapakah nama Anda?”

Pria tua itu tidak menjawab, melainkan diam saja. Ia menggeleng, seakan menolak untuk bicara—atau tidak tahu harus berkata apa.

Melihat reaksi sang terdakwa, sang hakim pun jengkel dan naik pitam. “Kenapa Anda tak menjawab? Ayo, sebutkan nama Anda!”

Pria tua itu akhirnya angkat suara, meski hanya bergumam, diikuti oleh seutas senyum yang mencurigakan: “Saya sendiri tidak tahu, Tuan.”

Amarah sang hakim semakin jadi, dan mulai membentak, “Anda benar tidak tahu siapa nama Anda?”

“Ya, Tuan—saya lupa siapa nama saya.”

“Anda benar-benar ingin mengajukan alasan bahwa Anda telah lupa terhadap nama Anda sendiri—nama yang dipanggil orang terhadap Anda?”

“Tidak ada orang yang pernah memanggil nama saya: keluarga dan teman-teman terdekat saya semua sudah meninggal. Saya sudah lama sekali mengembara, mengelilingi dunia, dan tak ada seorang pun yang pernah memanggil nama saya. Tak ada manusia di dunia yang tahu nama saya, dan karena saya senang bermimpi—saya sendiri sampai lupa siapa nama saya.”

Sumer merutuki si pria tua asing itu karena telah ceroboh melupakan namanya sendiri—kemudian seraya melengos dari sang terdakwa, beliau menatap ke arah Ram sang pelindung ketertiban. “Apa yang membuat kamu membawa orang ini ke hadapan saya?” tanya Sumer.

“Dia adalah orang yang tak pernah istirahat dan tidak mau membiarkan orang lain beristirahat,” kata Ram menjelaskan. “Ia memaksakan diri di depan khalayak umum dan membuat mereka memperdebatkan masalah kebaikan dan kejahatan—dan selalu menolak untuk pergi sebelum perdebatan itu berhasil mengadu-domba para pelakunya.”

Sang hakim memiringkan kepalanya ke arah Ram. “Keuntungan apa yang dia dapatkan dari metode adu-domba itu?”

Pria tua asing itu melempar tatapan tajam ke arah sang hakim. Dengan suara yang lantang, namun bergetar karena tenaganya yang semakin hari semakin melemah, sang terdakwa berkata, “Saya ingin mereformasi dunia bejat ini, Tuan.”

Sang hakim tersenyum dan bertanya, “Bukankah setiap orang punya tugasnya masing-masing? Menurutmu apa kerja seorang hakim, polisi, dan ahli obat-obatan? Percayalah, pak tua, Anda seorang diri takkan bisa menanggung beban dunia yang begitu berat—masih ada banyak orang yang lebih mampu dari Anda.”

Pria tua asing itu menggeleng, tetap menolak. “Semua yang Anda sebutkan sudah berkeliaran sejak dunia terbentuk, tapi sampai sekarang mereka masih belum sanggup merubah kekejian yang merajam dunia. Sampai saat ini kita masih bisa menyaksikan para pengikut setan tersebar di seluruh penjuru dunia, melakukan kekejian.”

“Apakah Anda hendak mengusulkan bahwa Anda telah berhasil merubah dunia?”

“Benar sekali, Tuan…dengarkan saya dulu, saya bisa menjelaskannya pada Anda.”

Merasa terhibur oleh rasa percaya diri sang terdakwa, sang hakim tak bisa menahan senyumannya sendiri; lalu bertanya: “Keahlian apa yang Anda miliki, yang tidak dimiliki oleh para petinggi wilayah?”

“Tuanku,” kata pria tua asing itu. “Yang dilakukan para petinggi hanyalah mengusir pelaku kejahatan, merawat yang sakit, dan mengikat perban pada mereka yang terluka. Yang saya lakukan adalah mengeliminasi penyakit itu sendiri. Penyakit bagaikan bom waktu yang kapan saja bisa melumpuhkan kesehatan dan kesejahteraan kita. Para petinggi hanya bisa menyembuhkan gejala yang disebabkan penyakit; dan menurut pengamatan saya, pusat penyakit di wilayah ini terletak di perut. Saya melihat banyak sekali yang masih kelaparan, sehingga mereka condong berteriak dan membuat kericuhan gara-gara rasa lapar yang mendera. Di waktu yang sama, mereka yang tidak kelaparan justru mengkonsumsi makanan dan minuman secara gila-gilaan. Perbedaan yang sangat curam antara dua kelompok warga ini telah menyebabkan penjarahan, pengerusakan, dan pembunuhan. Jadi penyakit yang sedang kita hadapi ini jelas sekali—dan bentuk perawatan yang dibutuhkan juga jelas.”

Sang hakim lantas ikut nimbrung, “Lho, justru sebaliknya: penyakit yang Anda diagnosa ini tidak ada obatnya!”

“Itu kata orang, Tuan. Dan mereka mengatakan hal tersebut karena mereka tidak memiliki sesuatu yang sangat penting sifatnya bagi Tuhan Kita: kepercayaan dan nilai-nilai kemanusiaan,” lanjut sang terdakwa. “Orang-orang di wilayah ini tidak memiliki iman yang kuat terhadap konsep ke-Tuhanan, maupun konsep kebaikan terhadap sesama. Mereka berjuang untuk hidup tanpa menggunakan perasaan, dan mereka menghabiskan tenaga demi mendapatkan uang, status, dan kejayaan. Jika mereka pada akhirnya menghentikan sifat tamak mereka, lelah menghadapi dosa mereka sendiri, maka itu urusan mereka, Tuan. Tapi untuk saya—saya percaya pada nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai tersebut telah membawa saya ke jalan yang sekarang ini saya lalui, pelan-pelan.”

Pidato pria tua asing itu membuat Ram kesal bukan kepalang karena pidatonya menyindir peran dia sebagai seorang penjaga ketertiban. Namun sang hakim yang terkenal memiliki pengalaman segudang dan berhati lembut, justru menunjukkan persetujuan terhadap perkataan sang terdakwa. Karena tidak ada perbuatan sang terdakwa yang menurut sang hakim perlu untuk diganjar, maka beliau melepaskannya hanya dengan sebuah peringatan.

Pria tua asing itu akhirnya keluar dari gedung pengadilan dengan hati riang. Persetujuan dari sang hakim untuk melanjutkan misinya membuat dirinya semakin yakin bahwa selama ini perbuatannya adalah benar: ia melangkahkan kakinya di atas bumi pertiwi layaknya seorang raksasa, pidatonya mengalir deras seolah datangnya dari bibir seorang pemuda, dan dadanya seakan penuh akan optimisme yang membuatnya merasa seperti seorang nabi utusan. Lidahnya menularkan prosesi magis—mendorong orang banyak untuk mulai menggunakan akal sehat.

Dalam waktu singkat, ia berhasil memonopoli telinga para bangsawan di wilayah Khnum, memikat hati mereka, dan membuat mereka lebih sensitif terhadap hal-hal sosial, lalu ia akan mengarahkan mereka ke mana saja dia mau. Sementara warga yang miskin mendekati pria tua itu, dan yang kaya meminta pendapat dia sebelum melakukan sesuatu; sedangkan para pemberontak, dan mereka yang suka mengikuti tren-tren terbaru tunduk terhadapnya. Daya tarik yang ditawarkan oleh pria tua asing itu adalah Kecantikan dan Moderasi, agar warga miskin dapat hidup berkecukupan, sementara yang kaya bisa mensyukuri apa yang mereka punya. Dalam diri pria tua asing tersebut, masyarakat wilayah Khnum menemukan sosok seseorang dokter berkeahlian tinggi—sehingga mereka semua mengikuti contohnya dan menjunjung nilai-nilainya.

Hasilnya sungguh mencengangkan, membuat semua pengamat dan orang bijak diam seribu bahasa. Kejahatan berhasil dihapuskan, para penjahat juga dijauhkan, sementara semua penyakit disembuhkan. Kebahagiaan menyeruak di antara kerumunan warga wilayah Khnum yang padat, sementara tokoh-tokoh masyarakat bergembira, memuji kebesaran pria tua asing yang tadinya mereka cemooh. Mereka bahagia karena akhirnya sanggup menggapai tujuan yang sebelumnya tampak mustahil.

Waktu pun berjalan sebagaimana mestinya dalam suasana tenang dan damai, sementara kondisi kehidupan di wilayah Khnum berangsur-angsur berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah diantisipasi sebelumnya.

Para petinggi wilayah adalah yang pertama merasakan perubahan ini, datangnya suatu masa yang benar-benar baru. Sebenarnya, untuk pertama kali, mereka tidak tahu harus berbuat apa—dan waktu santai lumrahnya hanya bisa dinikmati oleh mereka yang giat bekerja. Waktu yang kosong pun terus berlalu, semakin hari semakin berat jadi beban—dan dengan pandangan sedih mereka menyaksikan kejayaan wilayah mereka sirna begitu saja, dan kemakmuran yang pernah menjadi kebanggaan mereka mendadak pergi.

Di masa lalu, Ram sang penjaga ketertiban memiliki kuasa untuk menyebarkan rasa panik di mana pun ia berada. Sekarang Ram hanya seperti pajangan saja yang dijadikan bahan cemoohan orang dan bahkan dilewati begitu saja oleh para warga.

Di lain pihak, sang hakim yang dulu tampak begitu agung kini tambah renta dan dibebani oleh kesedihan dan keresahan. Beliau tidak disapa, ataupun dimintai bantuan, dan beliau juga tidak pernah membalas sapaan orang lain terhadapnya. Beliau merasa kesepian dan terisolasi, seperti kuil yang ditelantarkan di tengah padang gurun.

Sementara sang ahli obat-obatan kini mengeluhkan gejala-gejala penyakit yang tak diketahui siapapun, hingga ia harus mengunci diri di rumah, menolak menerima tamu, ataupun bertamu. Sebelum ini, ia sempat menyimpan uang di dalam panci, tapi sekarang simpanannya telah habis, dan jantungnya berdebar keras karena takut jatuh miskin.

Wilayah Khnum masih terlihat aman dan anggun bahkan dalam kondisi seperti sekarang—kecuali bagi mereka yang mengagungkan diri sebagai “Penegak Nilai-Nilai Kemanusiaan”. Saat ini mereka putus asa dan kebingungan, berputar ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar dari situasi yang mengikat. Tapi tidak ada jalan keluar.

Ram sang penjaga ketertiban adalah orang yang paling menderita di antara warga-warga lainnya, karena—meskipun dia memiliki sikap yang lantang—ia tidak bisa dengan bebas mencetuskan keluhannya, takut tidak didengar dan dikucilkan.

Namun, akhirnya, kesabarannya pun habis, dan Ram mengambil kesempatan itu untuk bertemu dengan rekan-rekan koleganya guna meneriakkan keluhannya keras-keras, walau suaranya gemetar, “Apa yang akan kita lakukan jika wilayah ini—mulai besok—tidak lagi membutuhkan jasa kita?”

Ekspresi rekan-rekannya berubah kosong. Dengan suara getir, salah satu dari mereka bertanya, “Apakah pria tua asing itu benar tidak membutuhkan kita lagi?”

Ram mengedikkan bahunya dan berkata, “Apa yang bisa kita lakukan untuk meyakinkan dia agar terus mempekerjakan kita?”

Secepat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Ram dan rekan-rekannya mendadak sadar akan situasi yang mengepung mereka dan apa yang harus mereka lakukan. Salah satu dari rekannya berkata, “Dalam situasi macam ini kita tidak bisa tinggal diam.”

Sambil mengguncang tangannya yang terkepal, rekan lain berteriak, “Orang tua renta itu telah menghancurkan wilayah ini!”

Rekan lain lagi juga menimbrung, “Dia merusak kapasitas manusia untuk berkembang dengan ide-idenya yang menjerumuskan, hingga menghentikan semua proses kemajuan dan membabat semua rasa takut yang dimiliki masyarakat.”

Pembicaraan itu menggugah keberanian dalam diri masing-masing orang yang hadir dalam pertemuan rahasia tersebut, hingga mereka angkat suara dan menumpahkan semua isi hati mereka—terkecuali sang hakim. Sumer diam saja, menatap jauh ke arah garis cakrawala seolah beliau tak mendengar apapun yang dikatakan di sekitarnya. Keabsenan psikologis ini membuat banyak anggota petinggi wilayah yang melepas harapan mereka terhadap bantuan Sumer, tapi Ram kemudian berbisik di telinga mereka dengan nada sedikit malu, “Jangan khawatir tentang Sumer—hati beliau tetap mendukung kita. Hanya saja lidahnya yang dulu digunakan untuk membicarakan masalah keadilan, kini menolak berpartisipasi dalam pembicaraan kita.”

Maka mereka pun setuju menyusun rencana …

Suatu pagi, matahari naik ke ufuknya dan pria tua asing mendadak menghilang. Para pengikutnya mencari kemana-mana, membongkar setiap sudut wilayah Khnum—tanpa menemukan sedikit pun sisa jejak.

Hilangnya sang pria tua asing mengejutkan seluruh penduduk—dan mereka semua punya pendapat yang berbeda. Ada yang bilang pria tua asing itu pergi ke wilayah lain setelah yakin ide-nya telah berhasil diimplementasikan di wilayah sebelumnya. Ada juga yang bilang pria tua asing itu telah naik ke surga setelah menunaikan misinya di bumi. Namun, meski begitu, kesedihan yang mendalam terus menyebar ke seluruh pelosok wilayah.

Kecuali bagi para petinggi, yang akhirnya bisa bernapas lega. Mereka berharap dapat menghidupkan lagi kejayaan mereka yang dulu, kenyamanan yang telah sirna. Diliputi oleh antisipasi, mereka sudah lama menunggu kedatangan momen ini.

Tetapi, kekecewaan tetap menghantam harapan besar mereka. Ketika para petinggi melihat bahwa warga umum masih bergantung pada idealisasi sang pria tua asing, mereka pun kontan tak senang. Jantung mereka berdebar tak menentu, dan mereka tak bisa tidur.

Dengan amarah yang menggebu, sang penjaga ketertiban berteriak selantang-lantangnya: “Situasi ini tidak bisa didiamkan begitu saja!”

Rekan-rekan sejawatnya melemparkan tatapan penuh harap terhadap sang penjaga ketertiban. Waktu dan tenaga yang mereka habiskan untuk berharap kini telah membuat mereka lelah bukan kepalang. Melihat ini, Ram pun mendongkrak semangat mereka dengan rencana baru: “Di wilayah Ptah, saya kenal seorang penari penggoda dengan kecantikan tiada duanya. Bagaimana kalau kita pinjam dia selama beberapa bulan? Saya tahu benar bahwa pemimpin wilayah Ptah ingin sekali menyingkirkan dia, karena kecantikannya memicu keributan di sana. Biarkan wilayah Khnum jadi tempat pelarian sementara untuk dia, lalu di sini dia pasti akan mengadu-domba sanak dan saudara, suami dan istri. Warga yang kaya akan terganggu dengan kerusuhan yang disebabkan si penari penggoda hingga mereka terpaksa melanggar peraturan yang mereka buat sendiri. Tunggu hasilnya sebentar lagi.”

Ide tersebut mendorong Ram untuk segera menjalankan rencananya yang berbahaya.

Dengan pandangan takjub dan gembira, semua petinggi wilayah menyaksikan runtuhnya regime pria tua asing hingga tinggal puing-puingnya saja. Masalah perut kembali memimpin revolusi besar-besaran, membuat semua orang beradu kepala dan leher untuk mencari ruang—sekecil apapun—guna mengakomodasi kepentingan masing-masing. Kejahatan kembali ke dalam pusat wilayah Khnum, menyingkirkan kedamaian yang telah tercipta di sana, sementara para petinggi kembali mencanangkan kampanye mulia mereka untuk menegakkan Kemanusiaan, Keadilan, dan Kedamaian.

_____________________________

Catatan:

> Karya ini diterjemahkan dari buku kumpulan cerpen karya Naguib Mahfouz yang bertajuk “Voices from the Other World” (1936). Kisah ini berjudul “Evil Adored”

>> NAGUIB MAHFOUZ adalah seorang sastrawan asal Mesir yang mempelopori sastra modern Mesir. Beliau adalah penerima Hadiah Nobel di tahun 1988 dan merupakan penulis aktif yang telah menghasilkan 50 novel, 350 cerita pendek, lusinan naskah film, dan 5 drama panggung. Beliau meninggal tahun 2006 di usia 94 tahun.

Hak Cipta © 2010. Fiksi Lotus, Naguib Mahfouz. Tidak untuk diperjual-belikan, digandakan, ataupun ditukarkan.

adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

8 Comment on “Republick

Tinggalkan balasan